Saturday, June 7, 2008

KAMUS BAHASA SURABAYA TIDAK PERLU

Oleh Desti Retnowati *

Kamus bahasa Surabaya kiranya belum perlu disusun dengan segera. Bukan karena tidak setuju soal inventarisasi (dialek) bahasa daerah sebagaimana inti pembicaraan M Jupri (Kompas edisi Jatim, 11/2/2006), namun tinjauan dari banyak sisi. Hal pertama yang hendaknya dipertimbangkan adalah tujuan penyusunan kamus.



Saudara Jupri yang mengumpulkan kosakata dengan menganalogikan pada apa yang dilakukan Albada (Sekretaris Indonesische Lexicographie di Amsterdam) perlu mengidentifikasikan dahulu tujuan pengumpulan kosakatanya sebelum menyimpulkan bahwa kamus bahasa Surabaya perlu (segera) disusun. Jika semata untuk inventarisasi (dialek) bahasa daerah, sepertinya masih banyak cara, di antaranya lebih sering digunakan dalam hal-hal tertentu secara tertulis dalam bidang-bidang yang jarang menggunakan dialek bahasa daerah.

Misalnya, materi kajian ilmiah, karya sastra serius, naskah pidato pelaksana pemerintahan tingkat tertentu di daerah, bahasan dalam media massa cetak, serta naskah berita radio dan televisi.

Hal ini mengingat prosedur penyusunan kamus yang sangat panjang dan tingkat keaktualan kamus. Kosakata sebelum disusun dalam bentuk kamus minimal harus sudah diketahui varias-variasi penggunaannya dan keberterimaan kosakata tersebut oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Sesudah itu baru dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu lembaga pemerintah atau organisasi swasta, yang tentu saja kosakata tersebut sudah dibakukan sebelumnya secara ilmiah menggunakan pendekatan tertentu. Ketika terbit, perkembangan kosakata di dalam kamus sudah tertinggal kurang lebih selama lima tahun.

Penyusunan kamus Jawa-Belanda yang dilakukan Albada tidak bisa dianalogikan dengan gambaran di atas karena Albada bukan penutur asli bahasa Jawa. Penyusunan kamus oleh Albada itu hanya untuk kepentingan praktis dalam kapasitas bukan sebagai penutur asli. Biasanya untuk keperluan penyebaran agama (pemahaman budaya masyarakat yang akan disebari agama), bukan inventarisasi bahasa daerah kita. Dengan demikian, keaktualan bisa agak diabaikan jika untuk kepentingan semacam yang Albada lakukan.

Keaktualan untuk kepentingan iventarisasi dialek bahasa daerah yang dilakukan Saudara Jupri yang saya maksudkan adalah sesegera dan sebanyak mungkin diwujudkan dalam ragam tulis dan digunakan dalam bidang ragam tinggi sehingga bisa sejajar dengan bahasa daerah (baku), bahasa nasional, dan bahasa asing.

Bidang-bidang ragam tinggi biasanya bisa dilihat dari bahasa yang digunakan, yaitu bukan dialek bahasa daerah atau bahasa daerah tingkat tutur paling rendah. Kita sebagai penutur asli, yang dapat diasumsikan lebih memahami bahasa atau dialek kita daripada yang bukan penutur asli, mungkin akan lebih "menyelamatkan" (dialek) bahasa daerah jika kita menggiatkan penggunaan bahasa daerah dalam ragam tulis dahulu, baru menyusun kamus.

Selain itu, penjagaan akan keberlangsungan bahasa daerah masih belum mengkhawatirkan dilihat dari jumlah penutur, heterogenitas penutur, peragaman penggunaan, dan luas wilayah tutur. Khusus untuk kosakata dialek bahasa daerah biasanya sudah tercantum dalam kamus bahasa daerahnya, meskipun tidak dicantumkan nama dialeknya. Tentang bahasa suroboyoan (saya cenderung menyebutnya bahasa Jawa Dialek Surabaya atau Subdialek Surabaya dengan istilah "bahasa Surabaya") tidak perlu diinventarisasi dalam bentuk kamus mengingat beberapa hal.

Pertama, jumlah penutur bahasa Surabaya tergolong banyak; wilayah tuturnya luas mencakup enam wilayah administratif (kabupaten/kota), penuturnya heterogen; masih digunakan dalam ragam tulis; kosakata bahasa Surabaya sedikit banyak tercantum dalam kamus bahasa Jawa (baku), Indonesia atau sebaliknya; dan divariasikan penggunaannya sehingga bisa sejajar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa baku.

Pendapat saya ini mungkin akan lebih bisa dipahami jika prinsip- prisip dasar kamus diuraikan juga. Kamus pada dasarnya adalah kumpulan kata (dan struktur) yang disertai dengan terjemahan dan contoh penggunaannya. Bahan kamus antara lain adalah penggunaan bahasa terkini. Fungsi kamus cenderung untuk mengetahui kosakata yang dibakukan dan yang bukan. Kamus bukan merupakan referensi untuk mencari istilah terkini.

Kamus dialek kurang bisa dibandingkan dengan kamus bahasa daerah (baku), bahasa nasional, dan bahasa asing dari segi kesegeraan penyusunannya. Penyusunan kamus bahasa daerah baku segera diperlukan karena kemungkinannya kecil bisa ditemukan dalam bahasa nasional, juga karena penyerapannya jarang dilakukan secara utuh.

Kalaupun diserap secara utuh, biasanya tidak tercantumkan sebagai bahasa Indonesia serapan dari bahasa daerah.

* Desti Retnowati Tenaga Teknis Bidang Bahasa Balai Bahasa Surabaya


Kompas 9Jawa Timur) Jumat, 24 Februari 2006

0 comments: