Suara Bagus, Peserta Kesulitan Jalan Pakai Jarit
Gereja Paroki St Yusup, Kota Blitar, punya cara lain melestarikan kebudayaan Jawa. Salah satunya menggelar tembang macapat. Lomba seperti ini tidak pernah dilaksanakan di wilayah Keuskupan Surabaya.
Ratusan orang tampak memadati area Gereja Paroki St Yusup Kota Blitar pada Minggu (4/10) lalu. Beberapa di antaranya mengenakan kostum Jawa lengkap. Yang pria memakai blangkon dan surjan, sedang yang putri mengenakan kebaya dan jarit. Ada yang kesulitan berjalan karena tidak biasa memakai jarit.
Di dalam balai gereja juga tampak sebuah dekorasi panggung khas pernikahan adat Jawa. Settingnya persis seperti acara unduhan manten, lengkap dengan kuade dan kursi mempelai. Hanya saja, di tengah-tengahnya terpajang meja dengan kitab suci Injil.
Setting panggung demikian dirasa pas gereja yang menggelar lomba Nembang Macapat Injil Papat. Lomba ini baru pertama kali diadakan di wilayah Blitar. Bahkan gereja di wilayah keuskupan Surabaya pun baru di Blitar ini digelar. Keuskupan Surabaya meliputi paroki Blora, Rembang, Ngawi, Cepu, Ponorogo, dan lain-lainnya.
Tembang macapat Injil papat ini pertama kali dipopulerkan oleh Romo Sindhunata SJ. Romo Sindhu menerjemahkan kitab suci umat Katolik, khususnya keempat Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, itu ke dalam pakem tembang macapat. “Jadi, umat dapat merenungkan sabda Tuhan dalam sebuah napas budaya yang telah lekat pada orang Jawa,” kata Romo Prima Novianto, kepala Paroki St Yusup Blitar.
Tembang macapat Injil inilah kemudian oleh Paroki St Yusuf dilombakan. Harapannya, umat lebih menjiwai apa yang tersirat dalam kitab tersebut.
Pertama kali digelar ternyata mendapat sambutan cukup bagus. Buktinya, pendaftar tidak hanya datang dari dalam Blitar saja, tetapi luar daerah. Empat wilayah Paroki St Yusup mengutus peserta. Mulai dari wilayah Ngeni dan sekitarnya, seputar lereng gunung kelud, Wates dan sekitarnya, serta seputar Kota Blitar. “Lomba ini bukan sekadar mencari pemenang. Tapi sebagai rangsangan kepada umat untuk lebih mendalami kitab, sekaligus melestarikan budaya Jawa,” terang Romo Novi.
Lomba itu terbagi menjadi tiga kategori. Yakni kategori anak-anak usia SD hingga kelas I SMP, kategori remaja usia kelas II SMP hingga SMA dan kategori dewasa untuk usia kuliah ke atas ataupun peserta yang sudah menikah.
Tiga juri yang menilai para finalis, datang dari latar belakang kesenian Jawa yang kental. Ada PY Misdi, seorang dalang yang kerap pentas dalam even nasional. Lalu Harjono, seorang praktisi kesenian Jawa yang juga penggerak dalam komunitas penembang macapat. Dan Romo Agus Sulistyo, seorang romo yang juga sering mendalang. “Semoga lomba ini menjadi awal bagi umat untuk lebih mencintai Injil,” kata Romo Agus.
Lomba Nembang Macapat Injil Papat ini turut dihadiri oleh berbagai tamu dari luar kota. Ada Paguyuban Tulang Rusuk Surabaya (PTRS), sebuah komunitas keturunan Tionghoa yang peduli dan cinta pada kebudayaan Jawa, ada pimpinan PT Fuboru Indonesia Heru Prasanta Wijaya serta Sutoto Yakobus, yang mendukung pelaksanaan Lomba Nembang Macapat Injil Papat ini. “Harapannya, sabda Tuhan dapat lebih merasuk dalam kehidupan umat,” kata Heru Prasanta Wijaya.
Dalam lomba ini ternyata peserta tidak kikuk lagi menembangkan Injil. “Suara peserta bagus-bagus,” kata Andrian Melmam Besy, humas panitia lomba. *
Radar Blitar, Ridha Erviana
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment