Sunday, March 2, 2008

Peti Mati

Oleh: Pakne Puri

BERKALI-KALI alat pengeruk raksasa itu membentur benda keras. Laki-laki kecil kurus yang duduk di belakang kemudi mesin pengeruk tanah itu mengumpat, memberondongkan kata-kata yang tak enak didengar. “Anjing! Membentur cadas atau apa, ini?” sungutnya.



Ketika moncong pengeruk dinaikkan, ternyata menggondol peti mati dari dalam tanah.

“Sialan! Engkoh-nya ikut!” ucapnya lagi.

Hari-hari selanjutnya bolduser yang dipergunakan untuk meratakan kuburan Cina di Gunung Kendil kampung Kentingan Solo, sebagai tempat pembangunan gedung kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) sekitar tahun 1978 yang lalu, sering mendapati benda serupa: peti mati! Entah berapa ratus peti mati dari gelondongan kayu jati sebesar rangkulan orang dewasa berhasil diangkat dalam keadaan utuh, sekalipun telah terpendam bertahun-tahun lamanya. Adapun mayat-mayat di dalam peti mati itu pada umumnya telah hancur menjadi kepingan-kepingan tulang dan hanya menyisakan rambut kepala yang tercerai-berai.

Anehnya, ketika mesin-mesin bolduser itu mencoba menggempur kuburan Nyah Rewel, yang berada di pojok timur-laut, tiba-tiba mendapati kenyataan yang sangat ganjil. Sopir telah mengambil ancang-ancang, bahkan pedal gas telah diinjak kuat-kuat, sampai bolduser berbahan bakar solar itu mengerang keras, seperti jeritan seekor gajah mengamuk, begitu tiba di depan cungkup angker dari beton cor itu langsung ngadat. Suara raungannya lenyap. Hal seperti itu tak cuma terjadi sekali. Sopir bolduser pun keder.

[]

Berita penemuan peti mati saat pembongkaran makam gunung Kendil cepat meluas, menyebar pula di telinga para perajin mebel di kampung Kentingan. Entah bagaimana mulanya, barangkali karena orang Jawa memang kreatif, peti-peti bekas itu tak lama kemudian lenyap, berpindah ke tangan para perajin mebel.

Pihak pemborong pembangunan kampus jelas merasa untung lantaran tak perlu keluar ongkos untuk merawat atau menyingkirkan benda menakutkan itu. Adapun bagi perajin mebel, kayu jati bekas peti jenasah itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku berkualitas tinggi.

Sarpin, salah seorang perajin mebel, membeli satu peti jenasah dengan harga lima belas ribu rupiah. Peti itu digarap menjadi satu almari besar dengan dua pintu, paling tidak harganya enam puluh ribu rupiah. Harga jual sebesar itu jika dikurangi ongkos tukang, ampelas, politur, dan dempul, masih menyisakan laba paling tidak tiga puluh ribu rupiah.

Almari yang memang tampak bagus dan antik itu ternyata laku dengan harga lebih tinggi dari perkiraan semula. Pembelinya Marsudi, seorang karyawan UNS. Setelah itu rejeki Sarpin terus mengalir seperti dikucurkan dari langit. Hampir semua dagangan yang dibuat dari bahan kayu jati bekas peti jenasah laris menjadi barang yang diburu konsumen. Bahkan tidak sedikit calon pembeli yang terpaksa inden karena Sarpin kehabisan stok.

[]

Akan tetapi tidak demikian halnya bagi Marsudi yang membeli almari dari Sarpin. Pada malam pertama setelah almari itu menghuni rumahnya, ada bau busuk menyengat. Bau misterius itu tidak serta-merta membuat hatinya risau, sebab dikiranya berasal dari bangkai tikus yang belum ketahuan letaknya. Setelah menginjak seminggu, bau busuk itu tidak juga hilang, malahan semakin menjadi-jadi, disertai suara berisik, hati Marsudi mulai gelisah. Terlebih lagi ketika anak-anaknya sakit panas bergantian.

Untuk mengantisipasi gangguan agar tidak semakin menjadi-jadi, Marsudi melaporkan kejadian itu kepada Kiai Sidik, orang pintar dari Banyuanyar.

“Apakah sampeyan menyimpan benda rahasia di dalam rumah?” tanya sang Kiai setelah mendengarkan pengaduan Marsudi. Yang ditanya cuma menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Cobalah diingat-ingat, apa yang sampeyan beli baru-baru ini?”

Marsudi bungkam. Dia merasa bukan golongan orang yang senang berburu batu akik, maupun besi bertuah yang muncul dari dalam kayu, batu, maupun tempat-tempat keramat. Hanya pada saat gajian bulan lalu dia membeli almari bagus untuk melengkapi isi rumahnya.

“Ya, almari itulah yang jadi penyebabnya,” ujar Kiai Sidik, seolah-olah dapat membaca kata hati tamunya.

“Kok bisa begitu, Kiai? Bagaimana logikanya?” tanya Marsudi setengah tak percaya.

Kiai Sidik terkekeh, “Bagaimana tidak? Almari itu dibuat dari bekas peti jenasah orang yang saat hidupnya menjadi rentenir. Oleh karena itu setelah meninggal, suksmanya terlunta-lunta, tersiksa, lantaran merasa belum iklas meninggalkan harta-benda. Tanah pun tak mau menerima jasadnya.”

Bulu kuduk Marsudi seketika berdiri. Pada malam itu juga almari yang dibelinya dia kembalikan. Sarpin si penjual almari dimarahinya habis-habisan. Tentu saja Sarpin merasa sedih, sebab harus mengembalikan uang yang telah dia terima. Perajin mebel itu membayangkan, kejadian buruk yang dialaminya ini belum berakhir. Entah kapan, peristiwa sejenis pasti akan dia hadapi bertubi-tubi. Akibatnya, rezekinya bakal kering bagaikan sumber mati.

Kasak-kusuk tentang almari angker menjadi kian ramai karena adanya cerita aneh yang terjadi di dalam kampus. Seorang satpam mengaku sering melihat mesin ketik kantor bergerak sendiri-sendiri dari satu meja ke meja yang lain ketika dia berjaga malam. Bahkan teman si satpam yang mula-mula duduk terkantuk-kantuk di kursi depan gedung rektorat, tiba-tiba berteriak minta tolong. Pasalnya, ketika dia terjaga tahu-tahu sudah tersangkut di pucuk pohon.

Tidak kurang dari Dokter Prakosa, rektor UNS saat itu, juga mengaku pernah beberapa kali melihat seorang nenek-nenek. Sambil terkekeh-kekeh mengerikan, perempuan tua berambut panjang acak-acakan itu merapikan rambutnya sambil duduk mengangkang membelakangi rembulan separuh di atas atap rumah dinas rektor.

“Mungkin perempuan itulah Nyah Rewel,“ bisik Dokter Prakosa kepada isterinya yang gemetaran.

Entah lantaran tahayul atau memang ada hubungan sebab-akibat, kebetulan banyak pejabat penting UNS yang tidak langgeng menduduki jabatannya. Hampir setiap UNS mewisuda guru besar baru, pasti diikuti kematian salah satu profesor senior lainnya. Kejadian demikian berkali-kali berlangsung, menyebabkan keprihatinan Prof. Dr. Koento Wibisono, yang menduduki jabatan rektor menggantikan Dokter Prakosa.

Itulah sebabnya Koento Wibisono sangat setuju dengan usulan agar UNS mengadakan ruwatan bumi, untuk membersihkan kampus Kentingan dari gangguan makhluk halus. Menjelang peringatan dies natalis sekitar dua tahun yang lalu, UNS mendatangkan orang pintar terkenal dari Jogjakarta guna dimintai bantuan untuk melarung sesaji di tengah Bengawan Solo. Sebelumnya, sesaji itu didoai di empat penjuru dan di makam Nyah Rewel. Malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Sesaji Raja Suya oleh dalang ruwat dari Klaten.

“Namun demikian, sampai sekarang saya masih sering mendapati perasaan aneh ketika berada di rumah dinas rektor,” kata Ny. Utari Koento Wibisono pada akhir Oktober yang lalu.*

Judul asli: Geger Pethi Mati
Panjebar Semangat No. 51, 17 Desember 1994

0 comments: