Saturday, March 8, 2008

Menimbang Ramalan Jayabaya

Oleh: Aloys Budi Purnomo

Kompas, Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:01 WIB

Mencermati karut-marut kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia dewasa ini mengingatkan kita pada Ramalan Jayabaya. Jauh sebelum bangsa ini terbentuk, Jayabaya telah memberikan ramalan untuk Tanah Jawa. Seruan prediktifnya kian terasa kebenarannya bukan hanya untuk Tanah Jawa, tetapi juga Indonesia sebagai bangsa.



Ramalan Jayabaya yang bernada kelabu pantas dikumandangkan lagi agar kita bisa berkaca diri. Para elite politik dan pemegang tampuk kekuasaan pun selayaknya merefleksi diri atas segala sesuatu yang telah dilakukan, yang seakan-akan justru ”menggenapi” ramalan itu.

Tradisi Jawa mengakui, Ramalan Jayabaya ditulis Jayabaya, Raja Kerajaan Kadiri (1135-1159) yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama.

Gelar yang amat panjang itu tertera pada tiga prasasti batu yang ditemukan dan dikenal sebagai peninggalan sang raja, yakni prasasti Hantang (1135 M), prasasti Talan (1136 M), dan prasasti dari Desa Jepun (1144 M).

Pada zamannya, ditopang kekuatan armada laut yang tangguh, kekuasaannya meluas tidak hanya meliputi Tanah Jawa, tetapi hingga pantai Kalimantan. Bahkan, Ternate pun menjadi kerajaan subordinat kerajaannya.

”Wolak-waliking zaman”

Sebagai raja dan pujangga, Jayabaya memandang jauh ke depan dengan mata hati dan perasaan. Ia meramalkan keadaan kacau balau, yang disebutnya sebagai wolak-waliking zaman. Keadaan zaman serba jungkir balik.

Keadaan wolak-waliking zaman terjadi karena akeh janji ora ditetepi. Akeh wong wani mlanggar sumpahe dhewe. Manungsa padha seneng nyalah. Ora nindakake hukum Allah. Barang jahat diangkat-angkat. Barang suci dibenci.

Sungguh mendasar prediksi Jayabaya terhadap perilaku sosio-politik. Bukankah dewasa ini ramalannya kian terbukti? Banyak orang ingkar janji, melanggar sumpah jabatan, dan senang berbuat salah, saling melempar kesalahan! Hukum Allah diabaikan. Yang jahat diangkat-angkat, yang suci dibenci.

Tidakkah perilaku ”oknum” anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif ”menggenapi” ramalan itu? Tengoklah rakyat yang terus-menerus harus gigit jari karena janji-janji yang diberikan para elite politik dan kekuasaan dicampakkan, habis manis sepah dibuang.
Kasus lumpur Lapindo, penggusuran, pembunuhan aktivis pembela HAM, dan banyak kasus lain serupa pun amat relevan dan signifikan ditempatkan dalam bingkai ramalan itu!

Ramalan Jayabaya pun menjadi kebenaran: Wong bener thenger-thenger (yang benar termangu-mangu tak habis berpikir karena dipersalahkan dan tidak diperhitungkan). Wong salah bungah (yang salah gembira ria). Wong apik ditampik-tampik (orang baik ditolak-ditampik). Wong jahat munggah pangkat (yang jahat naik pangkat). Itulah tanda wolak-waliking zaman.

Wolak-waliking zaman terjadi di bidang hukum dan keadilan. Banyak keputusan hukum mengabaikan rasa keadilan (ukuman Ratu ora adil) akibat keanehan kekuasaan yang jahat (akeh pangkat sing jahat lan ganjil), tebar pesona di atas penderitaan rakyat (akeh kelakuan sing ganjil).

Absennya nurani

Keadaan zaman yang jungkir balik merupakan akibat dari absennya nurani dalam hidup manusia. Tiada lagi kepekaan. Tata susila pun diabaikan (kasusilan ditinggal). Ini terindikasikan pada perilaku manusia yang sudah lali kamanungsan (lupa pada aspek kemanusiaan), perikemanusiaan kian hilang (prikamanungsan saya ilang). Bahkan, prikamanungsan diiles-iles, perikemanusiaan diinjak-injak!

Absennya nurani berdampak pada praktik korupsi dan segala akarnya. Menurutnya: Akeh manungsa mung ngutamake dhuwit. Luwih utama ngapusi. Wegah nyambut gawe. Kepingin urip mewah. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka.
Ramalan ini pun menjadi kenyataan: banyak orang mengutamakan uang, maka mulai menipu dan korupsi. Inginnya kaya-raya, tanpa kerja keras, melampiaskan keserakahan, menghalalkan segala cara.

Lebih dari itu, tiadanya nurani yang mengarahkan kehidupan manusia membuat manusia kian durhaka. Angkara murka ngambra-ambra (angkara murka kian merajalela), akeh wong angkara murka (banyak orang angkara murka), nggedhekake duraka (membesar-besarkan durhaka).

Membaca Ramalan Jayabaya, rasa hati ini kian teriris menangis. Masih banyak ratusan kalimat prediktif bernada negatif lain yang diserukan Jayabaya. Merenungkan ramalannya, kian tergambar jelas keadaan Indonesia saat ini yang terpuruk oleh keadaan zaman yang jungkir balik karena orang tidak lagi mengedepankan hati, kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran.

Kita pun tidak tahu lagi, entah kapan Ramalan Jayabaya itu tidak lagi terbukti untuk sepak terjang kehidupan bernegara dan berbangsa di republik ini!


Aloys Budi Purnomo Rohaniwan; Pemimpin Redaksi Majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan-Semarang


Kompas, Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:01 WIB

0 comments: