Tuesday, September 1, 2009

KEKIKUKAN SASTRA MODERN [1]

Oleh: BENI SETIA


SELASA (30/6), setelah sebuah acara di Jakarta saya mampir ke Soreang--sekitar 20 km dari Bandung. Kota yang ditempuh dari Jakarta dalam dua jam via tol, dan sekitar dua jam lagi ke Soreang lewat jalur Kopo dengan kemacetan hampir di tiap titik--15 km dalam satu setengah jam--, sampai tiba di jembatan Citarum dan menempuh 5 km sisanya dalam hitungan menit. Terperangkap dalam Angkot tanpa bisa melakukan apa-apa--juga membaca Kompas yang menampilkan kajian psikologik SBY.


Kondisi situasional yang mengingatkan saya pada tulisan Paul Bohannan, yang mengindentifikasikan adanya dua macam kebudayaan--yakni yang berukuran besar dan melibatkan semua orang, bersipat politis dan ekonomis dan diatur (legal) oleh pemungutan suara dan nilai dollar; dan yang berukuran kecil, yang merujuk rumah tangga dan komunitas, yang cuma diatur oleh rasa simpati dan percaya mempercaya dalam tata hubungan orang dengan orang. Fenomena yang sesuai dengan remaja di sebelah yang malah bicara dan terus bicara. Mengobrol tapi terkesan sang story teller sedang buka praktek--narsistik menceritakan diri sendiri--, yang secara tidak langsung diiyakan dua remaja lainnya yang sibuk bertelepon dengan HP dan asyik mendengarkan lagu.

Saya teringat Walter J. Ong, yang membagi masyarakat dalam dua katagori, yakni masyarakat kelisanan (orality) dan masyarakat keberaksaraan (literacy), dengan state of mind yang beda. Masyarakat kelisanan mendasarkan diri pada kebersamaan, keguyuban dan menolak tumbuhnya pribadi--tanggung jawab diserahkan pada kelompok--; sedang masyarakat keberaksaraan mendasarkan diri kepada penumbuhan pribadi yang mandiri, memiliki sikap kritis serta kesediaan bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan yang diambil. Dan di Angkot itu, di Bandung kota, saya tak tahu saya sedang berada di tengah masyarakat macam apa. Warga masyarakat keberaksaraankah bila si remaja itu bercerita tentang kuliahnya bersahutan dengan temannya cerita tentang mencari PT swasta setelah tak begitu yakin dengan PTN? Bermimpi tentang kuliah sambil kerja seakan-akan di luar sana tak ada isu kelesuan ekonomi karena Negara terlalu memihak pengusaha dan corak ekonomi neo-liberal? Sehingga tak ada aspek individualistik ketika bersama terperangkap dalam Angkot di tengah kemacetan lalu lintas itu diapresiasi sebagi siksaan--pemicu bagi seseorang agar membuat komunikasi tidak-tatap-muka dengan sahabat yang nun di sana atau mengisolasi diri dalam lagu kesayangan.

Barangkali mereka bagian dari masyarakat kelisanan kedua, seperti yang disinyalir Walter J. Ong--sebagai yang terbiasa dalam pola hidup kelisanan kuno, dan tanpa pernah mencapai kematangan masyarakat keberaksaraan mereka tiba-tiba terdampar pada gegar dunia telekomunikasi IT via televisi, komputer dan HP, yang kemudian mereka apresiasi sebagai media untuk mengukuhkan keguyuban dan kebersamaan dalam komunikasi pasif partisipasif mendengarkan. Tapi kejutan yang paling menyakitkan justru terjadi di rumah, keesokan harinya: keponakan--sangat piawai main games--ada menolak untuk pulang dan melakukan Daftar Ulang karena ia sedang asyik berlibur dan semua tanggung jawab buat mengerjakan hal itu ada di tangan ibunya. Bahkan, setelah suntuk main sampai jam 20.00 ia tergopoh-gopoh mengambil RC untuk mencari berita aktual tentang korban kecelakaan Aviastar, pesawat kargo yang setia melayani rute bandara Dekai Yahukimo ke bandara Wamena Jayawijaya. Hanya karena tetangga sekompleksnya itu, Roni, tehnisi, termasuk salah satu korban. Benar-benar tanpa kepentingan apa-apa selain fakta Roni itu tetangga sekompleks yang ia tahu persis meski tak benar-benar akrab dan intim. ”Wa, apakah ada berita tentang korban pesawat itu?” katanya sambil lincah bermain kanal mencari berita. Tidak ada berita di prime time seperti saat itu. Saya ambil koran, saya bukakan halaman Nusantara dan menunjukkan berita dua kolom. Tapi keponakan itu menolak. Yang dicari berita TV, agar pasif partisipasif mendengar bersama-sama, dan tak perlu cape membaca --mencari rujukan sehingga kondisi kargo dam cuaca ekstrim Jayawijaya jadi kongkrit.

Sampai menulis ini saya tetap termangu: Kenapa membaca jadi sesuatu yang harus dihindarkan dan dianggap berlebihan saat TV mampu menghadirkan semua berita yang ingin diketahuinya dalam keserentakan tata warna riil dan kalimat oral singkat?*

0 comments: