Oleh Rustono*
JIKA tidak ada aral melintang, pada medio 2006 Jawa Tengah akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres IV Bahasa Jawa (KBJ IV). Delapan bulan ke depan tidaklah bisa dikatakan masih lama, jika mengingat bahwa untuk mempersiapkan perhelatan berskala internasional yang memiliki arti penting, nilai strategis, dan implikasi besar secara kultural itu diperlukan kematangan dalam berbagai aspek.
Berskala internasional, karena kongres tidak hanya mengangkat permasalahan kebahasaan dalam lingkup tiga provinsi, yakni Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Permasalahan bahasa Jawa yang secara nyata hadir di wilayah lain di luar ketiga provinsi itu, bahkan di berbagai belahan dunia yang lain, juga penting untuk diangkat dan diselesaikan. Karena itu, keterlibatan narasumber dan peserta dari mancanegara juga begitu perlu.
Demikian luas bentangan masalah yang harus diselesaikan, sehingga persiapan penyelenggaraan kongres itu merentang dari persoalan teknis sampai dengan konseptual. Tulisan ini berusaha melihat arti penting penyelenggaraan kembali KBJ, sekelumit evaluasi terhadap realisasi kongres sebelumnya, orientasi penyelenggaraan kongres mendatang, dan implikasinya.
Ajang Evaluasi
Penyelenggaraan KBJ IV Tahun 2006 merupakan realisasi putusan KBJ III yang berlangsung di Yogyakarta, 2001. Karena itu, kongres mendatang dapat dipandang sebagai upaya yang berkesinambungan dengan tiga kongres sebelumnya. Itu mengingat bahwa hasil-hasil kongres yang lalu masih perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti.
Hal lain yang tak kalah penting, KBJ IV mempunyai posisi penting setelah Amandemen UUD 1945, yang antara lain menetapkan poin "negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya" dan "negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional".
Pada saat yang bersamaan, kehidupan berbahasa Jawa, terutama di kalangan generasi muda Jawa memperlihatkan fenomena yang semakin kurang menggembirakan.
Kebanggaan terhadap bahasa ibu, frekuensi penggunaan, dan kualitas praktik berbahasa Jawa sebagai bahasa ibu tidaklah menampakkan grafik yang menanjak, tetapi justru sebaliknya.
Masalah ini bukannya belum pernah dibahas dan dicarikan pemecahan. Semenjak kongres yang pertama, masalah tersebut senantiasa mengemuka dan aneka gagasan untuk menyelesaikannya juga sudah dimunculkan. Begitu pula langkah-langkah nyata untuk menjawabnya. Akan tetapi, sejujurnya harus diakui bahwa hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Fakta bahwa di muka bumi ini 6 -10 bahasa etnis hilang setiap tahun, bisa menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi pendukung bahasa Jawa. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan menimpa bahasa daerah dengan penutur lebih kurang 75,5 juta orang atau terbanyak ke-11 di dunia ini jika tidak ada upaya nyata untuk menghidup-hidupinya.
Tiga kali kongres telah merekomendasikan heberapa hal untuk ditindaklanjuti, terutama oleh ketiga pemerintah provinsi tersebut. Rekomendasi itu antara lain menyebutkan perlunya segera disusun peraturan daerah (perda) tentang pendidikan bahasa dan sastra Jawa serta pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa.
Jawa Tengah memang belum memiliki perda semacam itu. Namun, keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Pemberlakuan Kurikulum Bahasa Jawa SD-SLTA yang berkonsekuensi pada pemberlakuan pelajaran bahasa Jawa hingga jenjang SMA/SMK mulai tahun ini, merupakan sebuah langkah maju yang sangat bermakna. Implikasinya demikian besar dan luas di tengah-tengah upaya pengembangan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal.
Sudah sepatutnya kebijakan Gubernur itu diapresiasi, dilaksanakan, dan dikawal sebagaimana mestinya agar tidak sekadar menjadi "macan kertas" atau malah kontraproduktif.
Rekomendasi lain dari KBJ III adalah pembentukan Dewan Bahasa Jawa di tiap-tiap provinsi. Di Jawa Tengah, lembaga ini memang sudah terbentuk. Namun sejujurnya harus diakui, perannya secara nyata belum tampak maksimal.
Yang justru terlupakan adalah pembentukan Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa. Hingga sekarang badan itu belum juga terbentuk. Padahal, lewat badan inilah sebagian keputusan kongres sebelumnya semestinya dilaksanakan. Namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, andai dalam waktu dekat badan itu terbentuk, ia bisa menjadi agen untuk melaksanakan atau mendorong beberapa putusan kongres sebelumnya yang belum diwujudkan.
Tataran Aksiologis
KBJ IV sungguh sangat strategis untuk merespons dan menjawab persoalan tersebut. Tentu saja pada saat ini tidak waktunya lagi menjadikan kongres untuk memperbincangkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa pada dataran aksiologis dan ontologis. Kongres semestinya mengangkat dan menyelesaikan persoalan bahasa dan sastra Jawa pada tataran aksiologis.
Sudah cukup banyak hasil penelitian dan pengkajian di bidang bahasa, sastra, dan budaya Jawa beserta pengajarannya. Kongres diselenggarakan cukup untuk memberikan afirmasi terhadap semua itu lewat rekomendasi yang memiliki nilai kemungkinan besar untuk mewujudkan, bukan rumusan yang mengawang-awang dan sekadar macan kertas.
Secara khusus, KBJ IV perlu menetapkan sasaran untuk merumuskan rencana dan strategi pendidikan bahasa Jawa di lingkungan pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi, pendidikan formal, nonformal, informal, masyarakat, dan keluarga serta menampilkan prestasi karya sastra Jawa pasca-2000. Karena itu, tepat sekali rumusan tema yang dipilih pada KBJ, yakni "Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Jawa melalui Pendidikan dalam Rangka Penguatan Bhinneka Tunggal Ika".
Meski demikian, harus diingat, jer basuki mawa beya. Topangan dana, terutama dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah lewat Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mutlak diperlukan untuk menyelenggarakan perhelatan budaya ini. Jika untuk proyek fisik pemerintah tak segan-segan mengeluarkan dana ratusan miliar hingga triliunan rupiah, untuk proyek kultural yang bermuara pada upaya "memanusiawikan manusia", semestinya pemerintah juga menunjukkan komitmennya dengan pengucuran dana yang memadai. Bersamaan dengan itu, partisipasi seluruh masyarakat pendukung bahasa-sastra Jawa, terutama kalangan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dunia industri, pendidik, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah, sangat dibutuhkan. (24)
*) Prof Dr Rustono, pakar linguistik dan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Suara Merdeka Selasa, 22 Nopember 2005
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment