Sunday, October 4, 2009

Ketika Bahasa Santun Tak Lagi Efektif

Oleh: Jidi

DI kota ini, pola penyampaian pesan sering berada di level dosis tinggi, kasar, bahkan sampai pada ancaman dengan sederet sanksi. Misalnya, pegawai pemkot yang mbolos pada hari pertama setelah Lebaran diancam pecat (Metropolis, 22/9). Akankah fenomena semacam itu menandai menumpulnya daya tangkap kita terhadap pesan yang terkandung dalam komunikasi? Atau, sudahkah tidak efektifkan bahasa santun di kota ini?
Kasus lainnya, kegagalan dewan dalam menangkap kesantunan kode etik profesi telah menjerumuskan mereka ke dalam tindak korupsi, perhelatan dangdut seronok, berkaraoke ria di ruang sidang. Ada juga yang menilap laptop dan ogah-ogahan mengembalikan mobil dinas meski status jabatan harus ditanggalkan. Lihat pula para elite yang rebutan perempuan hingga berbuntut pembunuhan. Meski menjadi berita ala artis, skandal tersebut tetap saja menandakan terjadinya kegagalan dalam menangkap kesantunan pesan moral. Bagi mereka, bahasa santun tak lagi efektif.

Setelah Lebaran ini, selayaknya kita menjadi lebih peka dan cerdas dalam menangkap pesan yang terkemas dalam bahasa santun yang tidak disertai nada cela atau ancaman. Sehingga pola-pola komunikasi menjadi lebih santun dan membawa suasana ramah dan lebih cool. Bukankah sebulan lalu sebagian besar di antara kita telah berlatih kesabaran melalui puasa? Bukankah saat Lebaran kita telah mencapai kesadaran tinggi hingga berebut mengaku salah dan berlomba-lomba meminta maaf, yang juga kita ungkapan dengan penuh kesantunan?

Bila bahasa santun tak lagi efektif, akan makin banyak perilaku bebal dilakukan figur-figur yang tebal muka dan tak peka bahasa. Tidak peduli mereka sosok elite atau rakyat biasa. Penyebabnya, barangkali, makin tipisnya sisi humanitas atau hilangnya rasa guyub. Atau, jangan-jangan ke-bonek-an itu disebabkan hilangnya urat malu yang terjadi secara kolektif. Bila kehilangan urat malu tidak disadari, bisa saja kebebalan, rasa jemawa, dan arogansi menjadi tren sosial yang dimaklumi.

Problem hilangnya rasa peka bahasa dan kebebalan tampaknya dapat menjangkiti siapa saja, baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi, yang awam maupun elite. Bisa rakyat, pejabat, magister, doktor, bahkan profesor. Buktinya, hingga sekarang tidak sedikit level-level elite yang meringkuk menjadi pesakitan setelah menikmati banyak fasilitas wah dan dielu-elukan.

Mengapa mereka berada pada ranah kegagalan memahami bahasa santun? Bukankah mereka telah terlegitimasi sebagai elite yang jelas-jelas pintar? Tampaknya, mereka gagal dalam memahami substansi dan lumpuh dalam menemukan pesan ekstrinsik yang tersirat dalam bahasa santun. Indikasinya, masih seringnya muncul berita baku olok, baku hujat, bahkan baku pukul gaya preman dalam forum-forum sidang, kongres, atau rapat-rapat.

Di level masyarakat bawah, penggunaan bahasa kasar yang menyiratkan ancaman juga banyak terjadi. Di gang-gang kota, mudah ditemukan tulisan-tulisan verbal semacam dilarang kencing di sini kecuali anjing, ngebut benjut, nubruk remuk, dan semacamnya.

Bentuk ekspresi lainnya adalah maraknya polisi tidur sebagai penghambat laju kendaraan yang lewat dan pemancangan palang jalan (portal) untuk menghadang orang yang datang. Meski itu dilakukan dengan alasan keamanan, sulit untuk tidak mengatakannya sebagai simbol rasa memiliki (sense of belonging) yang berlebihan.

Namun, mereka tidak selalu layak disalahkan. Sebab, dengan ungkapan bahasa yang santun, para pengguna jalan sering tidak menggubris. Sosiologi bahasa (sosiolinguistik) dan psikologi bahasa (psikolinguistik) seakan cukup sebagai ilmu di fakultas bahasa. Di masyarakat, ilmu tersebut semakin tidak laku.

Pada era yang serbasains dan teknologi seperti sekarang, seolah tak dibutuhkan lagi penggalian sisi ekstrinsik bahasa santun, yang sebenarnya lebih mencerdaskan hati dan mengasah kepekaan rasa penggunanya. Bila kawan mengatakan bahwa bandeng Sidoarjo lezat, masih adakah respons oleh kawannya yang asal Sidoarjo dengan membawakan beberapa ekor bandeng pada kesempatan lain? Pada komunikasi tersebut, yang satu berbahasa santun, sedangkan yang lain peka bahasa, sehingga dapat menangkap pesan di balik bahasa verbal yang disampaikan. Bila dapat seperti itu, alangkah indahnya.

Tindak berbahasa akan menampilkan kinerja, bukan hanya pikiran (otak), tapi juga perasaan (hati). Bila bahasa santun tak lagi efektif, orang akan terjebak pada penggunaan pola-pola bahasa komando yang tak punya ruang untuk ditafsirkan secara cerdas dan kreatif. Yang ada terbatas pada ya atau tidak atau "siap, laksanakan!" Bisa terjadi kelesuan proses dialogis dan matinya retorika. Bisa pula merebak penggunaan bahasa pisuhan atau umpatan.

Sebagai bagian dari sistem budaya, bahasa tetap memerlukan campur tangan penguasa. Tetap diperlukan politik bahasa nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah berkepentingan mengarahkan ekplorasi aspek humanitas bahasa. Pengajaran bahasa tidak cukup sekadar prosedural yang terpancang pada struktur atau bahasa baku. Harus ada orientasi substansial. Sisi impilisit bahasa pun penting diajarkan dan terus digali.

Pendidikan bahasa perlu mengebalikan aspek sosiologi bahasa (sosiolinguistik), psikologi bahasa (psikolinguistiuk), pragmatik, dan nilai rasa bahasa. Diperlukan pula sinergi pendidikan bahasa dengan kecanggihan teknologi.

Mudah-mudahan pascapuasa dan Lebaran, sekaligus menyongsong bulan bahasa, kita lebih memiliki rasa peka bahasa. Harapan kita, bahasa santun akan efektif kembali. Rakyat biasa menjadi halus rasa dan pemimpin makin kaya hati. Siapa tahu dengan peka bahasa, rasa peka krisiss (sense of crisis) kita juga tumbuh. (soe)

*) Pendidik di Al Falah Surabaya

Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

0 comments: