Saturday, June 7, 2008

Kamus Suroboyoan, Apresiasi Dialek

SEBUAH kamus Suroboyoan-Indonesia diluncurkan kemarin (6/6). Disusun M. Djupri, kamus setebal 200 halaman itu dibuat untuk mengapresiasi bahasa Jawa Timuran. Acara launching yang diadakan di Fakultas Ilmu Budaya Unair itu juga diwarnai bedah buku kamus dan sebuah buku dokumentasi Keluar Masuk Kampung karya Achudiat


Dimoderatori Sirikit Syah, acara itu mengundang Rusdizaki, alumnus FISIP Unair, dan Hasan Bahana, dosen ilmu komunikasi Untag, sebagai pembicara. Djupri mengatakan, dimunculkannya kamus itu sebagai wujud kecintaan sebagai orang Surabaya. "Saat ini, banyak kamus beredar, namun kamus Suroboyoan belum pernah dimunculkan," kata pria yang kini bermukim di Malang itu.

Djupri menyatakan kurang tepat jika sarana komunikasi yang biasa digunakan masyarakat Surabaya dan sekitarnya itu disebut sebagai bahasa. Sebab, meski memiliki ciri khas, itu tetap merupakan bagian bahasa Jawa. "Akan lebih pas jika menyebutnya sebagai dialek," kata pria yang berprofesi sebagai seniman dan jurnalis tersebut.

Soal stigma bahwa dialek Surabaya cenderung kasar, Djupri kurang setuju. Menurut dia, kasar atau tidak itu bergantung cita rasa pendengaran setiap individu. ''Saya, misalnya, malah lebih menganggap bahasa Jawa Semarangan itu lebih kasar daripada bahas dialek Surabaya," jelasnya.

Hasan Bahana menambahkan, dialek Surabaya berkesan kasar karena bahasanya memang tidak mempunyai struktur yang jelas. Itu berbeda dengan bahasa Jawa yang mempunyai kelompok kata-kata untuk diucapkan kepada orang tua, anak-anak, atau remaja.

"Tapi, di Surabaya bahasanya egaliter. Semua sama. Tua atau muda, penyebutannya ya 'koen'. Maka, terdengar kasar jika dihadapkan pada masyarakat yang terbiasa berbahasa halus," ungkap Bahana.

Bahana menyambut baik terbitnya kamus itu. "Sudah banyak kelompok etnik yang menerbitkan kamus. Misalnya, kamus Jawa Tengah atau kamus Sunda. Kenapa Surabaya tidak?" ujar Bahana.

Dibandingkan dengan bahasa daerah lain, dialek Suroboyoan tidak kalah unik dan menarik. Apalagi dialek Surabaya juga dipengaruhi pelbagai unsur. Mulai bahasa Melayu, bahasa Mandarin, hingga Arab. Semua membentuk kesatuan menjadi bahasa Surabaya.

Achudiat memberikan masukan kepada Djupri. Menurut dia, kamus itu akan lebih lengkap jika disertai etimologi, quote, nukilan, serta contoh frase. "Seperti kata gombale mukio. Dalam kamus ini tidak dijelaskan dari mana asal kata tersebut," ujar Achudiat. Kata tersebut oleh Djupri dimaknai sebagai tumpukan pakaian bekas yang dibawa gelandangan bernama Mukio. "Padahal, kalau asal kata tersebut diceritakan, bisa jadi lebih menarik," imbuhnya.

Dalam penyusunan kamus, Djupri menghimpun kata demi kata berdasar ingatan. Termasuk, bertanya kepada orang-orang Surabaya. "Karena itulah, harap maklum saja bila kosakata dalam kamus ini sangat terbatas." tegas Djupri. (ign/ayi)

Jawa Pos [Sabtu, 07 Juni 2008]

0 comments: