Saturday, June 21, 2008

Joko Saryono, Dosen Sastra Universitas Malang: Pemprov Jatim belum Miliki Lembaga yang Jelas untuk Mengurusi Kesenian

Kebijakan Pemprov Jatim terkait kesenian masih mengambang. Sementara pelaksana program kesenian juga masih bertumpu pada urat nadi pemerintah. Mengapa ini bisa terjadi? Berikut wawancara Edi Purwanto dari Tim Ngaji Kesenian dengan Joko Saryono, Dosen Sastra Universitas Malang


Bagaimana Pemprov Jatim menangani kesenian?

Kebijakan kesenian tidak jelas, tak terkelola secara baik. Pemerintah tidak memiliki kejelasan struktural yang akhirnya berdampak pada program. Saya melihat pemerintah belum memiliki lembaga yang jelas dalam mengurusi kesenian. Meski, saya kira, ada atau tidaknya pemerintah, kesenian dan kebudayaan di Jatim akan tetap berjalan karena basisnya adalah masyarakat.

Sebenarnya siapa paling berwenang mengurusi kesenian ini?

Dinas P dan K dan Dinas Pariwisata punya tanggung jawab untuk mengelola kesenian. Mereka punya dana besar untuk itu. Akan tetapi besarnya dana itu juga tidak bisa maksimal tanpa melibatkan orang-orang lokal yang mengelola kesenian.

Tapi pemerintah masih menentukan segalanya?

Ini adalah cermin masih kuatnya kendali pemerintah terhadap pelaksanaan program-program kesenian. Politik kesenian sepenuhnya dikendalikan birokrasi. Sehingga yang terjadi adalah birokratisasi kesenian, bukan pemerdekaan kesenian. Di sisi lain, seniman sendiri tidak punya nilai tawar dalam penyusunan program, rencana anggaran dan pelaksanaannya. Seniman tidak memiliki posisi politik yang kuat dalam proses-proses politik. Mengapa? Mungkin karena seniman terlalu alergi terhadap politik kesenian.

Komentar Anda soal porsi anggaran pengembangan kesenian dalam APBD selama ini?

Saya ingin jelaskan bahwa di masa otonomi daerah seperti saat ini, anggaran terbesar berada di kabupaten/kota. Kedua baru provinsi. Lagi pula pemerintah selama ini hanya terikat dengan program anggaran setahun, maka yang dikerjakan ya seadanya saja. Mereka menjalankan mana yang bisa dijalankan. Misalnya menggarap yang punya basis material atau peluang ekonomi, seperti festival, pergelaran dan lain sebagainya.

Bukankah orientasi pada basis material atau ekonomi belaka bisa mencerabut kesenian dari akar komunitas?

Betul. Kesenian semacam itu akan mengacaukan tata sosial yang sudah berlaku di masyarakat dan tidak memberikan sumbangan signifikan bagi perkembangan masyarakat. Seharusnya kesenian tidak meninggalkan basis komunitasnya sehingga keselarasan dan dinamika kesenian tetap terjaga pada wilayah lokalnya masing-masing. Sayangnya selama ini politik kesenian yang dikembangkan Pemprov Jatim masih belum jelas.

Langkah yang seharusnya diambil pemerintah?

Paling mendasar, pemerintah harus menempatkan kesenian dalam konteks Jatim yang tetap cair dan multikultural. Lantas program prioritasnya disusun berdasarkan pemetaan wilayah. Ini yang belum saya lihat. Kedua, kesenian tidak akan hidup hanya dengan pergelaran dan festival. Karena itu pemerintah jangan hanya mengucurkan dana untuk program-program festival dan pergelaran saja. Melainkan lebih pada pemberdayaan dan kemandirian seniman. Festival itu hanya pesta belaka. Program itu tidak mendidik seniman untuk berpikir maju. Menurut saya, kesenian akan berkembang dan besar bila kesenian itu tetap berakar pada basis sosialnya. *

Diproduksi oleh: Ngaji Kesenian hasil kerjasama Harian Surya, Yayasan Tantular, dan Desantara Institute for Cultural Studies. [SURYA-ONLINE, Sunday, 04 February 2007]

0 comments: