Tuesday, September 1, 2009

KEKIKUKAN SASTRA MODERN [2]

Oleh: BENI SETIA

SEKITAR 40-35 tahun yang lalu sastra sampai padaku dalam konteks orality cerita sebelum tidur--ayah menemani munculnya kantuk dengan dongeng-dongeng. Dongeng hikayat, legenda, wayang, fabel binatang dan kisah-kisah fantastik yang disampaikannya dengan selingan kawi. Beberapa waktu kemudian diketemukan lagi dalam ujud buku dan cerita lepas di majalah yang ada di lemari keluarga, yang kemudian menjadi sebuah pertemuan reuni dengan kebebasan lebih besar untuk personal menyusuri dan memaknainya.


Hal yang kemudian mendorong untuk mengembara ke tetangga, yang berlangganan majalah (antara lain Mangle) dan koran, yang suka narsis dengan menceritakan ulang apa yang dibacanya--yang meski didengarkan saya lebih suka membaca sendiri. Saya juga punya tetangga yang punya tradisi membaca yang aneh, mereka menyewa novel--mereka tidak suka komik karena tak bisa dilisankan secara happening--dan menugaskan satu anaknya untuk jadi si juru baca di ruang tamu atau teras ketika urusan dapur selesai--saat bakda Ashar. Dan semua anggota keluarga intens mendengarkan pembacaan yang datar tetapi diapresiasi oleh imajinasi personal sehingga jadi rekonstruksi kejadian subyektif dalam keserentakan tak sama. Keluarga yang juga kompak pergi nonton sandiwara atau wayang.

Juga seorang tante yang punya persewaan buku, yang tiap Ramadhan jadi jujugan semua saudara, yang menghabiskan siang dengan membaca. Atau mendengarkan cerita tentang film-film yang ditonton atau buku yang dibacanya--sehingga ada film yang hanya bisa dinikmati OST-nya saja. Dan sampai kini kakak saya masih ke Perpustakaan Daerah, membaca semua buku dan karena kehabisan pernah asal comot ambil bukunya Esmiet, Tunggak Jati, yang covernya standar PJ dan tercengang saat tahu itu berbahasa Jawa.

Kini, kalau pulang kampung--sebagai si Malin Kundang dalam rumusan Gunawan Mohammad-- terkadang saya rindu melihat kerumunan bulan Ramadhan atau yang di teras dalam suasana senja remang dan teduh, dengan intonasi yang datar menghadirkan Winetou, Andi atau Bu Pun Su. Tapi ritual membaca yang ada dalam konteks bercerita dan mendengarkan di tengah keluarga itu rasanya telah surut. Saya tidak tahu persisnya. Mungkin seiring booming radio siaran non-RRI, yang memanjakan pendengar dengan lagu pop Barat dan Indonesia, pop dan tradisional Sunda. Meski nguping wayang golek semalam masih ada, dan semakin menggila dengan kehadiran rekaman audio pagelaran wayang. Dan pelan-pelan tranced keguyuban pasif mendengarkan itu diambil alih oleh beberapa radio di Bandung, yang menghadirkan acara dongeng--yang bersipat lelucon punakawan di Radio Volvo, yang bersipat wayang tutur di Radio Merzy, atau yang hanya membaca novel silat Sunda di Radio Paramuda, misalnya. Di penghujung kebiasaan itu hancur oleh kahadiran TV, dimulai TVRI--dengan film-film seri semacam Bonanza atau Mision: Imposible--dan terutama saat sepuluhan stasiun TV membanjirkan hiburan. Kini semua orang pasif ngumpul di ruang keluarga, bersuntuk tak mau diganggu apapun dan siapapun untuk menonton sinetron yang telah disepakati--bila tak sepakat terjadi rebutan RC sehingga muncul individualistik orality baru di rumah kota, tiap orang merasa butuh punya TV pribadi di kamar. Semuanya pasif partisipasif di depan TV, terpukau, dan saat iklan berdiskusi tentang tindakan hitam putih yang berlebihan dan tidak masuk akal khas opera sabun itu--bahkan di kantor di sela senggang bekerja orang diskusi tentang episode sinetron semalam dengan keseriusan analisa psikologi para capres di Kompas.

Dan bila topik tentang sinetron bersama habis, kalau tidak ngomongin yang begitu:
semua orang berbicara tentang pacar baru si A dan si B ketahuan selingkuh dengan si Z--atau si D bercerai. Dan karenanya mereka memghabiskan jam sebelum memasak dan selama memasak untuk mengikuti info gosip terkini seperti mereka penasaran dengan apa yang dibeli tetangga sebelah, tentang apa perhiasan barunya, dan berapa utang tetangga yang lainnya. Semua berita gosip artis di TV itu diperlakukan seperti tentang orang di belakang atau orang di sebelah. Dan tentang debat Capres? Tak perlu diikuti karena akan ada si seseorang yang sangat tahu dan ahli yang akan menceritakananya. Ya--semua hal dikembalikan kepada ahlinya, yang dengan memukau dia akan bercerita dan karena itu kebenaranpun sudah diputuskan. Untuk apa punya kritisme dan inisiatif--bukankah untuk pergi takziah, kenduren, dan rewang semua orang saling tunggu dan bersepakat dahulu? Lalu di mana tempat bertamu sastra Indonesia--yang dalam beberapa segi mewakili sastra Sunda dan sastra Jawa--modern tertulis yang hadir dalam ujud teks di koran, majalah atau buku, yang bertumpu pada upaya eksplorasi kreativitas individualistik untuk menemukan tehnik ungkap dan aspek cerita baru yang orsinil?*

0 comments: