KOMPAS.com-Sastra jawa dari kaum perempuan masih terhalang kesibukan mengurus rumah tangga para penulisnya. Akibatnya, karya sastra jenis ini masih minim. Padahal, potensi untuk itu sangat besar.
Hambatan dalam berkarya ini salah satunya diutarakan penulis cerita pendek (cerita cekak) dan puisi berbahasa jawa (gurit ) dari Yogyakarta Suisdiyati Sarmo (68). Saat ini, sejumlah karya Suisdiyati termuat dalam berbagai media massa berbahasa jawa. Dia juga sering membacakan karyanya di program berbahasa jawa Radio Republik Indonesia Yogyakarta.
"Saya baru mulai bisa rutin menulis sejak empat tahun yang lalu, saat sudah pensiun dan anak-anak sudah mapan semua. Sebelumnya, saya masih disibukkan dengan mengurus keperluan mereka," katanya di sela-sela Sarasehan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta di Balai Bahasa Yogyakarta, Minggu (11/10).
Karena kesibukan mengurus rumah tangga, Suisdiyati hanya menulis secara lepas. Dia tidak bersedia terikat kontrak karena khawatir tidak bisa memenuhi tenggat waktu. "Aktivitas menulis pensiunan guru SD itu pun tidak bisa maksimal. Waktu itu saya hanya menulis kalau waktu memang benar-benar sedang lega," tuturnya.
Alasan yang sama diungkapkan penulis jawa perempuan lainnya Supadmi (65-an). Selain kesibukan rumah tangga, dia juga terhalang dengan kesibukan membantu ekonomi keluarga.
Sucihadi (70-an) yang telah menghasilkan beberapa buku di antara tahun 1980-1990 mengatakan, meskipun mempunyai banyak naskah, dia menemui kesulitan untuk menerbitkan naskahnya karena tidak bisa mengetik mengunakan komputer. Padahal saat ini, banyak penerbit dan media massa yang hanya menerima karya dalam bentuk ketikan komputer.
Dia juga kesulitan mengirimkan naskah dengan tulisan tangan karena usia tua membuat tulisannya sulit terbaca lagi. Oleh sebab itu, Sucihadi hanya bisa membacakan beberapa karyanya di radio. "Sudah ada 101 naskah gurit saya yang teronggok saja," tuturnya.
Gaya mendongeng
Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta yang juga memprakarsai berdirinya Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta Sri Widati mengatakan, penulis perempuan yang menggunakan bahasa jawa dalam karyanya biasanya datang dari keluarga yang masih kuat mengukuhi tradisi. Akibatnya, tanggungjawab mereka sebagai pengurus rumah tangga sulit dikompromikan. "Ini berbeda dengan sastrawan perempuan berbahasa Indonesia yang umumnya datang dari keluarga lebih modern," tuturnya.
Minimnya karya sastra perempuan jawa juga disebabkan karena media massa bahasa jawa yang kian menyusut. Selain itu, gaya tulisan penulis jawa perempuan juga kurang diminati karena biasanya mirip gaya bahasa mendongeng. Gaya menulis mereka biasanya disertai pengantar yang panjang. "Gaya ini membuat naskah perempuan jawa biasanya tebal dan memakan banyak biaya penerbitan, " tutur Sri.
Gaya menulis tersebut berbeda dengan karya sastra yang dihasilkan penulis laki-laki yang biasanya lebih lugas, padat, dan ringkas. Selain itu, kaum laki-laki juga relatif mempunya waktu luang lebih banyak sehingga memungkinkan mereka menghasilkan karya lebih banyak.
Menurut Sri hal ini patut disayangkan. Sastra jawa perempuan mempunyai gaya tulisan yang khas yang tidak bisa ditemukan dalam jenis sastra lain. Sastra jawa perempuan biasanya lebih rinci menggambarkan perasaan dan lebih hidup dalam mendeskripsikan kehidupan sehari-hari. Mereka juga mempunyai cara pandang yang berbeda dalam menilai kejadian.
Sri mangatakan, meski tak banyak muncul, jumlah penulis perempuan berbahasa jawa pun sebenarnya banyak. Sejarah juga sudah mengenal penulis perempuan berbahasa jawa sudah dikenal sejak awal abad 1900. Sejumlah naskah berbahasa jawa yang ditulis untuk kepentingan keluarga keraton pada zaman itu diketahui ditulis oleh abdi dalem atau prajurit perempuan.
Di Keraton Surakarta , misalnya, pernah di temukan naskah catatan harian keraton yang ditulis perempuan, yaitu Catetan Dalem, Gerah Dalem, dan Seda Dalem. "Di tahun 1930-an juga dikenal penulis perempuan berbahasa jawa dari luar keraton yaitu Rondho Gunawicara," tuturnya.
Sumber: Kompas
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment