Manusia sering kali mengasosiasikan ikon maupun bentuk tertentu untuk menggambarkan sebuah identitas. Padahal, ikon juga bisa digunakan untuk menggambarkan proses pencarian identitas itu sendiri, termasuk identitas kultur.
Itu pula yang coba digambarkan Nindityo Adipurnomo ketika menampilkan pameran tunggalnya bertajuk "WWW dot JAVA" pada 20 Desember 2008 - 14 Februari 2009, di Rumah Seni Yaitu, Kota Semarang. Dari dua belas karya yang dipamerkan, semuanya diasosiasikan kepada satu ikon yang tak asing bagi masyarakat Jawa, yaitu Konde!
Tengok saja karyanya yang bernama "Dzikir 2008". Sebuah benda berwarna hitam berukuran 1,4 meter x 1,4 meter x 1,2 meter dibentuk persis menyerupai konde. Tak hanya rupanya, instalasi ini juga diberi semacam sungut seperti layaknya hiasan konde yang sangat menyita perhatian. Bahkan, di bagian bawahnya diberi pegas dan kipas angin!
Bentuk itu diungkapkan Nindityo sebagai salah satu eksplorasinya terhadap konde yang bisa melahirkan tafsir lucu, erotis, sekaligus menjijikkan.
Dalam pameran kali ini, Nindityo menyebut karyanya sebagai bentuk pencarian atas jati diri masyarakat Jawa. "Konde sebagai ikon bukan lagi merupakan identitas, tetapi justru menjadi sebuah proses untuk mencari identitas Jawa itu sendiri," tutur pemilik Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta tersebut.
Nindityo menganggap konde hanya sebagai salah satu dari sekian banyak ikon yang mencirikan masyarakat Jawa. "Sebenarnya, bisa saja Jawa digambarkan oleh apa pun seperti wayang atau batik," ucap perupa kelahiran Semarang, 47 tahun silam tersebut.
Selain seni instalasi, Nindityo juga menampilkan lukisan dengan gambar konde, karya fotografi berisi dirinya yang ditutupi konde, dan instalasi tumpukan kursi goyang yang berisi gambar lelaki yang ditutupi konde di bagian mulut.
Lebih dari sepuluh tahun, Nindityo sebenarnya telah memilih konde untuk ditampilkan dalam setiap karyanya. Dalam rentang waktu itu pula, ia telah melakukan eksploitasi bentuk maupun gagasan terhadap konde itu sendiri.
Lantas, kenapa Nindityo memilih konde sebagai ikon karyanya? Konde dinilai Nindityo sebagai sebuah cerminan atas kultur masyarakat Jawa. Terutama mengenai sikap introvert dan budaya paternalistiknya yang kental.
Dan, pilihan ini tak terlepas dari sikap kritisnya. Ia menyebut sikap introvert masyarakat Jawa yang ditujukan untuk menjaga hubungan harmonis hanya sebagai sikap pura-pura karena harus memendam konflik. Melalui interpretasi Nindityo, konde juga digambarkan sebagai bentuk dominasi kaum pria terhadap perempuan Jawa.
Ketika membuka pameran, pengamat seni sekaligus pengusaha, Harjanto Halim, mengatakan, karya Nindityo mencirikan nilai Jawa yang sangat menyentuh. Karya yang dianggapnya menggelitik secara emosional ini, diakui bisa langsung memberi persepsi baru bagi budaya Jawa itu sendiri.
Penikmat seni sekaligus pengajar di Universitas Katolik Soegijapranata, Donny Danardono, menilai karya Nindityo sebagai bentuk permainan atas teks. Sebagai sebuah permainan, karya itu tentunya tidak lagi berpretensi menunjukkan kebenaran tertentu.
Donny mengatakan, karya-karya Nindityo adalah sebuah permainan yang bisa dibongkar-pasang dan dapat digunakan untuk menunjukkan ambiguitasnya.
Pemilik Rumah Seni Yaitu (RSY), Tubagus P Svarajati, mengatakan, yang terpenting dalam karya seni kontemporer-seperti yang ditampilkan Nindityo-adalah gagasan yang terdapat di balik bentuk yang dipilih sang perupa. "Bukan analisis teks di permukaan, namun keterkaitan satu karya dengan karya lainnya," ucap Tubagus. (Harry Susilo)
Kompas/Jateng/Rabu, 24 Desember 2008
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment