Dalam tahun 2009, buku bahasa Jawa yang terbit ada 12 judul, terdiri dari kumpulan guritan yaitu sajak (Gurit Panuwuning Urip karya David Hariyono, Gurit Abang Branang karya Rachmat Djoko Pradopo, Layang Panantang karya Sumono Sandy Asmoro dan Wong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh karya Budi Palopo); sebuah kumpulan cerita péndék (Tembangé Wong Kangen karya Sumono Sandy Asmoro) dan sejumlah roman (Trétes Tintrim, Kunarpa Tan Bisa Kandha, Garuda Putih, Ser! Randha Cocak karya Suparto Brata; Mis, Koncoku Sinarawedi karya Rahmat Ali dan Carang-carang Garing karya Tiwiek SA).
Penerbitan kedua belas buku itu mengisaratkan beberapa fénoména penting: (1) ternyata yang menulis dalam bahasa Jawa tidak hanya meréka yang tinggal di Jawa Tengah dan Timur saja, melainkan juga di Jakarta yaitu Rahmat Ali yang mengawani Dyah Hadaning yang tinggal di Dépok. (2) Kebanyakan buku ternyata terbit di Yogyakarta, walaupun ada yang terbit di berbagai kota lain (Semarang, Surabaya, Malang). (3) Buku yang terbit ternyata kebanyakan karya pengarang Jawa Timur: Suparto Brata (Surabaya, 4 judul), David Hariyanto (Malang, 1 judul), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo, 2 judul). (4) Muncul karya dua orang pengarang yang telah dikenal menulis dalam bahasa Indonésia, yaitu Rachmat Djoko Pradopo dan Rahmat Ali dalam bahasa Jawa untuk pertama kali.
Hal itu membuktikan bahwa sastera Jawa tak perlu ditakutkan punah karena pendukungnya berada di berbagai daérah dan berbagai kalangan. Pengarang seperti Suparto Brata sangat produktif, setiap tahun niscaya ada bukunya yang terbit dan tidak hanya satu judul dan buku-buku itu yang berupa cerita detéktif digemari pembaca. Roman Rahmat Ali Mis, Kancaku Sinarawedi mempertentangkan watak kawannya yang ketika kecil bandel, licik tapi segar dan ceria penuh keakraban dengan keadaannya ketika kelihatan sangat tua, sakit, miskin dan rapuh. Penggunaan dialék Jawa Timuran dalam keutuhan cerita terasa mengganggu pemahaman pembaca.
Dalam romannya Carang-carang Garing, Tiwiek SA mengisahkan pengayuh bécak yang membunuh kemenakannya sendiri agar hidup anaknya dalam keluarga adik iparnya tidak terganggu. Sayang ceritanya tidak fokus karena munculnya alur tentang anaknya yang lari dari rumah. Ada kesan ditulis dengan tergesa-gesa.
Cerita-cerita péndék dalam Tembangé Wong Kangen karya Sumono Sandy Asmoro ditulis ketika penulisnya masih muda, bersuasana romantis dan melukiskan dunia kaum muda yang terbatas problim dan kedalaman pemikirannya.
Membaca keempat kumpulan guritan yang terbit tahun 2009, timbul keasyikan yang bervariasi. Dalam Gurit Panuwuning Urip, penyairnya mencari bentuk éksprési untuk setiap gagasan. Misalnya “Aku Iki” adalah pencarian jati diri pemuda yang sedang mencari idéntitas. Dalam pemilihan imaji penyair perlu mempertimbangkan dengan bening. Bentuk éksprésinya yang panjang-panjang sering mubadzir karena mengaburkan ésénsi. Meskipun demikian ada beberapa guritan yang bagus seperti “Gurit Panuwuning Urip”, “Hanaa Sira”, “Isih kaya Biyén, Jiwamu” dan “Wisa”.
Geguritan Abang Branang adalah karya penyair bahasa Indonésia yang menjadi gurubesar sastera di UGM. Guritan yang dimuat dalam kumpulan itu, ditulis sejak 1960-an sampai 2008. Dengan gaya yang ringan, dia mengemukakan kesan dan kritik terhadap kehidupan yang kompléks. Secara keseluruhan guritan dalam kumpulan ini énak dibaca, terutama yang péndék-péndék seperti “Nyekar”, “Yén Srangéngé Ngangkat Segara” dan “Ibu Kondur”. Tetapi kadang-kadang muncul juga kata-kata bahasa Indonésia bahkan Inggris.
Dalam Layang Panantang, penyairnya menunjukkan keberanian memilih dan merambah pengalaman berbagai jiwa dengan téknik éksprési yang tepat, sering dalam bentuk épigram (“Épigram Kacu Wungu”, “Épigram Jingga”, Épigram Ésuk”) atau dengan latar yang sangat Jawa (“Sokalima 2006”, “Pupuh Pamitan”, “Kembar Mayang”, “Pupuh Palaran”). Semuanya dengan kasadaran bahwa keindahan harus selaras dengan bobot pikirannya. Sejumlah guritan menggunakan tipografi, tata ruang, tata larik yang sengaja dibuat simétris untuk mengajak pembaca “masuk” ke ruang pikiran penggurit dan memberinya makna sendiri.
Secara keseluruhan Wong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh digarap dengan dasar oralitas perpuisian Jawa yang kuat sehingga sebagian besar indah dibaca dan beréfék mantera. Namun banyak kata yang digunakan amat individual sehingga menimbulkan “kegelapan” dalam penafsiran. Misalnya guritan “Suluk Pagunungan”, “Sastera Géndra” dan beberapa lagi. Namun ada guritan yang sangat menarik, misalnya “Kembang Geni”, “Trumpah Lars”, “Srengéngé”, “Sun Tulup Biruné Langit”, dan “Wiji Thukul”.
Setelah dipertimbangkan dengan saksama, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk karya, diberikan kepada
Layang Panantang
Karya Sumono Sandi Asmoro
(Terbitan Balai Bahasa Surabaya)
Sedangkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk jasa diberikan kepada
Bonari Nabobenar
(lahir di Trenggalék, 1 Januari 1964)
Bonari sejak duduk di bangku sekolah punya perhatian besar terhadap sastra. Dia lulusan IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya) jurusan Bahasa dan Sastera Indonésia. Dia aktif dalam diskusi-diskusi baik tentang sastera Jawa maupun sastera Indonésia, di kampus maupun di luarnya. Dia aktif dalam Sanggar Triwida. Setelah lulus dia mengembangkan sastra Jawa di daérah kelahirannya, Trenggalék, Jawa Timur. Dalam tahun 1993—1994 bersama beberapa orang kawannya dia melakukan gerakan kesasteraan dengan bendéra “Révitalisasi Sastera Pedalaman”.
Sebagai lulusan IKIP, dia pernah menjadi guru SLTP swasta, tapi minatnya lebih condong ke dunia sastera dan jurnalistik, antaranya menjadi redaktur Jawa Anyar (Solo). Sekarang dia menjadi redaktur X-file.
Mula-mula dia menulis sajak (guritan), cerita péndék maupun ésai yang dimuat dalam berbagai média bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat., Mekar Sari dan Jaka Lodang. Sementara itu karya-karyanya yang berbahasa Indonésia dimuat dalam Surabaya Post, Suara Indonésia, Jawa Pos, Wawasan, Horison, dll.
Sekarang Bonari menjadi Ketua PPJPS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) dan dalam beberapa tahun terakhir menjadi fasilisator penulisan kréatif tenaga kerja wanita Indonésia di Hongkong. Hasilnya telah terbit beberapa karya fiksi pengarang wanita muda dari komunitas TKI di Hongkong. Bonari juga menjadi penggerak penyelenggaraan Kongrés Sastra Jawa I (2001) di Solo dan Kongrés Sastra Jawa II (2006) di Semarang, menjadi penyelenggara Féstival Sastra Jawa dan désa (2009), dll.
Maka kepada Bonari Nabobenar akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Jawa untuk jasa, berupa piagam dan uang (Rp,. 5 juta). [ana candhake]
nggalek.co
9 years ago






0 comments:
Post a Comment