Tuesday, March 4, 2008

Tulisan Pak Esmiet, untuk Sebuah Diskusi di Galeri Surabaya yang Tanggalnya pun sudah Terlupa

PEMBUKAAN

Saya dipanggil untuk sidang yang terhormat ini, untuk berbicara tentang sastra Jawa. Panitia berpesan agar pembicaraan itu ditekankan pada JANGAN LAGI ADA TANGISAN SASTRA JAWA. Sebenarnya, menurut pengalaman saya, sejak adanya sastra, utamanya sastra Jawa, tangisana aitu tidak ada. Adanya Cuma kita sendiri yang tidak menyadari eksistensi sastra Jawa itu sendiri.



Memang di tahun 1967 seorang pakar sastra Jawa, Almarhum Sudarmo KD, pernah bicara bahwa sastra Jawa saat ini sedang lesu darah. Arswendo Atmowiloto juga pernah mengatakan dalam sebuah pertemuan, nanti akan nglayat sastra Jawa.

Apakah salah kalau saya meramalkan bahwa tahun 2009 adalah tahun berbunyinya lonceng kematian sastra Jawa…..? Semua itu akan saya soroti dalam kesempatan dalam mimbar ini. Sebenarnya untuk membicarakan sastra Jawa, kalau dibatasi Cuma empat lembar, kalau dihitung-hitung, berangkat apa tidak saya ini. Sebab yang akan saya utarakan kepada anda sekalian sangat banyak dan kompleks, mengingat penekanan saudara adalah pada sastra Jawa, tidak pada tangis lagi.

Nah, baiklah kita mulai saja pembicaraan ini, dan akan saya bagi menjadi 5 judul. Judul yang terakhir nanti sengaja akan saya pisahkan dengan yang lain. Untuk mengantisipasi saya dinilai kebablasen, agar mudah bagi saya item itu, dan saya sembunyikan.

Yang akan saya bahas: (1) Kenapa menangis….? (2) Ana tangis layung-layung, (3) Mana yang lebih dulu, Sastra Jawa atau budaya Jawa, (4) Kenapa sastra Jawa disebut adiluhung, dan (5) Apa hubungan sastra Jawa dengan Pancasila.

KENAPA MENANGIS…….?

Sejak Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito dihukum mati oleh pihak Kerajaan, tentu saja ini mendapat imbauan dari penjajah Belanda, sastra Jawa merasa kehilangan akal, tidak berani menghasilkan apa-apa yang berhubungan dengan karya sastra Jawa.

Sastra Supadmo yang dinilai ceplas-ceplos menggambarkan rakyat kecil, dan TONDO NEGORO yang legendaris, DONO TANOYO yang sederhana, sudah merasa lesu darah.

Hanya Bagus Sumardi, yang belakangan berani memunculkan sebuah novel yang isinya soal-soal kebangsawanan. Mungkin saat itulah berdengungnya tangisan-tangisan sastra Jawa. Tetapi ironisnya mereka tidak tahu dan tidak mengerti secara pasti apa yang harus ditangisi dan mengapa mereka harus menangis. (Pada alinea selanjutanya masalah ini akan saya soroti lebih tajam).

ANA TANGIS LAYUNG-LAYUNG

Ana tangis layung-layung
Tangise wong wedi mati
Gedhongana kuncenana
Wong mati mangsa wurunga

Ripaka-paka tanjung
Mboking rara
Ripadha-padha sanjung
Mboking rara
Rara tanjung dening gambang
Rinincika mboking rara

Saudara panitia dan saudara-saudara yang lain pada mimbar ini, itulah gambaran tangisan saat itu yang di-rumpaka secara apik penuh nada sentimentil.

Ana tangis layung-layung artinya tangisan yang sangat sedih sekali. Sudah sangat, ditambah kata-kata sekali. Jadi, sangat luar biasa menyedihkan.

Pada alinea berikutnya, wong wedi mati, gambaran sastra di saat itu yang ingin sekali mempertahankan hidupnya, tetapi tiada cara yang bisa dilakukan, sebab terus ada peringatan dari kesadaran mereka sendiri bahwa gedhongana kuncenana wong mati mangsa wurunga.

Kemudian ada gambaran cahaya yang menyambut ripaka-paka tanjung. Tanjung artinya adalah peningkatan upama diterjemahkan ke dalam bahasa lumrah begaimana kalau kematian itu bisa ditanggulangi dengan memperbanyak hasil karya sastra.

Pertanyaan itu dipertanyakan kepada Mboking Rara. Mboking Rara artinya pemikiran yang masih murni. Jawaban Mboking Rara berupa: ripadha-padha sanjung mboking rara. Ripadha-padha sanjung, artinya: Kita ini sama-sama bergengsi, karena tidak mencobanya

Mboking rara dening gambang, artinya:

Pikiran-pikiran yang being itu, terpengaruh oelh pikiran tradisional sehingga tampak ragu-ragu. Gambang artinya logam dibuang. Oleh karena itu ada kata rinicika mboking rara. Mereka itu sudah pasrah apa adanya.
Itulah gambaran sastra Jawa pada saat itu.

MANA YANG LEBIH DULU, SASTRA JAWA ATAU BUDAYA JAWA

Membicarakan soal ini memang merupakan kesulitan tersendiri. Sama dengan menjawab pertanyaan: lebih dulu mana, telur atau ayamnya. Kalau kita jawab ayam itu lebih dulu, ayam itu asalnya dari mana? Kalau kita jawab telur dulu, dari mana kita menerima telur itu?

Itu bagi mereka yang tidak mengerti samasekali tentang sastra Jawa. Jika mereka tahu dan mengerti sejak semula, tidak akan ada tangis bagi sastra Jawa. Sebab menurut pemikiran sayaaa yang awam justru sastra Jawalah merupakan ibu kandung kebudayaan Jawa. Jadi, kebudayaan Jawa adalah produk dari sastra Jawa.

Lho, mengapa bisa berbalik demikian?

Mari kita perhatikan bersama di seluruh dunia. Di Yunani, Rum, Arab, India, Jepang dan di mana saja di seluruh dunia ini yang disebut abjad merupakan susunan huruf-huruf tertentu yang mati dan tidak ada artinya sama sekali. Tetapi tidak untuk abjad Jawa.

Abjad Jawa yang disebut carakan, sudah mempunyai arti yang sangat dalam, berisi petunjuk-petunjuk kehidupan dan falsafah-falsafah sosial.

Katakanlah Hanacaraka data,

Hana berarti Hurip. Hurip itu Sang Pencipta. Sang Pencipta mengutus caraka, berarti mengutus mahluknya. Mahluk yang mempunyai caraka. Data adalah mempunyai cipta rasa karsa dan rumangsa itu adalah manusia. Jadi, yang diutus Sang Pencipta itu adalah manusia. Bukan malaikat, karena malaikat itu hanya memiliki cipta. Juga bukan binatang, sebab binatang itu hanya memiliki rasa dan karsa. Dengan mengaji karya sastra leluhur kita ini, terbangunlah kebudayaan Jawa.

KENAPA BUDAYA JAWA DISEBUT ADILUHUNG

Dimulai dari carakan Jawa itulah kebudayaan Jawa terbentuk. Makin lama semakin maju pesat, lalu timbul pemikiran terjadinya carakan Jawa itu di mana. Ada yang mengasumsikan bahwa terjadinya carakan Jawa dari lakon legenda Dora Sembada.

Dora artinya goroh, sembada artinya pantes. Pantes tapi dora. Kenapa kita harus mempelajari cerita itu, padahal cerita itu goroh. Kita sudah tahu kelanjutan cerita itu setelah data adalah sawala. Sawala adalah tertutup. Sawal bantal berarti tutup bantal. Arti yang sederhana.

Padha jayanya, dalam pemikiran itu para leluhur kita sama sama sakti (padha sektine). Tetapi menurut pemikiran saya, kalimat itu bukan padhajayanya yang berarti kekuasaannya berakhir. Itu menggambarkan di saat raja Empo Sendhok dikalahkan oleh saudaranya yang bernama Sanaha sampai dia melarikan diri ke wilayah timur sungai Brantas.

Mengingat demikian jauh hasil karya sastra nenek moyang kita dan begitu perkasa hasil karya sastranya, sudah tidak ada alasan lagi bagi karya sastra Jawa untuk menangis.

Keadiluhungan budaya Jawa adalah karena budaya Jawa itu memiliki pedaringan yaitu bahasa Jawa. Budaya Jawa memiliki sinar kehidupan yaitu karya sastra Jawa. Budaya Jawa juga memiliki semangat kehidupan, yaitu keteladanan lakon Pendawa Lima.

Budaya Jawa jugamemiliki tempat berserah diri yaitu hurip (dzat yang menentukan hidup atau matinya mehluk di dunia ini).

Itulah sebabnya budaya Jawa disebut adiluhung.[]


[Diketik (asline tulisan tangan) dening Bonari lan Keliek, bengi-bengi ing Jetis Kulon 57 Sby.]

0 comments: