Tuesday, May 13, 2008

Pembunuhan Reggy dan Tipologi Manusia Jawa

Oleh: YULIA DAMAYANTI

Berita pembunuhan di kota besar, rasanya bukan hal baru. Tapi, beberapa minggu terakhir ini, korane wong Jawa Timur (Jawa Pos -red) selalu memasang perkembangan berita pembunuhan Reggynaldy Ratumbuysang. Awal pemberitaan, sang jurnalis menggambarkan peristiwa itu dengan apik hingga menimbulkan kesan miris bagi pembaca. Waktu itu tertulis "Pelaku pembantaian, menurut polisi yang mewawancarai saksi mata, berjalan dengan tenang ke arah timur sambil menenteng senjatanya yang berlumuran darah. Para saksi mata tak ada yang memberikan pertolongan, saat melihat kejadian itu. Mereka juga tidak berusaha mengejar pelaku, bahkan tak ada yang tahu kemana arah pembunuh itu melarikan diri". (Jawa Pos, 19 April 2008).



Pemberitaan perkembangan yang selalu mendapat porsi di halaman depan metropolis itu menyenangkan. Saya tidak perlu susah-susah mencari di halaman lain. Jujur, pembunuhan Reggy sangat menggelitik jiwa saya. (Jika mungkin) saya ingin berbincang dengan eksekutor yang bak bintang film laga itu.

[]

Mengikuti rasa tanya, saya mencoba mengutak-atik mengapa pelaku memilih jalan "bermain" dengan nyawa. Yang lebih menarik perhatian adalah cara melampiaskan kemarahan yang begitu nggegirisi. Memenggal kepala hingga putus.

Sekitar tujuh tahun lalu, ketika masih kuliah di Sastra Jawa di Kota Solo, ada materi kuliah Tipologi Manusia Jawa. Ini mengulas bagaimana sikap (yang seharusnya) dan lazim dilakukan manusia Jawa dalam khazanah budaya timur dengan dominasi tradisi besar. Cara manusia Jawa menghadapi masalah dan srawung.

Dosen yang masih trah Keraton Mangkunegaran menerangkan dengan rinci. Mengenalkan istilah Papat NGA (empat Nga) yang di ambil dari huruf akhir dalam 20 rangkaian aksara Jawa. Masing-masing punya kepanjangan dan mengandung makna etos sikap yang tak pernah berhenti didogmakan pada anak cucu. Tujuannya agar terinternalisasi dalam darah manusia Jawa.

NGA pertama, Ngalah. Orang tua sering menasehati anaknya urip sing akeh ngalahe (hidup harus banyak mengalah). Lalu, sebagai penguat, si orang tua akan menambahkan, wong ngalah kuwi gede pungkasane (orang mengalah akan mendapat hal besar di akhir). Membiarkan sesuatu yang seharusnya menjadi hak milik kita, pasti akan berbalas dengan sesuatu yang lebih besar.

Sikap ini pula yang tak pernah putus dipesankan Syeh Siti Jenar pada murid-muridnya ketika menghadapi ancaman pembubaran oleh Dewan Wali (Wali Sembilan). Waktu itu, keimanan Syeh Siti Jenar dihakimi dan dikhawatirkan menyesatkan ummat. Meski dengan sikap mengalah ini, akhirnya Syeh Siti Jenar harus rela mengakhiri hidupnya dengan menerima hukum pancung atas kebijakan dewan Wali yang berdaluih menyelamatkan aqidah ummat.

NGA kedua, Ngaleh (menyingkir). Menghindari konflik demi tata krama menjadi pilihan yang dinilai bijak dalam kaidah Jawa. Wes, ora usah rame, nyingkrih wa yen ra cocok (menyingkir saja jika tidak cocok). Jadi menyingkir jauh lebih mulia ketimbang harus berhadapan dan bertarung. Apalagi pada masalah yang tidak prinsip. Sikap ini yang dilakukan Ken Dedes ketika harus berebut kasih dari Ken Arok dengan Ken Umang. Ken Dedes bukan hanya ngalah, tapi juga sempat pergi atau ngaleh dan berdiam diri. Dan ini membuahkan hasil, tumpahnya kasih sayang utuh Ken Arok pada Ken Dedes.

NGA ketiga adalah ngamuk (mengamuk). Sikap ini yang terus dan terus dipesankan orang tua untuk tidak dilakukan jika tidak terdesak. Kalau pun marah, orang tua akan berpesan, harus lewat tiga tahapan. Ini yang ditauladankan para raja Jawa. Yakni ulat (rona wajah), glagat (gelagat), ilat (ucapan). Jadi, siapa pun yang mengaku turunan Jawa, diharapkan memulai kemarahan dengan menunjukkan ulat. Jika yang dituju sudah mengerti dan memperbaiki sikapnya, maka kemarahan harus dicukupkan. Tapi jika tak ada respon, baru naik ke tahap, melempar gelagat. Baru kalau tidak direspon juga, maka menggunakan ilat.

NGA keempat, ngobong (membakar). Tentunya pada sikap terakhir ini kita mungkin harus tertunduk malu. Sejarah bangsa ini yang lekat dengan kultur Jawa justru punya sejarah pembakaran yang luar biasa. Meski tidak berulang kali, tapi setiap kali terjadi selalu mencengangkan. Etos yang seringkali diawali dengan perusakan ini berlangsung hingga sekarang. Kalah pemilu membakar, kalah pilkada membakar, susah cari makan membakar, cemburu membakar. Dalam skala besar, luluh lantaknya Tuban menjadi cermin besar sikap Manusia Jawa keempat, ngobong.

Dari empat opsi sikap manusia Jawa, tidak ada yang menyebutkan penghilangan nyawa menjadi salah satu pilihan penyelesaian masalah. Waktu saya bertanya pada si dosen, kenapa tidak membunuh? Kenapa pilih membakar? Beliau tersenyum sambil mengatakan, ojo dolanan nyowo. (jangan bermain nyawa).

Di luar kuliah, dosen ini mengatakan, dalam kaidah Jawa memang tak sering menyinggung tentang nyawa. Kalaupun ada literatur seputar nyawa, selalu dipaparkan dengan jantan. Kalau ada yang terbunuh, pasti diawali dengan pertarungan, adu kesaktian, dan bukan main belakang. Tipologi Manusia Jawa lebih memilih cara "halus" jika berniat menundukkan dan mengakhiri hidup lawan. Eufemismenya disebut Sastra Lisan. Mungkin rasanya ini lebih kejam. Tapi ini pilihan demi tata krama.

Kembali pada kasus pembunuhan Reggynaldy Ratumbuysang, saya hanya bertanya dari mana berguru tentang penjagalan manusia (jika dia Manusia Jawa). Kalau pun bukan manusia Jawa, rasanya tak ada tradisi pembunuhan dalam budaya mana pun. Yang ada bunuh diri, semacam pulung gantung atau harakiri. Tapi memang, jika menengok ke 1965, kita punya sejarah kelam kemanusiaan, ketika banyak nyawa dijagal oleh sesama. Tercatat rapi dalam buku tebal, Holokaus Manusia dan Kemanusian. Pertanyaannya, apakah pembunuh Reggy membaca buku itu?

Pertanyaan berikutnya, jika akar budaya tak menyajikan piranti pada sikap itu, lalu mengadopsi dari mana? Apakah ini yang dinamakan pathologi social dengan selimut linglung? Apakah masyarakat telah diterbangkan oleh sayap bernama kultur agresi pada masyarakat industri yang gamang dan tanpa peduli oase welas asih? (*)

YULIA DAMAYANTI, Koordinator Komunitas Penulis Pembelajar Jawa Timur

Jawa Pos Selasa, 13 Mei 2008

0 comments: