Tuesday, March 4, 2008

SASTRA JAWA, BUTUH TAPA NGRAME

Oleh: Bagus Putu Parto

Tidak ada sebuah ukuran yang pasti, berapa jumlah sastrawan yang dibutuhkan per seribu penduduk, atau berapa idealnya jumlah sastrawan di setiap kabupaten atau kotamadya. Tidak seperti halnya profesi dokter yang harus ada di setiap puskesmas kecamatan, kendati di daerah pelosok pegunungan sekalipun. Bahkan Pak Lurah pun tak cukup perlu untuk mensensus penduduknya yang ber-KTP Seniman.



Bagi saya “kelahiran seniman” pun masih saya anggap sebuah misteri. Kenapa di Madiun, Batu di dalam perkembangannya lebih banyak melahirkan seni rupawan, sedangkan Ngawi, Blora banyak melahirkan orang besar dalam dunia sastra, sebut misalnya: Umar Kayam, Pramudya Ananta Toer, dan pada generasi kemudian tumbuh kantung-kantung sastra di sana? Atau, misalnya, kenapa di daerah pedalaman seperti: Blitar, Tulungagung, Trenggalek, justru tumbuh subur Sastra Jawa-nya. Kendati ini semua dapat kita runut dalam proses sosial budaya, tetapi sekali lagi, seniman tak bisa dilahirkan, karena ini menyangkut panggilan jiwa. Untuk itulah saya selalu menyebutnya sebagai sebuah misteri.

Bahkan tak ada pula jaminan bahwa Fakultas Sastra dapat melahirkan sastrawan, kecuali barangkali sarjana-sarjana yang menguasai ilmu sastra. Sanggar-sanggar sastra, majalah sastra, yang mengadakan lomba penulisasan karya sastra, ataupun diklat-diklat penulisan, belum tentu menghasilkan calon sastrawan yang tidak lapuk oleh ujian waktu. Maka, sekali lagi, untuk menjadi sastrawan masih sangat bergantung pada panggilan hidup, yang dibentuk oleh bakat dan lingkungan.

Maka, ketika saya harus membicarakan sampai sejauh mana tingkat keberhasilan membangun kantung-kantung sastra Jawa (baca: kesenian) sebagai pilar penyangga tegaknya sastra Jawa, ini pun tak dapat bertolak dari ukuran kuantitas. Apalah artinya, misalnya, sebuah Sanggar Sastra Jawa yang anggotanya mencapai ratusan orang, tetapi mereka sekedar bebek, pengekor pimpinan, dan tidak kreatif? Pada dasarnya sastrawan/seniman adalah manusia yang mampu menciptakan kegelisahan dalam dunia sunyinya. Istilah yang lebih gagah, wani tanpa kanca, wani nglurug tanpa bala. Bagi saya, lebih baik sebuah sanggar hanya dihuni oleh beberapa gelintir anggota saja, tetapi mereka gelisah untuk berkarya dan membuat event bagi perkembangan sastra Jawa itu sendiri dan kebudayaan pada umumnya.

Maka, sanggar bagi sastrawan, sebenarnya hanya berfungsi manajemen saja. Bagi sastrawan yang sudah mampu menciptakan iklim proses kreatif dan oase dalam dirinya, sanggar hanya bermakna fisik, sebagai tempat pergaulan, kongkow-kongkow di kalangan seniman. Misalnya: apalah pengaruh sanggar bagi proses kreatif pengarang sekaliber Suparto Brata, Esmiet, Tamsir AS (almarhum), kecuali secara idealis sebagai tempat ‘ibadah’, untuk memberi bimbingan, berbagi pengalaman, serta rangsangan kepada para pemula untuk berkarya, sekaligus juga tanggung jawab sebagai sastrawan akan sosialisasi karya serta nasib sastra Jawa yang menghidupinya.

Pada Konggres Bahasa Jawa I di Semarang, 1991: Tamsir AS Ketua Sanggar Sastra Triwida dari Tulungagung, Esmiet Ketua Sanggar Sastra Pari Kuning dari Banyuwangi, dan Suharmono Kasiun dari Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS); para motor serta pendiri kantung-kantung sastra Jawa itu telah banyak menguraikan konsep, gagasan, serta tantangan yang dihadapi sastra Jawa ke depan. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya tugas organisasi ini diteruskan generasi berikutnya, untuk mempertahankan kelangsungan hidup sastra Jawa. Berbagai metode dilakukan sesuai dengan karakter anggota dan sanggarnya. Mulai dari cara yang ilmiah seperti dilakukan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Yogyakarta (PPSJY) dengan seminar-seminar, kajian karya, pementasan sastra Jawa di Taman Budaya Yogyakarta, sampai menerbitkan buletin Pagagan, sebagai media komunikasi dan sosialisasi karya para anggotanya. Penerbitan-penerbitan novel yang diprakarsai Tamsir AS, Suparto Brata dengan penerbit Puspus-nya, atau majalah Jaya Baya yang menerbitkan beberapa novel karya Mbak Yunani, dan usaha pengarang lainnya yang secara pribadi maupun kelompok menerbitkan kumpulan: geguritan, cerkak, maupun novelnya. (semoga usaha penerbitan ini jauh dari niatan pasang cikrak untuk mendapat hadiah Rancage dari Ayip Rosidi). Pemberian Hadiah Sastra Jawa yang telah dirintis Sanggar Sastra Triwida pada tahun 1990 dan 1995. Sampai dengan gaya lebih familiar Sanggar Triwida, dengan anjangsana, arisan yang mengajak sanak keluar, omong-omong dengan gayeng, guyon parikena, kritik sana-kritik sini, sambil memberi spirit anggota untuk berkarya.

Segala upaya telah dilakukan. Kurang apa lagi? Toh, sekarang genderang kematian sastra Jawa terdengar bertalu-talu, dan para sastrawan dilanda kecemasan, datang ke dokter, tabib, bikin forum diskusi, Konggres Sastra Jawa, untuk memperpanjang usia sastra Jawa. Adakah yang salah dari manajemen sastra Jawa, sehingga tak mampu beradaptasi dengan kondisi sekarang?

Fenomena yang berkembang, banyak para sastrawan Indonesia yang ikut gerah memikirkan nasib sastra Jawa yang berada diambang sekaratul maut. Leres Budi Santoso, Aming Aminudin (Surabaya), Tjahyono Widijanto (Ngawi), Bagus Putu Parto (Blitar), dan lainnya, banyak melontarkan pemikiran serta ambil bagian bagaimana sastra Jawa untuk dapat tetap eksis. Mereka adalah orang-orang yang berada di luar pagar, tetapi ber-empati dengan nasib Sastra Jawa. Ada berbagai alasan, pertama: meskipun mereka sekarang menggunakan bahasa Indonesia sebagai media ekspresi tetapi bahasa Jawa adalah bahasa ibu, sehingga dalam berlogika tetap menggunakan bahasa Jawa, serta banyak juga mentransformasikan idiom tradisi Jawa dalam berkarya. Kedua: merasa senasib sebagai kelompok minoritas, di daerah perkembangan sastra Indonesia juga tidak lebih baik dibanding sastra Jawa. Berbagai upaya dilakukan pula untuk sosialisasi di daerah. Kita dapat mencatat gerakan Kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (KRSP), pada pertengahan 90-an. Dengan Tri-Konsepnya: Pertama: menolak pusat sebagai legitimasi sastrawan. Kedua: media massa bukan satu-satunya tempat sosialisasi, sehingga membuat alternatif seperti: penerbitan bulletin, pemanggungan karya, dan lain-lain. Ketiga: menjalin silaturahmi budaya dengan kantung-kantung kesenian lainnya. Langkah-langkah KRSP ini merupakan bukti keterpencilan sastra Indonesia di daerah.

Sebaliknya para sastrawan Jawa pun ikut melibatkan diri pada berbagi event kesenian di luar sastra Jawa, sebut misalnya: Bonari Nabonenar, Yudhet, Widodo Basuki, dan lainnya. Ini sebuah pertanda, pintu-pintu yang menjadi skat selama ini sudah terbuka lebar, dan orang lain bisa keluar-masuk untuk saling berbenah dan mengadakan persinggungan dan komparasi. Tidak seperti yang lalu Sastra Jawa adalah urusan para sastrawan Jawa, sehingga orang di luar itu tidak boleh ambil bagian. Bahkan yang lebih konyol lagi, setiap menghadiri sarasehan sastra Jawa, kita yang tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam menyampaikan gagasan harus menggunakan bahasa Jawa, sehingga akhirnya banyak pemikiran-pemikiran yang tidak terkomunikasikan. Dan para sastrawan Jawa pun seakan merasa tak perlu menghadiri Pembacaan Puisi, diskusi Sastra Indonesia, Pameran Lukis Kontemporer, Pagelaran Teater Kontemporer, Konser Musik Kontemporer. Seakan-akan itu semua tidak ada kaitannya dengan dunia sastra Jawa. Sikap yang sangat ego, inklusif, atau ini salah satu bentuk ketidakterbukaan kepribadian mereka. Bahkan antar-Sastrawan Jawa, ada perasaan saling ewuh-pakewuh untuk saling mengkritik, polemik di mass media adalah sesuatu yang ditabukan. Sebenarnya dengan adanya konflik yang sehat, silang pendapat di mass media, akan menandai bahwa sastra Jawa itu ada dan hidup.

Dalam Orasi Sastra Jawa di Blitar, 1995, Tjahjono Widijanto, mengkritik bahwa untuk perkembangan sastra Jawa, kawan-kawan Sastrawan Jawa perlu belajar “gila” dari kawan-kawan Sastra Indonesia. Ini merupakan sebuah lecutan, agar para Sastrawan Jawa, lebih total, berani nggetih (istilah: Narko Sodrun) dalam menggeluti sastra Jawa. Agar sastrawan Jawa tidak terbelenggu dalam pusaran pergaulan yang ndesani (kampungan, ed), seperti katak di dalam tempurung, yang hanya puas kalau karyanya di muat di mass media. Dan mass media seakan dijadikan ukuran kualitas karya. Tidak adanya persinggungan dan komparasi dengan genre lain yang saya sebutkan tadi, membuat sastra Jawa hanya berkutat sebagai sastra panglipur wuyung. Jangan hanya karena keterbatasaan bahasa, sehingga menutup kemungkinan genre lain untuk saling bertegur sapa. Bahasa Jawa hendaknya kita pahami sebagai media ekspresi saja, tidak lebih dari itu, sehingga tidak menjadi beban serta kendala untuk mengekspresikan diri.

Sekali-sekali kita ingin melihat para penggurit membaca geguritannya dihadapan para buruh yang mogok menuntut naik gaji (bukan apa-apa, ini hanya ingin membuktikan bahwa sastra Jawa ada keterlibatan sosial), atau tidak ada salahnya kumpulan Geguritannya Widodo Basuki mendapat pengantar Gunawan Mohamad, atau Cerkak-cerkak- nya Jayus Pete yang surealis itu dibahas Putu Wijaya. Agar sastra Jawa bukan hanya milik komunitas sastra Jawa saja, tetapi merupakan karya universal.

Sastra Jawa butuh piknik, bersinggungan di luar dunianya. Itulah sebabnya saya katakan bahwa sastra Jawa butuh topo ngrame, agar tidak terpuruk sebagai sastra yang ndesani. Adalah anggapan yang salah bahwa sastra Jawa adalah sastra nomer dua, dan Sastra Indonesia adalah sastra nomer satu. Kadang ini juga dipengaruhi sikap para sastrawannya sendiri, yang entah karena rasa rendah diri atau karena sikap rendah hati sebagaimana falsafah hidup orang Jawa. Perkembangan yang menggembirakan para sastrawan Jawa, generasi kini, sudah membuka pintu-pintu itu untuk saling bertegur sapa dengan komunitas seni lainnya, dan seyogyanya diikuti pula oleh yang lainnya. Bukan tidak mungkin nantinya baca geguritan di café sambil nikmati musik rock yang hingar bingar.

Tentang membangun kantung-kantung sastra Jawa (baca: kesenian), kita tak perlu gegabah, main grusa-grusu. karena membangun komunitas sastra tidak sama dengan menggalang kader-kader partai politik, atau mengerahkan suporter sepak bola. Saat ini kita hanya butuh satu, dua, tiga orang yang gelisah untuk masa depan sastra Jawa. Sebab semua itu kembali berpulang bahwa untuk menjadi sastrawan sangat bergantung dari panggilan hidup, yang tentunya tidak ringan sebagai pilihan.


* Penulis adalah anggota tamu sanggar Triwida, tinggal di Blitar
** Makalah ini untuk disampaikan dalam Konggres Sastra Jawa I, di Taman Budaya Surakarta, 6-7 Juli 2001

0 comments: