Sunday, October 19, 2008

Mendongkrak "Sastra Jawa" Modern


Sapardi Djoko Damono,Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, Bentang Budaya Yogyakarta, 2000, xi + 434

CUKUP lama terjadi pertentangan pendapat di kalangan akademisi sastra Jawa mengenai keberadaan Sastra Jawa Modern (SJM), terutama dalam kajian atau studi.



Di satu pihak ada pengakuan dan anggapan pentingnya keberadaan sastra Jawa gagrak anyar itu, sehingga layak untuk bahan kajian. Di lain pihak enggan mengakui, dengan alasan SJM masih kurang bermutu.

Ada pula yang menyatakan SJM tidak beda dengan sastra Indonesia. Biasanya kalangan ini masih menumpukan sastra Jawa pada karya-karya klasik yang berbahasa Jawa kuno dan bahasa Jawa baru, umumnya sastra bermetrum macapat.

Jawaban atas persoalan itu datang dari Sapardi Djoko Damono. Ia ikut mempersoalkan sastra Jawa itu lewat disertasinya di Universitas Indonesia tahun 1993. Hasil studi Sapardi bersama-sama karya ilmiah lainnya, mendongkrak keberadaan SJM, khususnya di kalangan akademisi.

Kajian Sapardi tersebut memperkuat hasil kerja Suripan Sadi Hutomo (1975) lewat Telaah Kesusasteraan Jawa Modern, JJ Ras (1979) yang menyusun Sastra Jawa Mutakhir, dan disertasi George Quinn dari Australia (1984) berjudul The Novel in Javanese. Disertasi Sapardi itu berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur yang kini menjadi buku Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, diterbitkan Bentang Budaya Yogyakarta.

Meski semula Sapardi bukan akademisi sastra Jawa, tetapi sebagai penyair ketika masih di Solo dan Yogyakarta, ia bermula dari dunia sastra Jawa. Hampir semua pengarang yang novel-novelnya ia teliti adalah teman-temannya. Karena itu, lewat bukunya (disertasinya) tersebut ia membuka jerohan isi karya teman-temannya.

Buku berpengaruh dalam hal garapan sosiologi sastra, karena Sapardi-lah ilmuwan Indonesia terkemuka di bidang ini. Detail teori sosiologi sastranya, diterapkan secara menarik pada berbagai aspek 20 novel Jawa, pengarang, dan penerbitnya.

Sebagai contoh adalah gambaran pengarang Widi Widayat. Sapardi mengungkapkan keadaan pengarang tersebut, bahwa ia gelisah karena istrinya akan melahirkan sementara dirinya kena PHK.

Maka ceritanya berjudul Dawet Ayu yang dikirim ke majalah Bahasa Jawa Panyebar Semangat menjadi harapan satu-satunya. Tiga hari setelah kelahiran anaknya, tulisan itu dimuat, dan Widayat segera menelepon redaksi, meminta honor (hal 124).


[]

PENONJOLAN judul buku dengan frasa Priayi Abangan merupakan daya tarik kuat yang ditawarkan. Lewat 'kenyataan' dalam novel, Sapardi tampaknya ingin ikut 'memprotes' klasifikasi masyarakat Jawa dari Cliffort Geertz dalam The Religions of Java. Geertz di situ memilah masyarakat Jawa menjadi abangan, santri, dan priayi. Protes Sapardi itu mungkin juga disebabkan Geertz tidak menyinggung novel Jawa. Karena itu, bisa jadi Geertz dinilai kurang lengkap pengamatannya mengenai "pengelompokan" masyarakat.

Dunia novel-novel Jawa saat itu adalah dunia abangan, milik kaum priayi yang abangan. Padahal, priayi dan abangan bukan seperti klasifikasi yang diberikan oleh Geertz. Abangan dan santri merupakan aspek ketaatan religius masyarakat Jawa, sedangkan priayi merupakan status sosial.

Abangan adalah orang Islam yang tidak menjalankan rukun Islam kecuali syahadat. Santri adalah orang Islam yang patuh pada rukun Islam. Priayi, bisa jadi abangan tetapi bisa jadi juga santri.

Penelusuran Sapardi lewat novel-novel tersebut antara lain juga mendapati ada kiai tetapi abangan. Ini misalnya dalam Srikuning. Dalam novel itu, "tokoh Kiai Amadrawi digambarkan menjalankan sembahyang subuh, tetapi memberikan wejangan mengenai filsafat wayang dan kebatinan". (hal 291-292)

Analisis terhadap novel Gara-garane Karangan dari Any Asmara menyodorkan pengertian lain, yakni "gabungan" antara santri dan wayang itu aneh. Dalam novel lainnya, digambarkan bahwa wayang bagian tak terpisahkan dari kehidupan priayi. Seorang priayi ideal itu menguasai kesenian dan wayang.

Jika anggapan kombinasi santri dan wayang itu aneh, tentunya kombinasi antara priayi dan santri juga aneh. Jika berpegang pangertian itu, semua novel Jawa tahun 1950-an tidak menggambarkan dunia santri, sebab boleh dikatakan sepenuhnya dikuasai priayi dan wayang. Bahkan beberapa kiai yang ada di dalamnya pun menyampaikan pengetahuan dan nasihatnya lewat pewayangan.

Para priayi sendiri tampak berusaha melestarikan status priayinya. Ada yang berusaha menjadi priayi sebaik-baiknya, seperti tokoh-tokoh satria di pewayangan: halus, mengendalikan hawa nafsu, menjunjung kepribadian. Ada pula usaha rakyat kecil meraih status itu, tetapi setelah mendapatkannya, keberatan mengemban tugas kepriayian.

[]

PADA telaah sosiologi sastra, novel Jawa tahun 1950-an terlihat sebagai perpaduan antara pandangan romantik Balai Pustaka dan seni sebagai hiburan. Novelis Jawa berperan ganda: sebagai pendeta dan sebagai penghibur. Dalam pandangan romantik, sastrawan diharapkan untuk memimpin khalayaknya. Ia harus menciptakan karya yang dimaksudkan untuk merombak keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak beres.

Dengan demikian karya sastra harus mengandung anasir pembaruan sosial. Para novelis Jawa memang berperan sebagai pendeta. Berbagai kecenderungan dalam masyarakat seperti takhayul, kebodohan, dan fanatisme agama ditampilkan sebagai hal-hal negatif yang harus dirombak atau dihindari.

Pandangan seni sebagai hiburan sama sekali tidak dikesampingkan oleh para novelis Jawa. Tugas sebagai perombak dan pembaru tetap dipertahankan dengan cara menciptakan cerita bisa menghibur pembaca. Novel-novel Jawa itu berada di tengah-tengah, yakni antara novel-novel Balai Pustaka yang romantik dan gaya Panyebar Semangat yang lebih sebagai seni sebagai hiburan.

Cerita bersambung Uripe Kramalejo ing 5 Zaman karya Bambang Sudjiman merupakan kekecualian. Jika pengarang lain umumnya menghibur pembaca dengan memanfaatkan kecengengan dan menawarkan dunia pelarian, Bambang 'menghibur' dengan menyindir ketololan kita semua.

Hiburan semacam itu ternyata dianggap aneh oleh redaksi Penyebar Semangat. Hiburan yang wajar pada saat itu umumnya berupa kisah cinta dan cerita detektif. Ramuan keduanya menjadi kegemaran novelis Jawa.

Tak terelakkan, saat itu seni populer memang melanda. Seni populer ditandai dengan pemanfaatan perasaan berlebihan, menawarkan dunia pelarian (panglipur wuyung), dan mengharamkan makna ganda.

Untuk soal penerbitan, terlihat pemerintah kurang bersemangat. Dalam sepuluh tahun hanya menelurkan enam novel. Demikian halnya penerbit swasta. Dapat dilihat bahwa penerbit yang kebanyakan keturunan Cina lebih banyak mencetak bacaan karya klasik seperti primbon, kitab keagamaan, dan kebatinan. Yang paling besar adalah Tan Kun Swie, Kediri. Novel Jawa harus bersaing dengan bacaan klasik itu.

[]

TERLIHAT bahwa dunia novelis Jawa dasawarsa itu adalah dunia pewayangan. Pengarangnya sangat paham wayang. Dalam karyanya pengarang cenderung menjadi dalang, bercerita serba tahu, penyebar informasi, sehingga novel-novelnya seakan menjelma menjadi dunia pewayangan dan bukan sekadar cerita rekaan modern (h. 240).

Penyebutan nama-nama tokoh novel dan cara pengucapan narasi pun diperbandingkan dengan dunia pakeliran. Contoh paling gamblang dalam novel Srikuning. Semua itu karena pengaruh ke-adiluhung-an wayang yang punya kedudukan istimewa di masyarakat Jawa, sekaligus menjadi kesenian populer. Perlu dicatat, hal tersebut bukan usaha untuk kembali ke masa lampau, tetapi lebih sebagai upaya meyakinkan pembaca akan pentingnya fungsi cerita rekaan modern dalam masyarakat.

Untuk penggarapan cerita terlihat bahwa dunia novel Jawa saat itu sangat lekat dengan pewayangan, yakni adanya unsur banyol (humor, lucu), nges (membuat sedih), greget (menimbulkan ketegangan), dan sem (membangkitkan erotis). Unsur-unsur itu harus ada dalam setiap cerita. Lewat bagian-bagian greget, nges, banyol dan sem itulah pengarang Jawa menyampaikan pengetahuan dan nasihatnya.

Buku tersebut tentu saja amat berguna untuk menengok keadaan masyarakat Jawa tahun 1950-an. Sehingga, siapa pun yang berminat pada kajian tentang masyarakat Jawa, akan bisa memetik manfaatnya.

Karena buku itu dicetak persis dengan disertasi aslinya, maka terasa amat akademis, lengkap dengan catatan kaki, indeks, daftar kepustakaan. Tetapi tidak kaku formalistis. Gaya bahasanya luwes mengalir, alurnya lancar.

Sayangnya, beberapa kaidah dalam menulis judul karangan (novel) di sana-sini tidak dimiringkan (kursif), sehingga agak mengganggu mata.
( Winoto, penulis adalah lulusan Jurusan Sastra Jawa Fakultas Sastra UI, Depok).



Kompas Minggu, 13 Agustus 2000

0 comments: