Saturday, June 7, 2008

Buku-buku Jawa Terhimpit di Gang Sempit

LELAKI tua itu tinggal di sebuah rumah sederhana bersama istri dan seorang anaknya. Rumah itu terletak di sebuah gang sempit di kawasan padat penduduk di Peterongan Tengah, Semarang. Beberapa pot bunga menghiasi teras rumahnya. Sebuah mobil Suzuki keluaran 1983 tertutup rapat di halaman rumahnya yang sempit. Mobil tua itu sudah jarang dikendarai.


Pemiliknya Agus Mulyono, 67 tahun. Di dunia sastra Jawa ia lebih populer dengan nama samaran Ariesta Widya. Dari tangannya sejak 1959 telah lahir 100 prosa, lima cerita bersambung, 39 geguritan (puisi), dan sejumlah cerita pendek (cerita cekak). Terakhir dia baru saja meluncurkan kumpulan cerita pendek Manjing Daging yang diterbitkan Mascom Media Semarang.

Lewat kegiatan mengarang dalam bahasa Jawa itu ia beberapa kali menerima penghargaan sebagai sastrawan Jawa terbaik versi Dewan Kesenian Surabaya, majalah Djaka Lodang, Javanologi Yogyakarta, dan Taman Budaya Yogyakarta.

Namun, kehidupan sastra Jawa tampaknya tak jauh berbeda dengan kehidupan Agus: terhimpit di gang sempit. Sastra Jawa nyaris punah bila orang-orang seperti Agus tidak bertahan mati-matian menghasilkan sejumlah karya yang layak baca.

Tapi itu saja tak cukup. Karya itu butuh pembaca, dan kini pembaca sastra Jawa makin berkurang. "Kalaupun kesejahteraan para sastrawan Jawa dijamin oleh negara, tidak ada jaminan sastra Jawa akan tetap maju jika apresiasi dari masyarakatnya sendiri rendah," kata Agus pada Maret lalu.

Kehidupan pengarang sastra Jawa masa kini tidak bisa dilepaskan dari media massa berbahasa Jawa. Selain berisi berita dan artikel, majalah bahasa Jawa juga dipenuhi karya-karya sastra seperti cerita bersambung (crita sambung), cerita pendek (crita cekak), cerita anak-anak (wacan bocah), cerita wayang (pedhalangan), crita rakyat, dan cerita misteri (alaming lelembut).

Di antara materi fiksi tersebut, hanya crita sambung dan crita cekak yang dianggap karya sastra. Di kedua rubrik ini hanya karya yang memiliki mutu sastra tinggi saja yang lolos ke pemuatan.

Tak banyak sastrawan yang konsisten mengirim karyanya. Biasanya mereka selalu datang dan pergi. Kalaupun ada yang konsisten, jumlahnya cuma dapat dihitung dengan jari. Pengarang angkatan tua yang boleh digolongkan tetap produktif hingga kini ialah Suparto Brata, Ismoe Rianto, Suharmono Kasiyun, Yunani (Surabaya), Suryadi WS (Solo), Wisnu Sri Widodo (Sragen), Tiwiek SA (Tulungagung) dan Djajus Pete (Bojonegoro). Karya-karya mereka telah menghiasi majalah bahasa Jawa sejak akhir 1950-an.

Generasi berikutnya yang produktif ialah Harwimuka (Blitar), Widodo Basuki (Trenggalek), AY Suharyono, Ardini Pangastuti (Semarang), Keliek SW (Wonogiri) dan Turio Ragilputra (Kebumen). Generasi termuda dari pengarang sastra Jawa yang tetap produktif berkarya ialah Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo), Siti Aminah (Yogyakarta), Bambang P (Wonogiri) dan Sudadi (Wonosobo).

Kecuali Suparto Barata, Tiwiek SA dan Harwimuka, mereka adalah sastrawan majalah. Karya-karya cerita pendek dan cerita bersambung mereka banyak menghiasi Panjebar Semangat, Jaya Baya dan Djaka Lodang. Sedangkan Suparto, Tiwiek dan Harwimuka selain produktif di majalah juga telah banyak menghasilkan buku sastra.

Namun, dunia sastra Jawa tidak bisa dilepaskan oleh nama-nama seperti Tamsir AS, Any Asmara dan Esmiet (semuanya telah almarhum). Nama-nama mereka seperti melegenda di belantika sastra Jawa. Selain sebagai pengarang Jawa yang sangat produktif, karya-karya mereka banyak digemari pembaca.

Bahkan, misalnya, pada masa jayanya, di Palembang pada 1960-an pernah berdiri organisasi persatuan penggemar Any Asmara.

Menurut Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat, Moechtar, 78 tahun, oplah Panjebar Semangat langsung naik bila memuat cerita bersambung karya ketiganya.

Bagi para pengarang sendiri, mereka juga sebuah legenda. "Mereka tak tergantikan oleh siapapun," kata Tiwiek SA.

Di era 2000-an satu dua pengarang bermunculan. Biasanya mereka mengirimkan karya cerita anak yang "mutu sastranya" tidak berat. Kemunculan mereka makin memperkaya jumlah pengarang. Ketika Jaya Baya menggelar lomba mengarang remaja, peminatnya mencapai 127 orang. Namun, setelah lomba berakhir, mereka tak pernah lagi mengirim karangan. "Mereka hanya ingin hadiahnya saja," kata Widodo Basuki, staf redaksi Jaya Baya.

Pengarang sastra Jawa umumnya tidak berangkat dari tujuan komersial, karena honorarium mereka tergolong kecil. Di Panjebar Semangat, misalkan, honor sekali pemuatan cerita pendek hanya Rp 40 ribu. Tak heran bila produktivitas mereka lebih bertumpu pada idealisme. "Honor menulis sastra Jawa ibaratnya hanya cukup untuk beli pita mesin ketik saja," kata Suparto Brata.

Buku-buku

Produktivitas adalah salah satu faktor yang membuat buku karya sastra Jawa juga menurun 5 tahun terakhir ini. Kalaupun ada, jumlahnya dapat dihitung dengan jari, yaitu kumpulan geguritan Layang Saka Paran (Widodo Basuki, 2000), Trem (Suparto Brata, 2001), Kreteg Emas Jurang Gupit (Djajus Pete, 2002), Candhikala Kapuranta (Sugiarto Sriwibawa, 2003), Pagelaran (JFX Hoeri, 2004), Serenada Schubert (Moechtar, 2004), Donyane Wong Culika (Suparto Brata, 2005), Donga Kembang Waru (Trinil, 2005) dan Medhitasi Alang-Alang (Widodo Basuki, 2005).

Dari keseluruhan buku-buku tersebut yang mendapatkan hadiah sastra Rancage ialah Layang Saka Paran (Rancage 2000), Trem (2001), Kreteg Emas Jurang Gupit (2002), Candhikala Kapuranta (2002), Pagelaran (2004) dan Donyane Wong Culika (2005).

Penerbitan semua buku-buku itu dimodali sendiri oleh penulisnya. Suparto Brata, misalnya, rela merogoh koceknya sendiri hingga Rp 8 juta untuk menerbitkan Donyane Wong Culika kepada penerbit Narasi Yogyakarta.

Hal yang sama juga dialami oleh Trinil dan Widodo Basuki. Karya keduanya diterbitkan oleh penerbit kecil, yakni Komunitas Cantrik, Malang. Sedangkan Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete dicetak oleh sebuah percetakan kecil tanpa nama di Jalan Pagesangan, Surabaya. Dananya digotong rame-rame oleh Aliansi Jurnalis Independen Surabaya dan Dinas Informasi dan Komunikasi Jawa Timur. "Sastrawan Jawa itu miskin, tapi idealis. Buktinya mereka bisa menerbitkan sendiri karyanya," kata Widodo Basuki.

Bahasa Jawa merupakan kesulitan tersendiri untuk menawarkan ke penerbit. Rata-rata para penerbit enggan menerbitkan dengan alasan sulit untuk dijual. Penerbit tidak mau menanggung risiko merugi. Akhirnya para pengarang itu membiayai sendiri percetakan tanpa membebani percetakan untuk menjualkan.

Namun, kesulitan lain tetap muncul. Setelah menjadi buku, toko-toko buku besar emoh pula dititipi untuk memasarkannya. Alasannya, buku berbahasa Jawa sulit laku. "Saya menawarkan buku saya ke Toko Buku Manyar Jaya, tapi langsung ditolak dengan alasan bahasanya sulit dimengerti," kata Widodo Basuki.

Penghargaan terhadap buku sastra Jawa cuma Rancage saja. Penghargaan berupa uang senilai Rp 5 juta. Di luar itu tidak ada lagi penghargaan terhadap buku bahasa Jawa.

Pemerintah, khususnya pemerintah daerah Jawa Tengah, Yogyakarya dan Jawa Timur, juga minim sekali perhatiannya terhadap buku-buku bahasa Jawa ataupun pengarangnya. Dewan Kesenian sebagai lembaga kesenian yang mencakup karya sastra juga tidak menunjukkan perhatian yang memadai. "Dewan Kesenian hanya memfasilitasi pertemuan pengarang saja," kata Widodo Basuki lagi.

Penerbitan buku

Dalam sejarah penerbit buku di Surabaya, hanya Panjebar Semangat dan Jaya Baya saja yang mau menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa. Di luar itu, dengan alasan komersial, tidak ada penerbit yang mau menyentuh sastra Jawa. Kalaupun ada, ya itu tadi, mereka minta dibayar penuh dan tidak dibebani ikut menjualkan.

Lain halnya dengan Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Sejak 1950-an Panjebar Semangat telah menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa. Produk terbitannya yang hingga kini tetap terkenal ialah novel Ngupaya Serat Pangruwating Papa dan Kitab Betal Jemur Adam Makna.

Penerbitan ini berhenti setelah Pemimpin Umum Panjebar Semangat, Imam Supardi, meninggal dunia. Penerbitan selanjutnya diteruskan oleh Yayasan Jaya Baya. Di tangan Jaya Baya, puluhan buku telah diterbitkan dalam tiga dekade. Selain novel-novel bahasa Jawa, ia juga menerbitkan buku kejawen, kamus basa Jawa, kawruh basa Jawa dan, kawruh keris dan tata cara pamedhar sabda.

Proyek idealis ini digarap oleh bekas Pemimpin Umum Jaya Baya yang kini telah almarhum, Tadjib Ermadi dan Satim Kadaryono. Mereka rela menyisihkan laba Jaya Baya untuk membiayai proyek idealis tersebut.

Menurut Pemimpin Redaksi Jaya Baya, Kicuk Parta, sampai saat ini masih ada penggemar fanatik buku-buku kejawen tersebut. Namun, karena jumlahnya terbatas, setiap pembeli hanya diberi edisi foto copy saja. Buku yang asli tidak boleh dibeli karena tinggal satu-satunya. "Tapi, sejak dua tahun terakhir percetakan kami tidak aktif," kata Kicuk.

Di kantor Jaya Baya yang terletak di Jalan Karah Agung, Surabaya, masih banyak buku-buku berbahasa Jawa, baik novel, cerita sejarah dan bacaan anak-anak. Kicuk menjelaskan, selain dijual di kantor, buku-buku terbitan Jaya Baya juga dititipkan ke Toko Buku Sari Agung, Surabaya. Mereka sadar, sangat sulit mengambil laba dari penjualan buku-buku itu. "Karena ini proyek idealis, bagi saya impas saja sudah bagus," kata dia.

Dari puluhan buku terbitan Jaya Baya, novel Dokter Wulandari karya Yunani merupakan buku terlaris. Novel yang dicetak tahun 1997 itu laku hingga 2 ribu eksemplar. "Itu rekor tertinggi penjualan buku bahasa Jawa," kata Kicuk.

Sayangnya, di Surabaya maupun di kota-kota lain di Jawa Timur jarang dijumpai toko-toko buku yang menjual buku berbahasa Jawa. Kalaupun ada, berupa buku pengetahuan yang berhubungan dengan kejawen yang ditulis dengan bahasa Indonesia.

Di Toko Buku Gramedia kini memang terdapat buku Donyane Wong Culika karya Suparto Brata. Namun, umumnya buku-buku sastra Jawa tidak mendapat tempat di etalase toko besar. Jika masih ada, umumnya dijumpai di pedagang-pedagang buku bekas di Jalan Semarang maupun di Pasar Blauran, Surabaya.

Nasib buku-buku Jawa mutakhir tampak makin terhimpit di gang-gang sempit pasar buku loak itu. Di gang itu masih mungkin menjajakannya, tapi dia tetaplah sebuah gang. Yang meliriknya terbatas pada sebagaian kecil orang yang mungkin mau berpayah-payah mencarinya. [kukuh s wibowo/sohirin/kurniawan---- Sumber: Laporan Yayasan Sastra Rancage]

Saka: Koran Tempo

3 comments:

sangat ironis memang. orang jawapun sekarang tidak lagi njawani. bahasa jawa kenyataan sekarang terkesan ndesa dan sudah ketinggalan jaman. anak-anakpun lebih diajarkan menggunakan bahasa indonesia sejak kecil. padahal bahasa jawa tidak hanya habis pada bahasanya saja, tetapi lebih kepada moral (orang jawa yang sesungguhnya).

dhoni
mahasiswa bahasa jawa-Unnes

lha arep kepriye maneh? Tampa wae apa anane. lha saiki awake dhewe ya luwih seneng rembugan nganggo basa saliyane basa jawa. Anak- anake para dosen lan guru basa Jawa wae neng omah ya ora nganggo basa Jawa kok. Malah ora diajari lho!! Tunggu aja waktunya.

Proficiat katur PS lan Jaya Baya, ingkang taksih kasdu mbabar karya sastra Jawi. Penerbit sanesipun rata-rata boten wani mbabar, alesanipun boten saged masaraken. Nyoto Pak Parta Brata, taun kepengker kanthi ragad piyambak kula babar buku "Donganing Maling." Mugi-mugi pungkasning wualn menika menapa wiwitaning wulan Nopember 2009, kula ugi badhe mbabar malih buku "LODHEH KAHANAN." Basa, sastra lan budaya Jawi mugi tansah lestari. "HIDUP SASTRA JAWA !!!"