Wednesday, April 28, 2010

Generasi Muda Tak Minati Sastra Etnik

BINCANG-BINCANG SASTRA EDISI KE-55


PERKEMBANGAN sastra etnik di Indonesia mulai melambat. Tidak lagi diminati generasi muda, malah mulai tersingkir dan tersungkur dibalik pembangunan bangsa. Padahal sastra mengandung banyak nilai-nilai kehidupan.


Hal tersebut mengemuka pada Bincang-bincang Sastra Edisi 55, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta, berjudul Kebangkitan Sastra Etnik, di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (25/4).

Selain itu bagi sebagian sastrawan, sastra itu lugas, tanpa tedeng aling-aling dan digunakan sebagai perlawanan pada kondisi yang terjadi saat itu. Namun, pemerintah tidak begitu peduli terhadap salah satu bentuk kebudayaan tersebut sebagai esensi dari negeri ini. Mereka hanya fokus pada politik dan ekonomi.

Hampir serupa seperti yang diungkapkan salah satu pembicara Drs Ahmadun Yosi Erfanda MSi, bahwa sastra dan budaya etnik mulai terpinggirkan. Itu bisa dilihat sedikitnya media yang bisa digunakan untuk mengapresiasikan kreativitas sastra. Meskipun sebenarnya, sebagai etnis Jawa lebih beruntung dibandingkan sastra Betawi. Lantaran penutur sastra Betawi sudah meninggal dan secara politik serta sosial jarang diapresiasikan. Padahal 2-4 tahun lalu masih hidup secara lisan.

Untuk itulah, jika tidak digairahkan sejak dini, maka sastra etnik, tidak hanya Betawi yang akan hilang. "Ya, semoga kegiatan ini benar-benar diniatkan sebagai awal kebangkitan sastra etnik," katanya.
Selain itu, kebudayaan selalu menempel pada kekuatan politik yang dominan. Misalnya, sudah menjadi kesepakatan bahwa sejak Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia digunakan sebagai pemersatu. Mulai saat itulah, sastra Indonesia menguat dan sastra etnik tersingkirkan.

"Padahal jika politik global menguat dan ada kebudayaan yang menempel di dalamnya, maka sastra Indonesia akan terpinggirkan. Contohnya, generasi muda Malaysia lebih menyukai sastra Malaysia yang menggunakan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Melayu. Ini tak lepas peran bahasa Inggris sebagai bahasa global," tutur Ahmadon.

Meskipun begitu, sastra etnik sebenarnya ada peluang untuk bisa lebih berkembang sejak adanya otonomi daerah. Itupun jika pemimpinnya peduli. Namun, yang kerap terjadi kebijakan pemerintah pusat dan daerah kadang masih tumpang tindih.

Sementara Dra Dad Murniah MHum dari Pusat Bahasa Kemendiknas mengatakan, sebenarnya, sastra etnik tidak terpinggirkan. Hanya agak terkelompokkan karena beberapa pihak tidak paham akan makna dari bahasa yang digunakan. Karena itu, perlu pendampingan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai terjemahan. (*-3)- m


Kedaulatan rakyat, 27/04/2010

0 comments: