Tuesday, March 4, 2008

Yang Penting: Apa yang Dilakukan setelah Kongres

Tanggapan Artikel KBJ III: Sebuah Kalkulasi Moral

Oleh: Bonari Nabonenar

Tulisan Pranowo, KBJ III: Sebuah Kalkulasi Moral (Bernas, Rabu, 18 Juli 2001) yang dimaksudkan untuk menanggapi tulisan Suwardi Endraswara, Meragukan Keputusan KBJ III (Bernas, 14 Juli 200), mengandung beberapa pernyataan yang tidak proporsional. Pranowo tampaknya mendapatkan informasi mengenai Kongres Sastra Jawa (KSJ) dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal itu antara lain tecermin pada kalimat ini, "Sayangnya, mengadakan kegiatan (KSJ, pen.) yang maunya baik, tetapi diawali dengan niat tidak baik." Jadi, Pranowo beranggapan bahwa para penggagas dan Panitia KSJ punya niat tidak baik. Jika saja Pranowo sudah membaca sekian banyak rilis KSJ yang tersebar di berbagai media, tudingan macam itu tak seharusnya muncul. Atau dia beranggapan bahwa pernyataan Ketua Panitia KSJ Daniel Tito yang selalu kipa-kipa atau ogah dibilang bahwa KSJ bermaksud menandingi KBJ (Kongres Bahasa Jawa) III itu hanya sekedar basa-basi?



Tulisan ini akan berisi penjelasan mengenai lahirnya gagasan untuk menggelar KSJ, yang, secara kebetulan saya ikuti prosesnya dari awal. Barangkali tetap saja tidak akan memuaskan. Bisa jadi malah semakin menjengkelkan. Tetapi, sesungguhnya memang demikianlah kenyataannya.

Sanggar-sanggar sastra Jawa (Triwida, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, Saggar Pari Kuning, Paguyuban Sastrawan Bojonegoro) belakangan ini makin sepi kegiatan. Mungkin tinggal Sasnggar Sastra Jawa Jogjakarta yang masih tampak geliatnya, karena diayomi Balai Bahasa Jogjakarta dan Bu Sri Widati Pradopo. Sudah sekian tahun tak pernah ada lagi pertemuan pengarang sastra Jawa yang representatif seperti yang dulu digelar oleh Sanggar Triwida ataupun OPSJ (Organisasi Pegarang Sastra Jawa). Padahal, pengarang/penyair muda sastra Jawa masih bermunculan. Sementara itu tudingan bahwa sastrawan Jawa introvert, kurang intens dalam berkarya, bahkan kurang "gila", makin gencar.

Lalu muncullah gagasan untuk mengundang seluruh pengarang sastra Jawa, termasuk para pengguritnya untuk sebuah pertemuan yang tidak cuma berisi ratap tangis dan keluh-kesah memprihatini kehidupan sastra Jawa yang konon bak kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau itu. Roeswardiyatmo bersama Daniel Tito sudah mengangankan pertemuan itu di Wonogiri.

Pada saat yang sama, Narko "Sodrun" Budiman yang Ketua Sanggar (Sastra Jawa) Triwida malah menginginkan Kongres Bahasa Jawa Tandingan. Sebenarnya itu lebih tampak sebagai lontaran wacana (Narko melontarkan ide kurang ajar-nya itu lewat majalah Panjebar Semangat). Pada awalnya, Narko tidak diundang sebagai peserta KBJ III, apalagi ditunjuk sebagai makalah. Tak jelas apakah karena tulisannya di Panjebar Semangat itu atau karena angin apa, ternyata kemudian Narko diminta panitia KBJ III untuk membuat makalah -pada saat para pemakalah lain sudah setor naskah.

Saya sebenarnya tidak ingin memperdebatkan apakah Panitia KBJ III sudah mengakomodasi dengan baik para pekerja Sastra Jawa Modern. Tapi, mengapa pengarang Sastra Jawa Modern sekaliber Suparto Brata dan Esmiet (keduanya adalah pemenang hadiah Rancage 2001, dan mereka sama-sama mendapatkanya untuk yang kedua kalinya) saja tidak diundang? Apa salah mereka? Pada akhirnya, Esmiet maupun Suparto Brata memang diundang. Dalam kondisi yang sebenarnya masih sakit, karena cintanya kepada Sastra Jawa, Esmiet pun datang di Jogjakarta. Sementara itu Suparto Brata -entah karena kadhung gela atau apa-- sampai hari ke-4 pelaksanaan KBJ III ini belum kelihatan juga batang hidungnya. Malahan, akhirnya, beberapa teman, Ketua Panitia KSJ dan beberapa pengarang yang menghadiri KSJ pun akhirnya mendapatkan undangan susulan. Bahkan, saking mendadaknya, Panitia KBJ III pun mengundang mereka dengan telepon.

Pada suatu hari para penggagas KSJ bertemu di Solo. Ada wakil dari Surabaya, dari Triwida, dan juga dari Jogjakarta. Sejak awal mereka sadar dan menghindari untuk berhadap-hadapan dengan pihak Panitia KBJ III. Karena itu mestinya tidak usah dipersoalkan jika ada beberapa peserta dan bahkan pemakalah dalam KSJ yang juga menjadi peserta atau pemakalah di KBJ III, seperti Suwardi Endraswara itu. Tidak harus diunek-unekke sebagai bermuka dua dan semacamnya. Soalnya, memang antara KSJ dengan KBJ III tidak selayaknya dihadap-hadapkan sebagaimana dua partai politik yang saling berseberangan. Kalau bisa saling mengisi, ya saling mengisilah. Kalau masing-masing merasa asyik dengan dirinya sendiri, ya berasyik-asyiklah dengan diri sendiri.

Memang, di arena KSJ banyak suara yang terkesan ingin membentur-benturkan KSJ dengan KBJ III. Tetapi itu semua suara peserta. Barangkali termasuk suara Suwardi Endraswara? Oleh karena itu, mestinya Pranowo bukannya lalu mencoba nambah-nambahi mungsuh dengan menuding KSJ punya niat yang tidak baik.

KSJ benar-benar murni gagasan para pengarang muda, yang secara kebetulan memperoleh dukungan dari kaum tua yang bijaksana, yang bisa ngemong. Kaum tua yang bijaksana itu ialah mereka yang bisa menerima karya-karya crita cekak, guritan, crita sambung, dan lakon-lakon Teater Gapit sebagai karya sastra Jawa (modern). Bukan kaum tua -seperti dikatakan Dr. Setya Yuwana-- yang menganggap hanya nkarya sastra Jawa klasik yang layak disebut sebagai karya sastra.

Jadi, menjawab pertanyaan Pranowo, yang digelar di Solo (6-7 Juli) kemarin adalah Kongres Sastra Jawa yang mencoba menampung aspirasi para pengarang Sastra Jawa Modern. Soal yang dapat ditampilkan cuma 15 makalah, atau bahkan seandainya tanpa makalah sekalipun --karena mereka sudah gembar-gembor cuma modal tekad-- yang penting bagi mereka adalah: apa yang bisa dilakukan setelah Kongres. Maka, kita tunggu saja. Apakah mereka akan tidur nyenyak, atau berbuat sesuatu, atau harus sibuk melayani kaum tua yang tidak bisa ngemong dan gampang marah itu. Atau, orang-orang muda macam Suwardi Endraswara dan Triman Laksana (yang disebut terakhir itulah salah satu pengarang muda yang menginginkan KSJ jadi tandingan KBJ III) berhenti berkarya dulu untuk belajar unggah-ungguh, agar bisa melontarkan kritik secara elegan, njawani, yang, jangan-jangan adalah bahasa halus untuk maksud: tidak mengritik! Begitu?

* dari Bernas, Sabtu, 21 Juli 2001

0 comments: