JAKARTA - Perkembangan bahasa daerah dewasa ini mencemaskan. Dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur di bawah satu juga orang. Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang.
Agar tidak punah, maka preservasi dan pemberdayaan terhadap berbagai bahasa daerah di seluruh Indonesia serta pengembangan bahasa Indonesia, perlu dilakukan secara serius, terus menerus, dan kesinambungan.
Hal itu diungkapkan Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam seminar Empowering Local Language Through ICT yang digelar Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (11/8) di Jakarta.
Bahasa-bahasa yang tercancam punah itu tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Antara lain bahasa Lom (Sumatera) hanya 50 penutur. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, Baras 250 penutur.
Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Punan Merah 137 penutur, Kareho Uheng 200 penutur. Wilayah Maluku bahasa Hukumina satu penutur, Kayeli tiga penutur, Nakaela lima penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.
Multamia menjelaskan, pada umumnya bahasa daerah yang jumlah penurutnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyai tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang pada bahasa-bahasa minoritas ini jika tidak segera didokumentasikan maka akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensi mereka.
Ahli linguistik ini berpendapat, langkah awal untuk melakukan antisipasi adalah mendaftarkan bahasa-bahasa yang jumlahnya penuturnya sedikit. Bahasa yang dapat dikategorikan sebagai bahasa yang berpenutur sedikit namun masih mempunyai potensi untuk hidup, sebenarnya adalah bahasa-bahasa yang penutur sekurang-kurangnya 1.000 orang.
"Oleh karena itu, sebagai langkah awal diinterpretasikan bahasa-bahasa yang jumlah penuturnya 500 orang atau kurang, dapat dikategorikan sebagai bahasa yang cenderung dianggap memasuki ambang proses berpotensi terancam punah," tandas Multamia.
Ia berpendapat, harus ada kemauan dari pihak pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang terancam punah itu mengingat daya saingnya lemah, sehingga sulit bersaing dengan bahasa-bahasa daerah yang besar. Belum lagi tuntutan untuk mampu bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus sebagai bahasa nasional.
"Ada baiknya bahasa daerah yang terancam punah itu diolah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal. Dengan demikian sedikit-demi sedikit, bahasa dan budaya yang terancam punah itu mulai dikenal lagi oleh generasi muda," papar Multamia. (NAL)
Sumber: Tribun Kaltim, Senin, 11 Agustus 2008 | 23:01 WIB
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment