Judul Buku: The History of Java
Penulis: Thomas Stamford Raffles
Penerjemah: Eko Prasetyaningrum, dkk
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xxxvi + 904 halaman
Terbit pertama kali pada tahun 1817, buku ini pantas disebut sebagai salah satu mahakarya abad ke-19. Penulisnya Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) sudah sangat terkenal. Dialah Letnan Gubernur Inggris di Indonesia pada 1811-1816. Pada 1965, Oxford University Press di Inggris menerbitkannya kembali dalam dua jilid, kemudian lagi pada 1978. Beberapa perpustakaan universitas di Indonesia menyimpan buku ini. Tetapi dari pengamatan, buku yang masuk di bagian referensi ini tampaknya jarang sekali disentuh. Mungkin karena berbahasa Inggris.
Oleh karena itu, apresiasi yang tinggi pantas diberikan kepada penerbit yang menerjemahkan dan menerbitkan buku sangat penting ini. Ada yang agak janggal memang. Satu di antaranya, yang muncul di internet: ''Tak terbayangkan karya sepenting ini butuh waktu hampir 200 tahun untuk diterjemahkan, dan bukan oleh (penerbit) major label (pula).''
Ketika baru terbit pada 1817, seorang pengkritik mengatakan, penulisan The History of Sumatra (1811) karya William Marsden lebih bagus dibanding buku ini. Mungkin ada benarnya. Para pembaca masa kini bisa membandingkan keduanya, karena karya Marsden juga telah diterbitkan tahun ini oleh Penerbit Komunitas Bambu. Tetapi, jelas, karya Raffles jauh lebih kaya sumber-sumbernya. Ia terjun langsung berbulan-bulan di berbagai daerah di Jawa dan Bali, sementara Marsden lebih bergantung pada referensi-referensi Portugis.
Sebagai mahakarya, buku ini memang sangat kaya informasi. Oleh karena itu, sebenarnya terlalu naif rasanya mencoba menjelaskan isi buku hampir 1.000 halaman ini hanya dalam kolom pendek di koran ini. Inilah ''buku babon Jawa'' yang luar biasa, yang merangkai semua hal tentang Jawa.
Dilengkapi gambar-gambar sketsa, Raffles yang terpesona eksotisme Jawa melukiskan beragam sudut kehidupan masyarakat Jawa di masanya. Tentang sejarah Jawa, ciri dan karakter orang Jawa, kebiasaan-kebiasaannya, agama, bahasa, seni, budaya, dan sebagainya. Dengan bantuan berbagai pihak, Raffles menerjemahkan beragam sumber seperti naskah Bharatayuda dan Babad Tanah Jawa.
Mengawali bukunya yang terdiri 11 bab, Raffles memaparkan situasi geografi Pulau Jawa, lengkap dengan kota pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, mineral, sayur-sayuran hingga binatang.
Raffles mengatakan, entah dari apa nama ''Jawa'' berasal. Tidak jelas. Ada yang menyebut nama itu berasal dari kata ''Jawa-wut'', suatu jenis padi-padian, yang mungkin menjadi bahan pangan pokok pada masa awal. Pada masa sebelumnya, ada juga istilah lain yakni Nusa hara-hara atau Nusa kendang.
Raffles mengungkapkan kekaguman atas suburnya sebagian besar tanah di Jawa. Ia menyatakan, hal itu mungkin karena banyak gunung di pulau ini. Berbagai tumbuhan dan hasil pertaniannya sangat beragam.
Bagaimana orang-orang Jawa menurut pandangan Raffles? Ia mengatakan, wajah kaum wanita tidaklah begitu bagus seperti kaum laki-laki Jawa. Dan, di mata orang-orang Eropa, banyak wanita yang ''buruk'' wajahnya, khususnya setelah usia tua. Tetapi dikatakan, itu semua tampaknya wanita Jawa yang bekerja berat.
Berbeda dengan penguasa Belanda, sikap Raffles cenderung positif dalam menilai orang-orang Jawa. Raffles menilai orang-orang Jawa sebagai ''orang-orang yang mudah bergaul dan sopan, penuh hormat dan bahkan cenderung malu-malu, tidak pernah kasar, tapi mereka lamban dalam gerak.''
Laki-laki Jawa umumnya mempunyai seorang istri. Tetapi banyak pejabat seperti lurah memiliki istri lebih dari satu. Para bupati biasa mempunyai tiga atau empat istri, sementara para raja bisa 8 hingga 10.
Tentang orang-orang asing yang tinggal di Jawa, Raffles mengatakan yang paling banyak adalah orang China (Tionghoa). Pada awal 1800-an, jumlah orang Tionghoa ada sekitar 100.000 orang, kebanyakan tinggal di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sebagian kecil lainnya tinggal di kota-kota kecil.
Struktur Sederhana
Di dalam bab IV, Raffles menjelaskan tentang pembuatan barang-barang hasil kerajian tangan, seperti tikar, pakaian, barang-barang ukiran, dan sebagainya. Letnan gubernur itu menggarisbawahi bahwa struktur masyarakat Jawa sederhana dan keinginan masyarakatnya tidak banyak. Akumulasi modal pun tidak ada, dan pembagian profesi tidak banyak. Oleh karena itu, katanya, perusahaan manufaktur tidak dapat diharapkan bisa didorong dalam batas tertentu.
Meskipun begitu, bahasa masyarakat Jawa waktu itu telah memiliki kata untuk menyebut sebagian besar jenis pekerja tangan. Contohnya, pandi (pande), tukang kayu, tukang werongko, tukang deluwang, dan tukang sulam.
Dalam usahanya menunjukkan para tukang itu, Raffles menyertakan pula gambar-gambar berbagai peralatannya. Ia tunjukkan, misalnya, gambar pacul, gergaji, sabit, linggis, dan alat tenun. Ia juga menurunkan contoh keris dan jenis-jenisnya secara lengkap.
Buku ini juga kaya informasi tentang sejarah raja-raja Jawa, lengkap dengan bumbu-bumbu intrik dan liku-liku kekuasaannya. Ada pelukisan rinci, misalnya, bagaimana Raja Mataram, Amangkurat I, menghukum mati Trunojoyo secara sadis disaksikan para pejabat kerajaan.
Sayang sekali, buku terjemahan karya Raffles ini menghilangkan tulisan pengantar Prof John Bastin, guru besar sejarah di School of Oriental and African History, University of London. Sebagai gantinya, disertakan pengantar yang ditulis Drs Syafruddin Azhar, redaktur Tabloid Mingguan PERLE. Cukup bagus memang, tetapi dalam tulisan Prof Bastin terdapat banyak penjelasan yang penting, antara lain bagaimana proses buku Raffles itu disusun.
Sebagai penulis, Raffles adalah pribadi yang tekun. Ia menulis hingga malam hari, sebagian besar di Cisarua, setelah berbulan-bulan berkeliling Jawa. Di sela-sela tugasnya, tentu saja. Meskipun kecewa karena dicopot, ia pulang dengan semangat tinggi untuk menulis bukunya. Ada penjelasan, siapa saja orang-orang yang membantunya mengumpulkan bahan dan menulis. Tak kurang 30 ton bagasinya yang dibawa pulang ke London. Berbulan-bulan barangnya ditahan aparat pabean.
Tak percuma memang perjuangan Raffles. Mahakaryanya abadi di dalam jutaan sanubari. (*)
Djoko Pitono, Jurnalis dan Editor Buku.
Jawa Pos, [Minggu, 12 Oktober 2008]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment