Friday, February 5, 2010

HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” 2010 [1]

Alhamdulillah pada tahun ini untuk ke-22 kalinya Hadiah Sastera “Rancagé” diberikan untuk sastera bahasa Sunda, yang ke-17 kalinya untuk sastera bahasa Jawa, untuk yang ke-14 kalinya untuk sastera bahasa Bali dan untuk kedua kalinya untuk sastera bahasa Lampung. Untuk sastera bahasa Sunda dan bahasa Bali diberikan setiap tahun tanpa putus. Untuk sastera Jawa pernah hadiah untuk karya tidak diberikan pada tahun 1995 karena tidak ada buku sastera yang terbit tahun 1994. Dan untuk bahasa Lampung setelah diberikan sekali (2008), tahun berikutnya tidak diberikan karena tak ada karya sastera yang terbit dalam bahasa tersebut tahun 2008. Seperti diketahui hadiah untuk karya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku yang terbit tahun sebelumnya.

Dalam tahun 2010, Hadiah Sastera “Rancagé insya Allah akan diberikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali dan Lampung. Meskipun masih merupakan kegiatan rumahan, belum menjadi industri yang sesungguhnya, penerbitan buku bahasa Sunda, Jawa dan Bali secara tetap setiap tahun masih berjalan, selalu ada buku karya sastera baik baru maupun cétak ulang yang terbit. Adanya cétak ulang merupakan pertanda bahwa masarakat menyerap buku tersebut. Sayang dalam kasus bahasa Sunda, buku cetak ulang terutama merupakan buku-buku lama terbitan sebelum perang. Hal itu menunjukkan bahwa pembaca buku bahasa Sunda terutama masih orang-orang lama yang ingin membaca lagi buku yang pernah dibacanya sekian waktu yang lampau. Tapi dengan begitu maka buku-buku lama juga dibaca oléh anak-anak muda untuk pertama kali. Dengan demikian mereka mendapat kesempatan untuk mengenal buku-buku yang terbit sebelum meréka lahir sehingga meréka dapat mengikuti perkembangan sastera bahasa ibunya.



Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk sastera Sunda

Dalam tahun 2009, buku bahasa Sunda yang terbit, baik asli maupun terjemahan, baik baru maupun cétak ulang, semuanya ada 30 judul, termasuk 4 judul buku bacaan anak-anak. Namun buku baru hanya 13 judul dan yang bukan terjemahan atau kumpulan karya bersama hanya 4 judul. Di samping itu ada 4 judul buku baru bacaan anak-anak. Cétak ulang ada yang asli (Pangéran Kornél karya R. Méméd Sastrahadiprawira, Perang Bubat, Pamanah Rasa, Putri Subanglarang, dan Prabu Anom Jayadéwata karya Yoséph Iskandar, Ménak Baheula karya Caraka, Kalepatan Putra Dosana Ibu-rama karangan Joehana, Wawacan Panji Wulung karya Moh. Musa, Rasiah Geulang Rantay karya Nanie Sudarma, Onom jeung Rawa Lakbok karya R.A. Danadibrata dan Ngalanglang Kasusastran Sunda karya Ajip Rosidi) dan ada juga yang terjemahan (Pependeman Nabi Sulaéman karya Moh. Ambri). Begitu juga buku baru, ada yang asli (Néléngnéngkung karya Wahyu Wibisana, Di Nagri Katumbiri karya Dédy Windyagiri, Salawé Sesebitan Hariring karya Apung S.W., Sanggeus Umur Tunggang Gunung karya H. Usép Romli H.M., Sastra Sunda Pinilih kumpulan karya pemenang Hadiah Sastera LBSS 2006-2008, Sajak Sunda suntingan Aan Merdéka Permana karya 10 orang penyair, Carita Kriminal dan Carita Mistéri karya Aan Permana Merdéka, Dangdanggula Sirna Rasa, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian dan Asmarandana nu Kami, kelimanya guguritan karya Haji Hasan Mustapa yang diusahakan oléh Ajip Rosidi) dan ada juga terjemahan (Al Hikmah terjemahan Qur’an basa Sunda oléh H. Maryati Sastrawijaya).

Dalam Néléngnéngkung, Wahyu Wibisana mencoba menghidupkan kembali kenang-kenangannya semasa kecil. Judulnya adalah lagu yang sering dinyanyikan para ibu ketika menimang anaknya yang masih bayi. Karena dia dilahirkan dan menjadi besar di kampung, maka yang dikisahkannya adalah kehidupan kampung Sunda di kaki gunung Galunggung, Tasikmalaya. Akhirnya dia meninggalkan kampungnya itu karena bekerja sebagai guru di berbagai tempat dan akhirnya menetap di Bandung, kota yang disebut dalam nyanyian “Néléngnéngkung”. Meski ia mencoba bercerita sebagai anak kecil yang dikisahkannya, namun dalam berbagai hal dia lebih menampilkan imajinasinya setelah menjadi tua (pada waktu menulisnya) misalnya ketika menceritakan bulan puasa.

Di Nagri Katumbiri merupakan kumpulan sajak dan guguritan (puisi tradisi yang bentuknya terikat sebagai pengaruh dari macapat Jawa). Sebelumnya Dédy menerbitkan kumpulan guguritan yang pertama dalam bahasa Sunda) berjudul Jamparing Hariring (1991) dan kumpulan sajak Di Lembur Bulan Dikubur (1992). Dalam sajak-sajaknya apalagi dalam guguritannya, Dédy senang sekali bermain-main dengan bunyi kata-kata yang merupakan purwakanti. Mungkin karena itu para juru tembang Cianjuran memuji guguritan Dédy sebab bagus kalau dinyanyikan. Tetapi purwakanti itu sayang sekali hanya indah bunyinya saja, tidak mengandung bobot isi yang bernas, karena hanya seputar hubungan perasaan lelaki terhadap perempuan. Juga sajak-sajak dan guguritan yang dimuat dalam Di Nagri Katumbiri terasa mengambang dalam permainan kata.

Apung menulis semacam mémoar yang bertalian dengan dunia Tembang Sunda. Dia mémang dikenal sebagai juru tembang Cianjuran terkemuka dan sering menulis pandangan-pandangannya – di samping menulis guguritan untuk tembang. Guguritan yang dia tulis diterbitkan dalam Lagu Liwung Urang Bandung (2006). Dalam Salawé Sesebitan Hariring (Duapuluh lima carik Senandung) dimuat 25 buah karangan berupa pandangan dan pengalamannya selama aktif dalam dunia Tembang Sunda. Caranya menulis menarik dan lancar, isinya pun banyak memberikan informasi baru dan menimbulkan bahan pikiran bagi meréka yang berminat terhadap Tembang Sunda – yang sering tidak terpikir oléh orang lain.

Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Setelah Usia Lanjut) adalah kumpulan cerita péndék H. Usép Romli. Sebelumnya Usép menerbitkan Ceurik Santri (1985), Jiad Ajengan (1993), dan Paguneman jeung Fir’aon (2006), ketiganya kumpulan cerita péndék. Tapi ia juga menulis sajak, antaranya terbit dalam dua kumpulan Sabelas Taun (1979) dan Nu Lunta Jauh (1992). Roman pun dia tulis, yaitu Nganteurkeun (1986) dan Béntang Pasantrén. Dia pun banyak menulis cerita bacaan anak-anak. Selain dalam bahasa Sunda Usép banyak menerbitkan buku dalam bahasa Indonésia.

Ada sembilan cerita péndék yang dimuat dalam Sanggeus Umur Tunggang Gunung, melukiskan berbagai masalah yang dihadapi oléh orang Sunda di perkampungan yang dilanda oléh “pembangunan” sehingga oléh tokoh-tokohnya yang sudah “tunggang gunung” (menjelang usia senja) dibandingkan dengan keadaan masa kecil meréka ketika perkampungan masih “utuh”. Bukan hanya alam dan lingkungan saja yang berubah tapi alam pikiran dan kehidupan pun sudah berbéda. Téma yang digarap dalam kumpulan ini sebenarnya tak banyak berbéda dengan yang sudah ditulis Usép dalam karya-karyanya yang lebih dahulu, tetapi lebih matang dan dengan cara yang lebih inovatif. Misalnya yang berjudul “Néangan Pajaratan” (Mencari Makam) adalah kisah yang disampaikan oléh orang pertama. Tetapi sejak awal sampai akhir tidak ada satu kata “kuring” atau pun padanannya tertulis di dalamnya. Usép memanfaatkan secara maksimal sifat bahasa Sunda yang dapat membentuk kalimat tanpa subyék. Hal yang pernah dilakukan oléh Moh. Ambri dalam Numbuk di Sué (1932)

Nada dasar Islam yang menjadi téma umum karya-karya Usép, dalam beberapa cerita dalam Sanggeus Umur Tunggang Gunung dikemukakan secara tidak langsung. Dalam “Lauk Cimanuk” dengan mempertentangkan orang yang berhasil memancing ikan besar dari Cimanuk tapi terpaksa meninggalkan salat sehari suntuk. Dalam “Tawuran” digambarkan kiai dan ustad yang hendak merundingkan jalan pemecahan mengatasi tawuran antar kampung, malah lupa daratan menghadapi hidangan makanan énak. Dalam “Tower” dengan melukiskan keiklasan orang yang memberikan uang simpanan untuk menunaikan ibadah haji kepada tetangga yang lebih memerlukannya. Dalam “Ahli Waris” turunan dukun termashur meninggalkan “pekerjaan warisan” nénékmoyangnya karena melihat perubahan zaman yang tidak cocok lagi dengan perdukunan yang mengandalkan asap kemenyan. Sebaliknya seorang kemenakannya berhasil menjalankan tugas melayani keinginan orang yang datang meminta tolong dengan aktif dalam dunia periklanan. Dan dalam “Kasaktén Abah Suma”, Usép seakan memberikan konfirmasi terhadap ma’unah yang diberikan Tuhan kepada orang tertentu yang benar-benar iklas dan benar-benar merasa sama sekali tak berdaya kecuali atas izin Tuhan.

Dan semuanya diceritakan Usép dengan lancar secara wajar sehingga terciptalah dunia imajinasi yang khas sebagai sastera. Dengan demikian buku sastera Sunda yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat karya adalah

Sanggeus Umur Tunggang Gunung

Karya H. Usép Romli H.M.

Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung

Maka kepada H. Usép Romli H.M., akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Sedangkan yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat jasa karena besar jasanya dalam memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan yang bersifat sosial-politik adalah

Karno Kartadibrata

(lahir di Garut 10 Fébruari, 1945)

Sebagai redaktur (kemudian Wakil Pemimpin Redaksi) mingguan bahasa Sunda Manglé setiap pekan Karno menuliskan pandangannya tentang situasi masarakat, terutama masarakat Sunda, sejak tahun 1977. Dia mencoba mengajak pembaca untuk melihat situasi kelilingnya dengan kritis serta menghubungkannya dengan masa yang lampau atau dengan apa yang terjadi di luar masarakat Sunda. Dengan tulisan-tulisannya itu Karno memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan yang bersifat sosial-politik, sehingga dapat menjadi bukti bahwa bahasa Sunda tidak hanya dapat digunakan untuk menulis sajak dan cerita péndék saja. Meskipun kadang-kadang terjadi pengulangan atau seperti yang kehilangan arah, namun menulis secara tetap dari pekan ke pekan selama puluhan tahun merupakan préstasi tersendiri.

Sebelum bekerja di majalah Manglé, Karno aktif dalam pérs bahasa Indonésia. Dia pernah bekerja a.l. sebagai wartawan sk. Harapan Rakyat, lalu pindah ke mingguan Mimbar Démokrasi, koréspondén Harian Kami, redaktur Prima. Dia juga menulis sajak dalam bahasa Indonésia dan terbit dengan judul Lipstick (1981) dan Parfum ( (1997). Pernah menjadi Sékertaris PP-SS (1979) dan ketua bidang pendidikan LBSS (1994—1998). Menjadi pemrakarsa Pésta Sastera Sunda yang sempat berlangsung tiga tahun.

Kepada Karno Kartadibrata akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 buat jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta). [ana candhake]

0 comments: