Tuesday, February 3, 2009

Arswendo Atmowiloto [1]

Mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor ini bercita-cita jadi dokter, tapi ekonomi keluarga tak memungkinkan membiayai Sarwendo (demikian nama dari orang tuanya) masuk fakultas kedokteran. Ayahnya, pegawai balai kota Surakarta, sudah meninggal ketika Arswendo duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya, meninggal pada 1965. Arswendo pun yatim piatu di usia 17 tahun, ketika masih duduk di bangku SMA.

Bahkan ketika ia diterima di Akademi Postel Bandung yang berikatan dinas, setelah lulus SMA, anak ketiga dari enam bersaudara ini tak bisa berangkat ke Bandung karena tak punya ongkos. Kalaupun ia sempat kuliah di IKIP Negeri Solo (sekarang Universitas Negeri Sebelas Maret), itu karena: “Saya cuma ingin menyandang jaket perguruan tinggi.” Setelah tiga bulan kuliah, ia mangkir untuk seterusnya.

Arswendo (nama yang semula diciptakannya untuk tulisan-tulisannya tapi akhirnya menjadi nama resminya) memang suka berkelakar. Terkesan seenaknya hampir dalam segala hal, kadang ia pun mengikuti arus. Misalnya, rambutnya dipanjangkan dan diikat ke belakang bergaya ekor kuda, ini pun cuma ikut-kutan dengan arus, katanya. Ia pun mengaku hidupnya santai, tak pernah basa-basi, dan juga tak pernah memikirkan hari esok. Untuk soal terakhir itu, inilah contohnya. Suatu hari, di awal tahun 70-an, ia menerima honorarium dari Dharma Kandha sebanyak Rp 1.500. Di dekat kantor tampak sejumlah orang, antara lain sopir becak, berjudi. Ia bergabung, dan kontan uang itu ludes.

Wendo, demikian panggilannya, pernah kerja macam-macam; di pabrik bihun, tukang parkir sepeda di apotek, tukang pungut bola di lapangan tenis, dan macam-macam lagi. Ia mulai menulis, dalam bahasa Jawa, cerita pendek, cerita bersambung, artikel di media berbahasa Jawa di tahun 1968. Mula-mula tulisan-tulisannya selalu ditolak. Tapi begitu menggunakan nama Arswendo (bukan Sarwendo) Atmowiloto (nama ayahnya), tulisan diterbitkan. "Nama sarwendo tak membawa berkah rupanya," komentarnya.

Ia menjadi wartawan ketika di Solo muncul harian berbahasa Jawa Dharma Kandha dan Dharma Nyata. Sambil bekerja di media tersebut, ia pun menjadi koresponden lepas majalah TEMPO. Tahun 1972 Arswendo pindah ke Jakarta, bekerja sebagai redaktur pelaksana di majalah humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama, dan ia pun masuk menjadi wartawan di kelompok Kompas-Gramedia. Di kelompok ini, terakhir ia menjadi pemimpin redaksi majalah remaja Hai dan tabloid hiburan Monitor.

Monitor yang melesat tirasnya dalam waktu singkat dengan jurnalismelernya, tersandung kasus. Jajak pendapat tentang tokoh-tokoh yang dikagumi antara lain menempatkan Nabi Muhammad di urutan ke-12. Keruan saja tabloid ini dituding menghina Nabi Muhammad. Meledak demonstrasi hingga merusakkan kantor Monitor. Merasa terancam, Arswendo meminta perlindungan ke polisi.

Tuntutan massa dan suasana sosial-politik kala itu menyebabkan Wendo diajukan ke pengadilan, diganjar lima tahun penjara. Ekonomi keluarga terpuruk. Anaknya yang baru lulus sekolah dasar berjualan sampul buku, anaknya yang lebih gede berjualan kue.

Pribadinya yang santai dan senang humor, membantu Arswendo menjalani hidup di penjara. Ia misalnya, menghabiskan waktu di penjara dengan memanfaatkan keterampilannya membuat tato--yang ditato adalah sandal. Sandal yang semula seharga Rp 500, setelah ditato bisa ia lego seharga Rp 2.000. Lewat usaha itu, ia punya 700 anak buah. Tentu, ia tetap menulis. Tujuh novel lahir di LP Cipinang, antara lain: Kisah Para Ratib, Abal-Abal, Menghitung Hari (sekeluar dari penjara Menghitung Hari dibuat sinetron dan memenangi Piala Vidya). Lalu puluhan artikel, tiga naskah skenario, beberapa cerita bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan ke Kompas dan Suara Pembaruan dengan menggunakan nama samaran.

Wendo, yang pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa, AS, 1979, dikenal juga sebagai pengamat televisi. Dipedulikan atau tidak, kritik dan komentarnya tentang pertelevisian terus mengalir. Akhirnya, Dewan Kesenian Jakarta mengundangnya untuk menjadi pembicara dalam diskusi tentang televisi.

Pemilik rumah produksi PT Atmochademas Persada ini telah membuat sejumlah sinetron. Sinetronnya Keluarga Cemara memperoleh Panasonic Award 2000 sebagai acara anak-anak favorit. Tiga kali ia menerima Piala Vidya untuk Pemahat Borobudur, Menghitung Hari, dan Vonis Kepagian.

Kalau sekarang ia juga merangkap menjadi sutradara sinetron, “Karena iseng saja. Sutradara honornya juga bagus, ya sudah,” ujar Wendo.[bersambung]

sumber: Tokoh Indonesia

0 comments: