Saturday, October 3, 2009

Sastra Jawa Tanpa Desa

Haris Firdaus

Ada sebuah paradoks yang saya rasakan saat menghadiri Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 pada 4-5 Agustus lalu. Berhasrat mendekatkan sastra Jawa dengan masyarakat pedesaan, yang selama ini diasumsikan sebagai habitat tersuburnya, acara itu, bagi saya, justru membuktikan bahwa sastra Jawa belum bisa benar-benar dekat dengan orang-orang desa.
Dalam tulisan pengantar acara itu, panitia festival menyebutkan bahwa masyarakat pedesaan adalah pendukung utama eksistensi sastra Jawa. Merekalah yang selama ini membaca majalah berbahasa Jawa dan mengonsumsi pelbagai bentuk karya sastra berbahasa Jawa. Sayangnya, menurut panitia festival, hal itu tidak diimbangi oleh keberpihakan sastrawan terhadap masyarakat desa dan pelbagai variasi masalahnya. Peran dan posisi sastrawan Jawa selama ini tak pernah jelas dalam konteks persoalan masyarakat desa. Kebanyakan problem pedesaan justru lebih banyak direspon oleh lembaga swadaya masyarakat yang kebanyakan berasal dari kota, maupun mancanegara.

Menimbang persoalan itu, Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 kemudian diadakan sebagai upaya menjawab persoalan keberjarakan masyarakat desa dengan sastra Jawa. Ini adalah tujuan luhur nan mulia tentu saja. Dalam konteks wacana sastra Jawa, isu ini juga cukup jarang disinggung. Selama ini, isu seputar sastra Jawa hampir selalu berkisar pada tak adanya perhatian yang luas pada karya-karya sastra berbahasa Jawa yang diasumsikan punya faedah luas. Kadangkala, tanpa pernah membuktikan dengan konkret apa faedah yang diasumsikan ada itu, para pelaku sastra Jawa mengeluarkan kecaman terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas miskinnya apresiasi terhadap sastra Jawa. Itu soal klise dan untunglah festival ini secara konseptual tak ingin terjebak pada kelaziman tak berguna semacam itu.

Alih-alih mengecam pihak lain, semisal pemerintah, kaum pendidik, atau masyarakat, secara konseptual Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 sebenarnya ingin mengajukan gugatan pada para sastrawan itu sendiri. Di sini, ada semacam pembalikan sudut pandang yang cukup ekstrem. Hipotesis yang diajukan adalah: penyebab miskinnya apresiasi terhadap sastra Jawa itu tidak berasal dari pihak-pihak di luar pelaku sastra Jawa, tapi justru dari internal sastrawan itu sendiri. Ketakjelasan peran para sastrawan Jawa dalam konstelasi persoalan masyarakat pedesaan adalah faktor yang dituding sebagai biang keladi sepinya tanggapan publik atas karya-karya sastra Jawa.

Secara konseptual, festival itu kemudian mempunyai hasrat mencairkan jarak antara para penulis sastra Jawa, juga produk-produk yang mereka hasilkan, dengan masyarakat pedesaan. Ketiadaan komunikasi yang intens barangkali merupakan penyebab ketakjelasan posisi sastrawan dalam gelimang persoalan desa. Tidak adanya dialog itulah yang diasumsikan menjadi titik awal tak tumbuhnya perhatian para sastrawan terhadap desa—dalam proses yang lebih kemudian, hal sebaliknya juga lalu menyusul. Jadi, kedekatan sastrawan dengan desa adalah ihwal yang berusaha ditumbuhkan melalui festival ini.

[]

Saya kira, pelbagai pemikiran itulah yang menyebabkan festival mengambil tempat di sebuah dusun pelosok bernama Nglaran yang terletak di salah satu sudut Kota Trenggalek, Jawa Timur. Dari sudut geografis, lokasi acara itu, meminjam bahasa gaul anak muda sekarang, memang “desa banget”. Berjarak lebih 40 km dari pusat kota Trenggalek, Nglaran adalah sebuah kampung yang dikelilingi perbukitan, dengan jalan meliuk-liuk yang mirip jalur roaller coaster. Di dusun ini, hanya satu operator seluler yang bisa mengantarkan signal handphone sehingga kebanyakan peserta festival kelimpungan karena komunikasi mereka dengan dunia luar seolah tiba-tiba terenggut.

Dengan mengambil lokasi yang “desa banget”, panitia festival mungkin berharap para sastrawan akan kembali menghirup suasana pedesaan, menyerap pelbagai soal yang terjadi di sana, dan menjalin komunikasi yang intens dengan masyarakat setempat. Tapi pertanyaannya, bisakah semua itu terjadi hanya dengan mencairkan jarak geografis? Bisakah kedekatan lokasi menjadi jaminan akan tumbuhnya kesadaran baru mengenai problem masyarakat desa? Jawabannya tentu saja: tidak.

Dalam konteks festival kemarin, pencairan jarak geografi menjadi tidak berarti karena dua hal. Pertama, tak tersedianya waktu yang memadai bagi proses sosialisasi. Kedua, tidak adanya forum bersama yang bisa menjadi sarana dialog. Dua faktor inilah yang menyebabkan festival kemarin jauh panggang dari api. Waktu penyelenggaraan yang hanya dua hari, juga tak adanya forum dialog yang mempertemukan masyarakat dengan para sastrawan, menyebabkan tidak adanya komunikasi yang intens di antara mereka.

Sebatas komunikasi antara para sastrawan dengan masyarakat sih memang ada, tapi komunikasi intens saya kira tidak terjadi. Kebanyakan penduduk desa, saya lihat, lebih diposisikan sebagai pembantu teknis acara, semisal penyedia penginapan, tukang masak makanan, atau petugas antar-jemput peserta. Tidak lebih dari itu. Tak ada sebuah sesi yang mencoba membuat dua pihak itu bisa saling menjalin dialog yang baik. Memang pada malam hari masyarakat dan para peserta festival berbaur tatkala menonton seni pertunjukan, seperti sajian pantomim dan pentas kentrung modern. Tapi pembauran itu sama sekali tak menghasilkan apa-apa sebab keberadaan mereka secara bersama-sama pada acara malam itu hanya sebagai penonton yang pasif dan tak bisa berbuat banyak.

[]

Yang lebih saya sayangkan adalah ketidakefektifan acara Sarasehan Sastra Jawa dalam membahas persoalan yang telah ditetapkan panitia. Dalam sesi sarasehan pertama yang menghadirkan sastrawan Beni Setia dan penyair Zawai Imron sebagai pembicara, persoalan itu hanya separo dibahas.

Menurut saya, hanya Beni Setia yang secara konsisten dan serius mencoba membahas pencairan hubungan antara sastra Jawa dengan masyarakat desa. Pokok pembicaraan Beni berpusat pada strategi “memasyarakakan sastra Jawa” melalui seni pertunjukan. Bagi Beni, sastra Jawa tradisional di masa lampau selalu hadir dalam seni pertunjukan, baik semisal pentas wayang atau kethoprak. Dalam bentuk demikianlah sastra Jawa hadir sebagai sesuatu yang dekat dengan masyarakat Jawa tradisional di pedesaan.

Sastra Jawa yang sekarang hadir dalam bentuk tertulis, berupa cerita cerkak, geguritan, ataupun novel berbahasa Jawa, merupakan produk yang tak bisa cepat akrab dengan masyarakat pedesaan. Masih belum mengakarnya budaya baca, juga ketaktersediaan bacaan yang mudah diakses, plus mahalnya harga buku dalam ukuran masyarakat desa, membuat bentuk sastra Jawa yang tertulis menjauh dari masyarakat desa. Sebenarnya, kehadiran bentuk sastra Jawa tertulis yang lumrah dijumpai sekarang merupakan hal yang sah dan wajar dalam perkembangan sastra Jawa. Meski bentuk-bentuk teks tertulis itu kini banyak dipengaruhi sastra modern barat, kehadiran mereka adalah bukti bahwa kebudayaan Jawa juga memiliki sifat dinamis dan adaptif.

Sayangnya, dalam konteks masyarakat pedesaan Jawa, bacaan tertulis itu belum banyak diakses sehingga mau tak mau produk-produk itu menjadi terasing dari masyarakatnya—nasib sastra Jawa tertulis ini, nyatanya, mirip dengan sastra modern Indonesia yang memang selalu terpencil dari masyarakat secara umum. Keterpencilan inilah yang menurut Beni Setia bisa diatasi dengan memperkenalkan sastra melalui seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan tradisional Jawa, penonton dari lapisan masyarakat manapun bisa dan sah hadir sebagai penikmat tanpa harus memiliki batas referensial tertentu. Oleh karena itulah, ada hubungan yang intim antara seni pertunjukan dengan masyarakat desa.

Gagasan Beni itu barangkali bukan hal baru, tapi sebenarnya tetap merupakan gugus ide yang menarik. Sayangnya, forum sarasehan pertama tak cukup mampu mengeksplorasinya dengan telaten sehingga penajaman-penajaman atas soal itu tidak terjadi.

Sementara itu, pada saresehan kedua, kondisinya justru makin susah diharapkan. Ketiadaan pembicara utama dalam forum itu menyebabkan pokok pembicaraan bisa berganti dengan sangat cepat dan bisa sangat melenceng jauhnya. Beberapa orang yang didaulat bicara tentang topik-topik yang tak semuanya nyambung, kebanyakan hanya berisi kisah pengalaman pribadi, atau curhat masa lalu yang sama sekali tak ada hubungannya dengan niatan konseptual panitia festival. Seingat saya, hanya Siti Aminah, penulis novel berbahasa Jawa berjudul Singkar, yang pokok pembicaraanya berhubungan, atau malah sama persis, dengan konsep Festival Sastra Jawa dan Desa 2009.

Siti Aminah berbicara mengenai ketakpedulian para pengarang Jawa terhadap kondisi zaman yang berubah, terutama persoalan-persoalan di desa-desa Jawa yang makin kompleks. Menyebut sejumlah masalah, seperti banyaknya kaum muda desa yang pindah ke kota, pelbagai kebijakan pemerintah yang tak memihak orang-orang desa, dan gempuran teknologi yang tak selalu berakibat baik, Aminah bagi saya merupakan pembicara yang mampu menyegarkan suasana. Ia barangkali merupakan potret sastrawan Jawa masa kini yang ideal: masih muda, modis dandanannya, progresif pemikirannya, dan berani. Sayang seribu sayang, pemikiran-pemikirannya juga tak menemui bandingan yang cukup berarti dari para peserta lain. Jadi, apa daya, semua gugatan Aminah kemudian redam dengan sendirinya.

[]

Semua analisis yang saya hadirkan bermuara pada satu kesimpulan: bahwa Festival Sastra Jawa dan Desa 2009 ternyata belum mampu memenuhi niatan konseptualnya yang luhur. Harus diakui bahwa festival itu sebenarnya diadakan dengan tujuan dan konsep yang bagus dan jauh dari klise. Sayangnya, penyelenggaraan festival itu menurut saya tak berhasil memenuhi kebutuhan awal penyelenggaraannya.

Tumbuhnya kedekatan antara sastra Jawa dengan masyarakat pedesaan, yang diharapkan bisa terjadi melalui penyelenggaraan festival, nyatanya hanya merupakan retorika yang gagal digubah jadi kenyataan. Tentu saja, kedekatan semacam itu memang bukan perkara yang gampang diwujudkan. Namun, seandainya festival itu tak mampu secara sempurna menumbuhkan kedekatan sastra Jawa dengan masyarakat karena pelbagai keterbatasan, paling tidak festival itu seharusnya berkonsentrasi sepenuhnya pada eksplorasi gagasan tentang bagaimana menumbuhkan keintiman tersebut.

Eksplorasi ide yang terfokus itulah yang tak terjadi dalam festival kemarin sehingga saya kuatir bahwa sastra Jawa yang sedang kita hidupi sekarang ternyata merupakan sastra Jawa tanpa desa.

Sukoharjo, 9 Agustus 2009
(Tulisan ini dimuat di Buletin Sastra Littera Edisi September-Oktober 2009)

kopipaste saka kene

0 comments: