Catatan Kecil dari Kongres Sastra Jawa (Solo, 6-7 Juli 2001)
Oleh: Bonari Nabonenar
Bisa dipahami memang, jika pada awalnya banyak pihak meragukan Kongres Sastra Jawa (KSJ). Ketika masih berupa gagasan saja sudah banyak yang mencibiri. Bahkan ada pula yang tega mendakwa sebagai ajang cari perhatian para pengarang (sastra Jawa) muda yang tidak mendapatkan tempat di Kongres Bahasa Jawa III (Jogjakarta, 15-21 Juli 2001).
Sebelum Murtidjono dengan Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta-nya menawarkan bantuan berupa fasilitas: tempat kongres berikut penginapan dan biaya penggandaan makalah --realisasinya malah juga biaya konsumsi untuk 100 orang peserta-- KSJ memang terasa agak ngayawara. Para penggagasnya pun makin pusing ketika harus membuat proposal. Siapa (lembaga) yang akan bertanggung jawab sebagai penyelenggara? Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta hanya bersedia memfasilitasi. Mau memakai Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ), rasanya sudah tak ada yang bisa "dijual" dengan nama OPSJ. Akhirnya kop surat pun dibuat hanya dengan kata-kata: Panitia Kongres Sastra Jawa.
Memang akhirnya dana segar mengucur dari mereka yang sangat menghargai gagasan dan semangat para pengarang (muda) sastra Jawa itu. Bukan karena kesaktian kop surat-nya, melainkan karena nama-nama yang tercantum di dalam kepanitiaan: Daniel Tito, Roeswardiyatmo, Suliyanto.
Alhasil, KSJ yang memilih tema, Sastra Jawa: Menyikapi Fenomena Kekinian, Menyongsong Masa Depan itu berjalan lancar. Para pembicara pun, misalnya, rela membuat makalah walau tidak dibayar. Bahkan, Arswendo Atmowiloto, Bambang Sadono, dan N Sakdani Darmopamudjo masing-masing jadi pemakalah sekaligus donatur untuk KSJ ini. Ketua Panitia Daniel Tito pun rela menunda penerbitan novel berbahasa Jawa-nya, Lintang Panjer Rina, untuk nomboki KSJ sebelum dana dari donatur turun.
WS Rendra pun mempercepat kepulangannya dari Jerman untuk dapat bertemu dan berbicara di hadapan para pengarang sastra Jawa. Sungguh, KSJ tak mungkin terlaksana tanpa semangat gotong royong.
Pada awalnya memang cuma mengandalkan tekad dan semangat. Maka, di tengah-tengah acara KSJ, DR Sudiyatmana yang ahli dan sekaligus penyair sastra Jawa itu pun menepuk-nepuk bahu salah seorang panitia, Sugeng Wiyadi, sambil berucap, "Ya, beginilah seharusnya yang muda-muda ini. Punya inisiatif, dan mau kerja keras!"
KSJ memang hanya digelar selama 2 hari. Pesertanya pun tak begitu banyak. Dari 150-an pengarang sastra Jawa yang diundang, yang hadir sekitar 80 orang. Tetapi banyak yang bisa diharap dari kongres yang digelar secara gotong royong ini.
Tampil sebagai satu-satunya pembicara yang menggunakan pengantar bahasa Jawa ragam krama, Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa sebagai ruh sastra Jawa akan tetap hidup. Ia bisa saja memakai baju sastra Indonesia, atau bahkan sastra dunia, tanpa menghilangkan atau mematikan ruh Jawa-nya.
Penulis skenario sinetron Keluarga Cemara itu bahkan juga mendukung penerbitan media alternatif yang sudah digagas Suliyanto, Daniel Tito, dan Roeswardiyatmo. Lebih tegas lagi, ia bersedia mengucurkan dana untuk 3 sampai 4 edisi awal yang menurut perkiraan Suliyanto akan menghabiskan Rp 7,5 juta per edisi itu. Sungguh, ini angin segar buat sastra Jawa.
Tampil dengan makalah yang judulnya cukup provokatif, Sastra Jawa, Tidak Cerdas dan Tidak Kreatif, Bambang Sadono yang Sekjen PWI, Pimred Suara Karya, dan anggota DPR RI itu pun tak luput dari todongan Daniel Tito untuk ikut pula mendukung rencana penerbitan majalah sastra Jawa. Bambang melihat persoalan sastra Jawa bukanlah persoalan laku atau tidak laku. Memang tidak cerdas dan tidak kreatif! Begitulah menurut Bambang. Maksudnya, perlu ada manajemen yang bagus di dalam sastra Jawa. Basuki dan Timbul pun harus bikin proposal agar Ketoprak Humor-nya bisa ditayangkan televisi. Taufik Ismail yang penyair besar dalam sastra Indonesia juga berkolaborasi dengan Bimbo. Nah --tanya Bambang-- kapan para penggurit (penyair Jawa) berkolaborasi dengan Didi Kempot, misalnya?
Tak kalah menariknya adalah tawaran WS Rendra kepada para sastrawan Jawa untuk tampil mementaskan karya-karya mereka di Bengkel Teater-nya di Depok. Setelah memberikan banyak masukan kepada para pengarang dan penyair sastra Jawa dalam dialog yang sangat akrab itu, Rendra mengaku bahwa baru lebih kurang dua atau bahkan setahun belakangan ini menyadari betapa besar potensi para penyair daerah yang menulis sajak dengan bahasa ibu mereka. Oleh karenanya, menurut Rendra, sangat layak jika puisi-puisi berbahasa daerah itu suatu ketika ditampilkan di luar negeri, agar kekayaan budaya daerah yang dipamerkan di luar negeri bukan tari-tarian melulu. Go internasional, begitulah. Cuma, masih menurut Rendra, penerjemahan karya sastra --apalagi karya sastra Jawa-- ke dalam bahasa asing bukanlah pekerjaan yang gampang.
Walaupun semula diragukan banyak pihak, akhirnya KSJ terlaksana dengan baik dan menghasilkan keputusan-keputusan yang cukup mendasar. Lewat forum yang cukup kontroversial ini --semula sempat juga dianggap menandingi Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta-- para sastrawan Jawa sadar betapa pentingnya networking. Karena itu, selain bertekad membangun kantong-kantong sastra Jawa --selain makin menggairahkan kantong-kantong (baca: sanggar-sanggar sastra Jawa) yang sudah ada-- disepakati pula keputusan untuk membangun komunikasi antarsanggar maupun dengan komunitas sastra lainnya. Bukan saatnya lagi sastrawan Jawa mengurung diri dalam sangkar emas, apalagi di dalam tempurung, tetapi harus mau tapa ngrame. Demikian menurut istilah Bagus Putu Parto. Jadi, gayung bersambut dengan tawaran Rendra itu.
Nah, kita tunggu saja. Jika KSJ tak ada pengaruhnya samasekali terhadap geliat sastra Jawa, sebaiknya KSJ II yang rencananya digelar 3 tahun mendatang itu dijadikan KSJ terakhir saja. Atau barangkali memang benar guyonan Daniel Tito bahwa para peserta KSJ kali ini adalah generasi terakhir sastrawan Jawa. Wah! []
* dari Jawa Pos, Minggu, 15 Juli 2001
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment