Kata "toleransi" belum tentu dapat diucapkan dengan gampang oleh warga Dusun Jangkrikan, Desa Rogomulyo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang. Namun, tengoklah keseharian mereka. Toleransi itu tidak sekadar ada di ujung bibir, tetapi terejawantah dalam perilaku mereka sehari-hari.
Secara kasat mata, salah satu bentuk toleransi dan tenggang rasa itu terlihat dari bangunan Masjid Al Huda dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jangkrikan yang hanya dibatasi tembok. Pintu masuk Masjid Al Huda menghadap timur, sedangkan pintu masuk GKJ Jangkrikan menghadap barat. Meski sudah lebih dari 20 tahun kedua tempat ibadah ini berada dalam satu kawasan, tidak ada gesekan yang sangat berarti antarumat beragama.
"Saya ini sebetulnya sangat fanatik, tetapi semuanya berpulang kepada menahan diri. Kami tidak senang konflik karena itu hanya kepentingan dunia, bukan agama. Sampai saat ini tidak ada konflik yang meruncing," kata Badrus Salam (51), takmir Masjid Al Huda, Selasa (23/12).
Menurut Badrus, Masjid Al Huda pertama kali dibangun tahun 1983. Berselang beberapa tahun kemudian, sejumlah warga hendak mendirikan gereja yang berjarak sekitar 20 meter dari masjid. Hal ini akhirnya diperkenankan. Baru sekitar empat tahun lalu, masjid ini dibangun ulang. Lokasinya digeser karena bangunan yang lama sangat sayang apabila harus dirusak.
Di lokasi yang baru ini, Masjid Al Huda berdampingan dengan GKJ Jangkrikan. Namun, konflik tidak timbul karena kedua belah pihak tidak saling mendominasi. Jadwal pelaksanaan ibadah juga hampir tidak bersamaan. Baru saat Idul Adha tahun 2008 pelaksanaan salat dan kebaktian Minggu hampir bersamaan.
"Tetapi tetap saja, salat pukul 05.30, sedangkan ibadah di gereja pukul 07.00, jadinya tidak ada masalah," katanya.
Saat menjelang Natal, memang tidak terlihat pernak-pernik yang mencolok di GKJ Jangkrikan. Mereka baru akan merayakan Natal pada 31 Desember. Menurut pengajar sekolah Minggu di GKJ Jangkrikan Heni Anggaraeni (40), saat perayaan, mereka juga akan mengundang warga sekitar yang tidak beragama Kristen atau Katolik.
"Ini desa kecil. Hampir semua masih satu keluarga, jadinya kerukunan bisa terjaga. Dalam satu keluarga saja ada yang agamanya berbeda-beda. Dua saudara saya beragama Katolik dan Kristen, sedangkan empat lainnya termasuk saya beragama Islam," kata Sutono (44), warga Jangkrikan.
Menurut Camat Kaliwungu Iskanto, kerukunan antarumat beragama ini tidak hanya berlangsung baik di Jangkrikan, tetapi juga di Kecamatan Kaliwungu secara umum. Masyarakat tidak mudah terbagi dalam sekat-sekat agama.
Dia mencontohkan, meski mayoritas penduduk Kaliwungu memeluk agama Islam, tetapi dari 11 desa, tiga desa di antaranya kepala desanya beragama selain Islam. Masyarakat dapat menerima dengan baik kepala desa mereka meski berbeda agama, bahkan kepala desa itu ada yang terpilih dua kali.
"Saya pernah merasakan sendiri ketika satu desa bersama-sama membangun masjid dan gereja. Semua warga saling membantu, baik materi maupun tenaga," kata Maryono (53), Pendeta Gereja Kristen Nazarene Desa Payungan.
Maryono mengatakan, pada tahun 1987, warga menggelar rapat desa untuk membangun dua tempat ibadah. Uang kas yang ada sebesar Rp 600.000 lalu dibagi dua. Sebagian untuk modal pembangunan gereja, sedangkan sebagian lainnya untuk membangun masjid.
Akhirnya, kedua tempat ibadah ini bisa dibangun dalam waktu hampir bersamaan. Selama pembangunan warga yang beragama berbeda saling membantu pembangunan dengan sumbangan tenaga. Sikap cair ini merupakan salah satu bentuk tidak saling mendominasi. (Antony Lee)
Kompas|Jawa Tengah| Rabu, 24 Desember 2008
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
2 comments:
itulah kehidupan di daerah asal saya pak
hehe,,,walau ada yang fanatik,,,tapi tetep aja masih kalah ama yang toleran
Salut, buat desa jangkrikan
Contoh bagi seluruh dunia
Post a Comment