Oleh: A.S. Yasman
SEPERTI biasanya, menjelang bulan Mei, pabrik gula Trangkil di wilayah Kabupaten Pati utara itu mengadakan pesta sebagai tanda dimulainya musim giling. Seperti pabrik gula yang lain, pabrik gula Trangkil hanya dapat berproduksi secara musiman. Musim giling berjalan selama tujuh bulan, sejak Mei hingga November. Adapun bulan Desember hingga April, pabrik beristirahat. Saat itu digunakan untuk turun mesin, atau perbaikan-perbaikan sarana yang lain, sambil menunggu musim panen tebu berikutnya.
Tradisi pesta itu berlangsung sejak berdirinya pabrik pada zaman penjajahan Belanda. Pada zaman itu semua pembesar pabrik adalah orang-orang bule. Hanya ada satu dua orang asli Jawa, itu pun paling banter jabatannya cuma sinder atau kemetir yang bertugas mengawasi para buruh. Adapun maksud diadakannya pesta, antara lain, agar bangsa siluman yang mbaureksa pabrik tidak memakan tumbal jiwa manusia.
Dulu, ketika pabrik dipimpin Tuan Frank Berg, tradisi pesta itu tidak dilakukan. Alasannya, hal semacam itu merupakan tradisi orang-orang animistik dan hanya menghambur-hamburkan biaya. Apa yang terjadi kemudian? Pada saat mulai giling, berkali-kali genset-nya ngadat. Pipa air – yang mengalirkan air dari telaga Rejasa pun jebol. Masih beruntung, saat itu tak jatuh korban jiwa. Tapi, seorang buruh tangannya patah, dan sebuah gudang sepah terbakar.
Seorang waker (satpam) bercerita bahwa ia bertemu pasangan pria-wanita mengenakan pakaian adat Jawa lengkap. Si pria mengenakan beskap komplit, sedangkan si wanita memakai pakaian seperti yang dikenakan pengantin Jawa. Si waker mengatakan bahwa kedua orang itu marah-marah karena tidak disuguhi makanan dan tidak disambut dengan pesta meriah seperti biasanya. Mereka mengancam akan bikin ulah yang lebih menghebohkan jika dalam satu-dua hari tidak juga diadakan pesta seperti biasanya, sebagai ucapan terima kasih sebab mereka ikut menjaga keamanan pabrik.
Tak pernah ada penelitian dan penjelasan pasti, apakah genset itu ngadat karena ulah demit atau sabotase dari orang-orang yang menginginkan pesta. Tak jelas pula, apakah cerita satpam itu sungguh-sungguh atau cuma isapan jempol agar tradisi pesta itu dilanjutkan. Soalnya banyak orang beroleh keuntungan dari pesta itu. Yang pasti, sejak kejadian itu para tetua di sekitar pabrik mendesak agar tradisi pesta: selamatan dengan bekakak atau model sepasang pengantin yang dibuat dari batang dan daun tebu itu diadakan kembali. Model pasangan pengantin itu kemudian – di puncak acara pesta tanda dimulainya musim giling -- dimasukkan dan digilas dalam mesin giling oleh pimpinan pabrik.
[]
Tradisi pesta itu berjalan hingga kini. Makin tahun malahan makin meriah saja. Para warga sekitar pabrik menyebutnya sebagai acara Nggantingi, berasal dari kata dasar ngganti (mengganti). Maksudnya mengganti perkakas-perkakas lama yang sudah rusak, memperbaiki mesin, mengganti atau mengecat bagian-bagian yang perlu dicat dengan cat yang baru, dan sebagainya.
Sepekan sebelum mulai giling, jalan-jalan di seputar pabrik sudah dipenuhi para penjual aneka macam jajanan, mainan anak-anak, pakaian, termasuk sandal dan sepatu, hingga perkakas dapur dan aneka barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Seperti tradisi Dug-der-an di Semarang menjelang bulan Ramadan. Bahkan Pabrik juga menyelenggarakan turnamen sepakbola antarklub yang ada di kabupaten Pati.
Pada malam hari bermacam-macam tontonan digelar, mulai dari lawak, ludruk, ketoprak, wayang kulit, hingga orkes keroncong. Dan yang paling digemari masyarakat sekitar pabrik adalah layar tancap. Padahal, film-film yang diputar ya itu-itu saja, seperti Ateng Minta Kawin, Letnan Subur, Bawang Merah Bawang Putih, Si Pincang, dan Dream Girl. Tetapi, memang, masyarakat di sekitar pabrik itu cuma setahun sekali dapat menikmati film layar tancap, yakni pada acara Nggantingi itu.
Tidak aneh jika orang-orang dari desa seberang pun banyak yang berdatangan jika tiba saatnya film layar tancap diputar. Itu kesempatan yang sangat bagus bagi para bujangan serta para lelaki hidung belang. Bukan cuma filmnya yang menjadi daya tarik, melainkan situasi yang timbul akibat diputarnya film layar tancap itu. Saat film diputar, mata para lelaki – baik yang masih bujang maupun yang sudah punya isteri — tak cuma tertuju ke arah layar, tetapi juga menyapu kiri kanan. Siapa tahu ada lawan jenis yang menarik hati.
Kalau sudah menemukan sasaran, acara saling lempar senyum pun segera dimulai, lalu senggol-menyenggol, tangan bergerilya, lalu saling berbisik, membisikkan cinta kilat, untuk tidak menyebut nafsu. Maka pasangan-pasangan dadakan yang sudah saling sepakat pun undur dari depan layar tancap, mencari tempat yang lebih aman untuk memadu kasih instan.
[]
Mandor tebang Sarkawi bersama dengan dua orang karibnya, Parman dan Subro, memanfaatkan kesempatan yang cuma datang sekali dalam setahun itu sebaik-baiknya.
“Bu, aku mau cari kuli tebang bersama Parman dan Subro. Esok, sawah sebelah utara desa itu tebunya sudah harus masuk plassemen semuanya. Jika aku pulang terlambat, pintunya nggak usah dikunci, ya, Bu?” Sarkawi pamit pada sang isteri.
“Ah, yang bener saja! Cari kuli saja kok malam-malam begini, waktunya orang mau tidur! Jangan-jangan cuma mau thukmis, iseng cari pasangan baru? Awas, ya? Kalau sampeyan berani selingkuh, burung sampeyan akan saya cincang!” ancam isteri Sarkawi yang sudah hafal watak suaminya.
Parman dan Subro yang mendengar dialog itu cuma tersenyum. Mereka tak berani berkomentar. Apalagi, tampaknya, ancaman isteri Sarkawi kali ini terdengar serius. Mereka lalu mengikuti Sarkawi begitu saja, lupa berpamitan.
“Bagaimana jika ancaman isterimu itu serius? Apa nggak celaka, sampeyan?” gurau Parman setelah cukup jauh meninggalkan rumah Sarkawi.
“O, tidak mungkin. Kelihatannya memang galak, tapi hatinya lembut bagaikan sutera. Asal sepulangku nanti kuselipkan uang puluhan ribu dalam genggaman tangannya, tentu dia akan melupakan ancamannya itu,” kata Sarkawi disusul ledakan tawa mereka bertiga.
Mereka terus bergegas sambil menikmati rokok kesukaan masing-masing, sambil membayangkan apa yang akan mereka dapat di lapangan tempat diputarnya film layar tancap nanti.
Manusia berjubel di lapangan. Laki-perempuan, tua-muda, berbaur dalam suka-cita khas orang kecil. Beberapa saat, ketiga laki-laki itu cuma mondar-mandir. Jangan salah sangka, mereka tidak sedang mencari tempat yang bagus untuk menonton film layar tancap, melainkan sedang mencari calon “mangsa”. Perempuan.
Karena mereka memang ahlinya menjaring wanita, ketiga lelaki itu segera mendapatkan pasangan masing-masing. Lalu mereka berpencar, tetapi tetap berkoordinasi agar bisa pulang bersama-sama. Jika pulang sendirian, resikonya adalah makin dicurigai sang isteri. Mereka tahu betul itu, dan sebagai laki-laki buaya, mereka selalu menekan resiko ke tingkat yang paling rendah.
Parman – dengan gandengannya tentu saja — menepi ke pojok lapangan, ke dekat gapura sebelah selatan. Subro dengan gandengannya menuju ke dekat pangkalan lori. Adapun Sarkawi, maksudnya mau membawa gandengannya ke tribun sebelah barat. Sayangnya, perempuan cantik yang digandengnya terus menarik tangannya.
“Ke mana, sih? Nggak usah jauh-jauhlah. Nanti dicari temanku. Soalnya tadi sudah saling berjanji untuk pulang bersama-sama,” kata Sarkawi mencoba menahan perempuan itu.
“Sekalian nanti pulangku enggak jauh-jauh, Mas!” perempuan beralasan.
“Rumahmu di mana, memangnya?” tanya Sarkawi.
“Itu, sebelah barat sawah itu!”
Seketika bulu kuduk Sarkawi berdiri. Dia ingat bahwa di sebelah barat sawah itu bukanlah perumahan penduduk, tapi perumahan masa depan, alias kuburan. Ya, kuburan Belanda yang tidak terawat.
“Hei. Jangan menipu aku. Sebelah selatan sawah itu nggak ada rumahnya. Itu kuburan! Kamu ini manusia atau, jangan-jangan peri?” tanya Sarkawi sambil menarik lengan perempuan itu.
“Ih, laki-laki berani keluyuran malam-malam kok penakut gitu. Lihatlah itu, kelihatan dari sini, kan?”
Keberanian Sarkawi kembali bangkit setelah dia melihat telapak kaki perempuan yang digandengnya itu ternyata menyentuh tanah. Dari cerita-cerita orang, Sarkawi tahu rahasia untuk membedakan manusia beneran atau manusia penjelmaan mahluk halus. Kalau manusia jadi-jadian, telapak kakinya melayang-layang di udara. Tidak menyentuh tanah. Itulah sebabnya, Sarkawi yakin bahwa dia sedang berhadapan dengan manusia biasa, sehingga tak perlu ragu-ragu untuk segera mengajaknya bermain cinta.
[]
Nafsu Sarkawi sudah hampir sampai di ubun-ubun. Sambil berjalan menyusuri pematang sawah, tangannya mulai bergerilya.
“Jangan begitu, Mas! Nanti gimana kalau ada yang ngelihat?”
“Ah, siapa yang lihat? Di sini kan sepi, nggak ada orang.”
“Lho, siapa bilang? Lihatlah di depan itu!” si perempuan menunjuk sebuah warung di tepi jalan, kira-kira 100 meter di depan mereka. Tampak banyak orang di warung itu. Sarkawi terkejut. Dia baru sadar bahwa di depannya ada sebuah warung yang cukup ramai.
“Warung siapa itu, kok tengah malam begini masih ramai?” tanya Sarkawi.
“Itu warung Lik Yah. Mampir, ya?”
Sarkawi mengangguk. Mereka pun memasuki warung itu, menyibak kerumunan orang. Berkali-kali Sarkawi menyebut makanan pesanannya, tetapi terus saja dilewati. Yang datang belakangan malah sudah dilayani. Tapi Dasar Sarkawi, itu tidak jadi soal baginya. Dia malah merasa dapat kesempatan untuk meneruskan “perjuangan”-nya, bergerilya! Ya, perjuangan membangkitkan gairah asmara perempuan cantik yang kini sudah ada dalam genggamannya.
Mula-mula Sarkawi mengusap telapak tangan halus-mulus itu, memegangi jemarinya yang lentik, lalu mengelus rambutnya, lantas segera menjelajah wilayah-wilayah terpencil. Bahkan daerah larangan pun mulai dijamahnya. Sampai kemudian tangan Sarkawi surut tiba-tiba tatkala memasuki wilayah yang tak dia duga sebelumnya. Ibarat seseorang yang berjalan di atas jalan lempang yang mulus, tiba-tiba terperosok ke dalam comberan. Tangan Sarkawi menjamah borok yang -- ketika dia sadari -- betapa menjijikkannya. Ya baunya, ya…!
“Kenapa, Mas?” tanya perempuan itu.
Sarkawi mau protes, tetapi betapa terkejutnya dia manakala memandangi wajah perempuan di sisinya. Dia bukan lagi perempuan cantik yang tadi digandengnya, tetapi telah berubah ujud menjadi sangat menjijikkan. Wajahnya sangat tua, matanya melotot ceperti mau copot, pipinya keriput, dan rambutnya terurai tak terawat seperti rambut orang gila. Bau busuk dari borok di bagian punggung perempuan itu pun makin menyengat.
Listrik padam. Oh, bukan. Mana ada listrik di tengah sawah yang kini telah jadi kebun tebu itu? Warung itu pun sudah lenyap. Yang dilihat Sarkawi, kecuali perempuan yang makin menjijikkan, ialah sebuah pohon kepuh besar yang tumbuh persis di tepi kuburan Belanda yang tidak terawat itu.
“Suuunnnnn…deeeeellllllllll……!!” cuma itu yang dapat diteriakkan Sarkawi, sebelum dia jatuh pingsan dan ditemukan para bakul yang berangkat ke pasar Trangkil. Sejak saat itu Sarkawi berubah menjadi suami setia, tidak lagi suka menggoda wanita.*
Judul Asli: Sundel Bolong
Panjebar Semangat No. 6, 5 Februari 2000
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment