Friday, October 23, 2009

Bahasa Indonesia Masihjauh dari Selesai

Kemanakah Tujuan Kebangkitan Bahasa Daerah

Oleh S. TAKDIR ALISJAHBANA

AKHIR-akhir ini muncul bebe-rapa fenomena agak menarik be-rupa bangkitnya beberapa golong-an yang memperhatikan kembali bahasa daerah. Bdgi saya hal ini merupakan sesuatu yang aneh, sebab seperti diketahui, perhatian saya yang terpenting adalah tentang keterbelakangan bangsa In¬donesia di tengah-tengah modernisasi seluruh duia yang mengecil dan umat raanusia yang menyatu.


Seperti kita ketahui minggu per-tama Juli tahun ini di Semarang akan diadakan Kongres Bahasa Ja-wa yang besar, yang bukan saja akan dikunjungi pakar-pakar ba¬hasa Jawa dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Ketua Peng-arah Kongres itu adalah Daryanto. Kabarnya kongres itu bertujuan untuk memantau kehidupan baha¬sa dan sastra Jawa untuk dijadikan masukan bagi kongres kebudayaan yang akan diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebu¬dayaan pada bulan Oktober tahun ini. Dengan demikian kongres ba¬hasa Jawa itu bertema: ' Bahasa Jawa sebagai Potensi Jati Diri Pem-bentukan audaya Nasional".

Kita tahu bahwa, perhatian akan bahasa dan sastra Sunda telah se-jak lama dibangkitkan dan didp-rong oleh Ayip Rosyidi. Inisiatif-nya itu mcndapat sambutan dari beberapa orang dan dalam Harian "Pikiran Rakyat" yang terbit di Bandung pada tanggal 23 April 1991, Sunanda Partasasmita menu-lis sebuah karangan yang panjang, yangberjudul:" Untuk menehidup-Kan sastra Sunda, bangkitkan ke-banggaan dan kesetiaan berbaha-sa". Dalam karangan ini bukan sa¬ja dianjurkan menulis sastra Sunda dan dimintanya pada khalayak ra-mai bangsa Sunda supaya lebih memperhatikan sastra itu dan ber-sama dengan itu tentulah dikehen-dakinya pendidikan tentang baha¬sa sudah lebih dikembangkan su-Eaya bangsa Sunda lebih mencintai ahasa itu.

Dalam Harian "Singgalang" edi-si Minggu, 21 April 1991 termuat sebuah karangan oleh Soewardi Idris: "Bahasa Minang, siapayang peduli ?" Dalam karangan ini de¬ngan jelas disesalkan, bahwa tidak ada perhatian sama sekali bukan saja tentang bahasa Minang, tetapi lebih luas lagi tentang adat-istiadat dan kebudayaan Minang. Dengan jelas dianjurkannya bahasa Mi¬nang diajarkan di semua sekolah dasar dan demikian juga adat Mi-nangkabau meniadi pelajaran juga di sekolah-sekolah. Selain daripa-da itu ditekankannya juga bahwa nama-nama tempat di Minangkabau jangan di Indonesiakan, tetapi tetap dalam bahasa aslinya Minangkabau.

Menurut Harian "Kompas" tanggal 27 Maret 1991 diberitakan bahwa, bahasa Cirebon akan di¬ajarkan di 172 sekolah dasar. Un¬tuk itu 1.500 orang sudah ditatar selama tiga hari. Di samping itu di-siapkan pula 33 orang tutor. Materi pelajaran tidak begitu jauh berbe-da dari materi pelajaran bahasa In¬donesia. Pelaksanaan pengajaran Iqkal ini telah disetujui Ditjen Pen¬didikan Dasar dan Menengah guna melestarikan budaya setempat.

Selain daripada itu orang yang pernah datang ke Yogyakarta tahu bahwa di kota yang dahulu menjadi pusat perjuangan kesatuan Indo¬nesia dan yang pernah menjadi ibukota Republik Indonesia, nama-nama jalan dituliskan dengan huruf Jawa (Hanacaraka), sedangkan huruf latin hanya sebagai keterangan di bawahnya.

[]

DENGAN contoh-contoh yang dikemukakan di atas jelas bahwa dalam golongan yang agak luas seolah-olah telah bangkit suatu reaksi terhadap usaha menjalan-kan kesatuan dan persatuan bang¬sa Indonesia dengan penekanan pada bahasa Indonesia sebagai ba¬hasa kesatuan, bahasa resmi atau seperti disebut dalam Undang-Undang Dasar sebagai bahasa ne-gara. Reaksi ini sejalan dengan semboyan bangsa Indonesia "Bhi-neka Tunggal Ika" dan ucapan-u«apan yang mengatakan: "Meles¬tarikan Kebudayaan nenek moyang", dalam hal ini kebudaya-an-kebudayaan daerah yang sangat banyak jumlahnya di seluruh Indo¬nesia.

Kita sebagai bangsa yang terbe-lakang dalam dunia modern ini, yaitu terbelakang tentang ilmu, tentang teknologi dan teristimewa tentang ekonomi, mesti dengan je¬las menganalisis kecenderungan-kecenderungan seperti yang kita lukiskan di atas. Nostalgia kepada masa lampau itu mungkin bangkit oleh karena kurang meyakinkan-nya usaha-usaha mqdernisasi yang dilakukan di negeri kita. Bangsa kita belum terlibat sepenuhnya da¬lam usaha untuk merebut ilmu, merebut teknologi dan sungguh-sungguh berjuang untuk mendapat kedudukan yang layak dalam la-pangan ekonomi di negeri sendiri. Dan sesungguhnya mentalitas ke-banyakan bangsa kita masih men¬talitas kebudayaan kita yang lama, yang santai, yang menerima, yang sering agak rendah memandang kepada ketnajuan jasmani dan ma¬terial di dunia ini.

DILIHAT dari jurusan ini, usaha pendidikan kita ke arah dunia mo¬dern itu masih sangat lemah. Se¬perti kita tahu, belanja pendidikan di negeri kita hanya 6-7% dari selu¬ruh belanja negara. Jumlah itu di Malaysia 12% dan di Singapura 19%. Usaha meningkatkan bahasa .Indonesia yang menjadi bahasa il¬mu kita satu-satunya juga masih terlampau lemah. Bahasa Indone¬sia tidak cukup mempunyai buku-buku, sedangkan usaha untuk menerjemahkan buku-buku yang ter¬penting tentang ilmu dan zaman yang lampau maupun dari zaman ini belum bermula besar-besaran seperti yang pernah dilakukan oleh Jepang. Perpustakaan di sekolah-sekolah terutama di perguruan tinggi amat kecil, jauh di oawah Malaysia dan Singapura apalagi dari Eropa, Jepang dan Amerika. Mahasiswa kita yang belajar di luar negeri sangat sedikit, yang banyak adalah dari keturunan Cina yang dapat membayar pelajarannya sen¬diri di luar negeri. Sehingga dapat kita katakan bahwa di antara orang Indonesia yang belajar di luar ne¬geri itu hanya kira-kira 20% anak bangsa pribumi dari semuanya. Hal ini berbeda dengan Malaysia, di maria pemerintah memberikan kemungkinan kepada orang-orang yang menamatkan studi di univer-sitas-universitas di Malaysia untuk meminjam kepada pemerintah buat membiayai pelajarannya pada universitas di luar negen. Bagi orang-orang yang tamat di luar ne¬geri malahan akan diberikan ke-sempatan hanya membayar 25% dari utangnya itu.

DILIHAT dari jurusan ini, da¬lam modernisasi bangsa kita yang masih terbelakang sedangkan usa¬ha untuk mengatasi keterbelakangan itu dengan perantaraan pendidikan masih jauh dari mema-dai, maka perlulah kita mensi-nyalir fenomena perhatian baru kepada bahasa daerah dan kebu¬dayaan daerah yang bagaimana se-kalipun mesti dianggap sebagai usaha kemunduran. Sedangkan bahasa Indonesia masih jauh dari selesai, terutama tentang kebu-dayaannya akan buku terjemahan, baik yang bersifat sastra maupun ilmu, perhatian kepada bahasa daerah itu tidak dapat membawa kita ke tingkat kemajuan yang ma-na sekalipun. Perhatian kita hanya dikembatikannya ke unsur-unsur kebudayaan daerah dari masa yang silam yang tidak relevan untuk ke¬majuan bangsa kita sebagai suatu keseluruhan dalam dunia modern ini. Segala perhatian, segala tenaga yang dipakai untuk memenuhi nostalgia itu hanya membawa keragu-raguan dan mengalihkan perhatian dan tenaga ke tempat yang sia-sia. Ini bukan berarti bahwa kebudaya¬an daerah termasuk seni dan sastranya yang ada harus diabaikan atau dilupakan sepenuhnya.

Seperti telah terjadi dalam be¬berapa lapangan seni, kita harus menguasai seni tradisional untuk memgembangkannya dengan ciptaan-ciptaan yang baru ke arah kesenian nasional dan modern bangsa Indonesia. Seperti diketa¬hui saya tidak hendak terhanyut dalam seni modern yang dekaden, tetapi mengharapkan bangkitnya seni modern Indonesia yang ber-tanggung jawab atas perkembang-an Indonesia di masa yang akan datang. Kebudayaan kita yang lama termasuk seninya adalah salah satu sumber yang dapat memberi¬kan kepada kita oahan-bahan isti-mewa dalam menciptakan keseni¬an kita yang baru untuk kebangsa-an Indonesia maupun untuk dunia dan umat manusia.

Ini bukan berarti bahwa orang tidak boleh menulis puisi, prosa atau bentuk sastra yang lain dalam bahasa daerah, kalau sesungguh¬nya bahasa daerah itu dikuasainya dan dia dapat lebih mudah meng-ungkapkan perasaan dan pikiran-nya dalam bahasa daerah itu. Dan kalau misalnya novel yang ditulis nya dalam bahasa daerah itu indah dan penuh isi, hendaknya kita tidak segan-segan cepat menerje-mahkannya ke dalam bahasa Indo¬nesia. Sehingga tidak hanya dibaca dan dinikmati oleh orang-orang yang tahu bahasa daerah itu, tetapi juga oleh seluruh bangsa Indone¬sia. Dan jangan dilupakan bahwa dalam arti yang sesungguhnya ti¬dak ada lagi kemungkinan untuk mengembangkan dan memajukan bahasa daerah di Indonesia sejak Sumpah Pemuda memilih bahasa kebangsaan kita bersama, bahasa Indonesia.

Kalau kita sungguh-sungguh hendak memajukan baha¬sa Jawa, Sunda, dll., maka jalan-nya hanya satu, yaitu menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar di SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi di daerah yang bersangkutan untuk semua mata pelajaran, baru sepenuh-penuhnya bahasa daerah tersebut berkembang masuk ke dunia modern. Te¬tapi dengan demikian Indonesia akan terpecah-pecah lagi dalam lingkungan-lingkungan bahasa daerah dan negara kesatuan seper¬ti sekarang mestilah diubah menja¬di negara federasi, masing-masing dengan bahasa daerahnya sebagai bahasa yang terpenting. []

Pikiran Rakyat, 5 Juni 1991

2 comments:

sugeng pitepangan mas, kulo cah Magelang ingkang ugi remen dumateng boso jawi...
suwun

inggih mas eko, sami-sami, maturnuwun