P. ARI SUBAGYO
”What is clear is that political activity does not exist without the use of language” (Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).
Aktivitas politik senantiasa menggunakan bahasa. Metafora ”yoyo”, antonimi ”janji versus bukti” dan ”do something kontra do nothing”, imperasi-metaforis PPP ”Mari kembali ke ’rumah besar’ kita”, dan ”penjelasan” Yudhoyono atas ”keseleo lidah” kadernya hanyalah sebagian bukti.
Sebaliknya, bahasa pun berbalut politik. Penentuan 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII), misalnya, merupakan keputusan politik. Isu-isu kultural yang diangkat UNESCO seputar HBII selalu berspektrum politis.
Terkait dengan kampanye Pemilu Legislatif 2009, pertanyaannya, fenomena (kebahasaan) apa yang mencuat? Kebijakan apa yang perlu dibuat mengenai bahasa kampanye dalam kerangka HBII pada waktu mendatang?
Bahasa politik
Chilton sebenarnya menyimpulkan ide Aristoteles (384-322 SM) tentang manusia sebagai ”binatang politik” (politikon zoon, political animal). Ciri manusia adalah hidup berkelompok dan bertutur. Kumbang dan beberapa satwa juga berkelompok dan dapat bersuara, tetapi hanya manusia yang mampu bertutur. Suara (voice) berbeda dengan tuturan (speech).
Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan ”kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life (Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, 2008).
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Konflik kepentingan diatasi dan naluri saling mendominasi ditangani.
Kampanye pemilu merupakan bagian politik mikro. Bahasa kampanye, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa kampanye bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif.
Bahasa kampanye Pemilu Legislatif 2009 tampak beda. Hingga Pemilu 2004, kampanye diwarnai perang janji, perang pernyataan, perang ayat, saling menjelekkan, saling klaim wilayah yang—sungguh aneh bin ajaib—dibuat para pendukung parpol. Muncul beragam kreativitas berbahasa, tetapi konflik horizontal juga menghadang di depan mata.
Kini masyarakat tidak ikut memproduksi bahasa kampanye. ”Konflik” terjadi justru antarcaleg, internal maupun eksternal. Fragmentasi internal tecermin melalui iklan kampanye individual caleg. PKS, misalnya, menghindari cara ini untuk meredam konflik internal, lalu lebih mengampanyekan partai. Modus kampanye mencerminkan soliditas partai.
Parpol mengumbar janji lewat iklan di koran dan televisi. Caleg berduit menjalankan—dalam istilah Piliang dan Latif— ”narsisme politik” atau ”politik narsistik” dengan menyodorkan potret diri kepada publik. Sebagian terjebak dalam kultus individu dengan memasang wajah tokoh parpolnya. Mungkin caleg kurang berani sehingga harus ditemani. Sebagian menampilkan irasionalitas dan manipulasi. Seorang caleg Golkar, misalnya, berpose dengan pesepak bola Inggris, David Beckham. ”Beckham saja milih no. 23!” katanya. Caleg lain yang anaknya jadi pesohor membawa-bawa wajah anaknya nampang di pinggir jalan.
Politik bahasa
Membahas bahasa dan politik selalu merambahi topik politik bahasa (Joseph, Language and Politics, 2006). Penetapan 21 Februari sebagai HBII oleh Majelis Umum PBB merupakan politik bahasa sekaligus keputusan politik ”murni”.
Pada 1947 Bengali—kini Banglades—terbelah dua karena agama. Sebagian India (Hindu), sebagian Pakistan (Islam). Pada 1948 ketegangan mencuat sejak Pakistan meresmikan bahasa Urdu sebagai bahasa nasional. Kebijakan itu menyulut protes penutur bahasa Bengali, warga mayoritas di Pakistan timur. Pemerintah Pakistan tak bergeming. Lalu mahasiswa Universitas Dhaka menggelar demonstrasi. Pada 21 Februari 1952, empat mahasiswa tewas saat memperjuangkan martabat bahasa ibu mereka, bahasa Bengali.
Mereka lalu dihormati sebagai syuhada dengan sebuah Shaheed Minar (Monumen Kemartiran) di Dhaka. Sejak kemerdekaan Banglades, 21 Februari menjadi hari libur nasional. ”Pesta bahasa Bengali” digelar dalam rupa-rupa kegiatan.
Pengalaman Banglades merupakan inspirasi untuk memartabatkan bahasa-bahasa lokal. Berita ”Caleg Lokal Makin Prospektif” (Kompas, 11/2/2009/A1) menunjukkan, dalam Pemilu Legislatif 2009, jumlah caleg DPR yang berasal dari daerah pemilihan sendiri (caleg lokal) cenderung meningkat. Selain itu, keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem pencalegan dari nomor urut menjadi suara terbanyak, mendorong caleg berlomba mendekati pemilih.
Terkait dengan HBII sebagai ajakan untuk menggunakan bahasa lokal, kecenderungan itu membuka peluang kampanye pemilu sekaligus menjadi kampanye penggunaan bahasa lokal. Apalagi kampanye pemilu akan selalu berimpitan waktu dengan HBII. Kelak, politik bahasa (lokal) dapat diintegrasikan dalam UU Pemilu.
Selama ini, mayoritas anggota DPR lebih memilih tinggal di Jakarta. Menyapa konstituen dan mengunjungi rakyat yang mereka wakili minim dilakukan. Jangan-jangan, saat mengunjungi konstituen pun, mereka sebenarnya tidak mampu memahami aspirasi rakyat karena kendala bahasa (lokal).
Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili. Wakil rakyat adalah ”binatang politik” yang tinggal dalam sanubari rakyat, bukan ”binatang sungguhan” penghuni kebun binatang.
P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Kompas | Sabtu, 21 Februari 2009 | 00:15 WIB
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment