Saturday, October 18, 2008

Mari Membunuh Sastra Jawa


Oleh Siti Aminah

Bunuh saja sastra Jawa! Demikian lontaran seorang sastrawan beberapa waktu lalu, yang kontan memicu emosi beberapa sastrawan Jawa. Lontaran itu tentu saja bukan tak berdasar. Menurut sastrawan tersebut, sastra Jawa sudah sekarat keadaannya. Dari pada membiarkannya dalam kondisi kritis berlama-lama, kenapa tidak dibunuh saja?
Wacana kematian sastra sudah berdengung sejak lama. Bahkan opini tentang hal itu sudah dapat ditemukan di media massa menjelang tahun 70-an. Meski sampai saat ini sastra Jawa tak juga mati, tetapi kehidupannya jauh dari menggembirakan. Tentu ada berbagai faktor yang menjadikannya demikian. Setidaknya terdapat tiga hal besar yang berkaitan langsung dengan kondisi tersebut, yaitu media, penulis atau sastrawannya, dan pembaca.



Dapat dikatakan bahwa kehidupan sastra Jawa bersandar pada media massa berbahasa Jawa. Ironisnya media massa berbahasa Jawa yang menjadi sandaran itu tak banyak jumlahnya. Barangkali saat ini hanya ada tiga media massa berbahasa Jawa (majalah) yang menjadi andalan para sastrawannya. Dua di antaranya terbit di Surabaya dan satu lagi di Yogyakarta.

Dalam hal konsistensi, tiga media tersebut tidak perlu diragukan lagi. Selama puluhan tahun ketiganya setia melestarikan bahasa Jawa meski secara finansial kurang menjanjikan. Sayangnya tak banyak perubahan pada media-media tersebut sejak awal terbitnya hingga sekarang. Sementara itu kondisi di luar terus mengalami perubahan, sehingga sesuatu yang konstan terasa ketinggalan jaman.

Perubahan memang bukan perkara ringan. Ada berbagai konsekuensi yang menyertai ketika niat untuk melakukan perubahan itu mulai disuarakan. Keterbukaan, kemauan untuk belajar, dan keinginan untuk mencoba hal baru menjadi hal yang mutlak dilakukan. Artinya pihak media perlu memfasilitasi stafnya meningkatkan kapasitas mereka sesuai kebutuhan. Namun dalam kondisi seperti saat ini, mungkin hal itu sulit dilakukan karena keterbatasan dana.

Jika demikian masalahnya, tampaknya media bahasa Jawa dapat mengadopsi sistem yang dipakai oleh lembaga-lembaga sosial, yaitu kerelawanan. Banyak lembaga sosial yang tidak memiliki cukup dana sementara mereka harus tetap menjalankan program untuk masyarakat. Dalam kondisi demikian, mereka mengundang masyarakat (utamanya mahasiswa) untuk bergabung menjadi relawan. Meski tidak mendapatkan bayaran berupan uang, namun relawan tetap mendapat keuntungan berupa kesempatan belajar di lembaga tersebut. Tentu ini hal yang sangat berharga karena apa yang mereka pelajari di lembaga sosial tidak didapatkan di lembaga pendidikan formal.

Sistem ini akan efektif bagi kedua belah pihak, media dan relawannya, jika media mau membuka diri. Para relawan tidak sekedar diposisikan sebagai “pesuruh”, tetapi juga dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dan tenaga, tentu para calon relawan ini diterima setelah melalui seleksi. Hanya mereka yang potensial saja yang dapat bergabung untuk menghasilkan suatu karya bersama.

Kedua, meski masa berganti dan sastrawan Jawa telah mengalami regenerasi, tetapi karya sastra Jawa ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini dapat kita lihat dari karya yang dimuat di media berbahasa Jawa yang terbit sejak lebih dari lima puluh tahun lalu. Tema-tema percintaan, kemiskinan, kepasrahan, atau kehidupan keseharian dengan mudah kita temui baik pada karya sastra tahun lima puluhan maupun dua ribuan. Meski berbeda masa, tetapi karya-karya tersebut hampir tidak berbeda kecuali pada ejaan dan pemilihan katanya. Sementara materi yang diangkat relatif sama, tanpa latar belakang peristiwa politik, sosial, maupun budaya yang dapat menandai kelahiran suatu karya.

Tak ada yang salah dengan tema-tema tersebut. Meski demikian tampaknya akan lebih mengena jika tema-tema tadi ditulis bukan sekedar memaparkan orang-perorang, melainkan juga mengaitkannya dengan kondisi umum yang sedang terjadi. Dengan demikian pembaca tidak hanya mendapatkan paparan tentang para tokoh cerita saja, tetapi juga mendapatkan gambaran keterkaitan tokoh cerita dengan kondisi sosial-politik maupun budaya yang melingkupinya.Sebagai contoh cerita tentang kemiskinan. Kita tahu bahwa terjadi pemiskinan secara sistematis di negeri kita.

Program pengentasan kemiskinan dalam implementasinya tak berarti banyak bagi kaum miskin. Bahkan berkali-kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang justru kontra produktif bagi rakyat kecil, seperti pemberian BLT, penyewaan hutan lindung, privatisasi berbagai perusahaan negara, dan sebagainya. Cerita yang mengaitkan kemiskinan dengan gejala yang tengah terjadi tentu akan lebih menarik dibanding cerita yang hanya memaparkan kemiskinan individual saja. Dengan demikian penikmat karya sastra Jawa tidak sekedar disuguhi cerita hiburan semata, tetapi juga diajak melihat dan mengkritisi apa yang terjadi.

Ini penting sebab sering kali orang menganggap suatu suatu peristiwa sebagai hal biasa karena pernah terjadi peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya peristiwa tersebut adalah bagian dari peminggiran dan ketidakadilan. Dalam kondisi seperti inilah karya sastra yang mampu mengaitkan satu gejala dengan gejala yang lain menjadi penting. Karya-karya ini akan menjadi anak jaman yang mancerminkan kondisi masyarakat pada saat karya tersebut dibuat.

Hal lain yang perlu dibincang di sini adalah apresiasi pembaca. Pembaca sebagai penikmat karya memiliki peran penting untuk turut menjaga kualitas suatu karya. Pembaca memiliki hak untuk menyuarakan penilaian mereka terhadap suatu karya. Tentu penilaian ini tidak akan ada artinya jika disimpan untuk diri sendiri. Penilaian atau apresiasi yang dikirimkan kepada media atau disampaikan langsung kepada para penulisnya akan menjadi sebuah kontrol. Anggapan bahwa apresiasi justru akan mematikan semangat berkarya penulisnya sudah saatnya dibuang. Sebab penulis yang berkeinginan agar karyanya bermanfaat bagi orang banyak, pasti akan senang hati menerima umpan balik dari masyarakat pembaca.(am)

saka kene

0 comments: