Menarik sekali membaca artikel Sudartomo Macaryus ‘Hari Bahasa Ibu dan Kongres Bahasa Jawa’ (KR,12/2/2010). Artikel itu mengingatkan kita, tak lama lagi masyarakat Jawa punya hajatan besar Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Kongres V itu berlangsung pertengahan 2011 di Surabaya Jawa Timur. KBJ IV 2006 di Semarang baru saja usai. Pemda Jatim kebagian sampur sebagai tuan rumah tentu telah mempersiapkan segalanya: anggaran, program, strategi dsb.
Menarik sekali membaca artikel Sudartomo Macaryus ‘Hari Bahasa Ibu dan Kongres Bahasa Jawa’ (KR,12/2/2010). Artikel itu mengingatkan kita, tak lama lagi masyarakat Jawa punya hajatan besar Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Kongres V itu berlangsung pertengahan 2011 di Surabaya Jawa Timur. KBJ IV 2006 di Semarang baru saja usai. Pemda Jatim kebagian sampur sebagai tuan rumah tentu telah mempersiapkan segalanya: anggaran, program, strategi dsb.
Kalau dicermati, tak ada yang kurang pada KBJ sebelumnya. Sebagai hajatan rutin lima tahunan, kongresnya berlangsung lancar, dihadiri sekitar 1.000 orang, di akhir kongres pun ditelorkan sekian keputusan/rekomendasi yang bagus/instruktif. Hanya saja, dari kongres ke kongres, keputusan/rekomendasinya sebagian masih senada. Realitas ini membuktikan implementasinya tak berjalan sesuai harapan. Pertanyaannya, apakah keputusan/rekomendasi itu terlalu mengawang sehingga Pemda sulit menerjemahkan dan sulit melaksanakannya?
Kalau begitu, mumpung waktunya masih 1,5 tahun, kini perlu ada evaluasi kritis terhadap arah, kebijakan, hasil rumusan dll. Evaluasi ini, misalnya, dapat dilakukan lewat lokakarya, seminar atau rapat kerja. Evaluasi ini hendaknya didasari oleh laporan sejauh mana Pemda (Jatim, Jateng, DIY) telah melakukan tugas dengan baik dan sejauh mana masyarakat menerima manfaatnya. Dari evaluasi itu diharapkan dijaring masukan bagi panitia sehingga KBJ V dapat menelorkan putusan yang aplikatif dan membuahkan produktivitas.
Di luar masalah itu, kita dapat menelusur apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat. Di ranah pendidikan, misalnya, selama ini keberadaan bacaan bahasa Jawa bagi siswa (buku pelajaran, penunjang, majalah, karya-karya sastra) belum tercukupi. Karena itu, pada KBJ mendatang masalah pengadaan buku bacaan perlu menjadi putusan/rekomendasi prioritas. Kalau sudah menjadi putusan, Pemda dapat mengimplementasikannya dengan mengakomodasi para penulis, sastrawan, penerbit dan pihak-pihak terkait lainnya.
Bentuk pengakomodasian itu misalnya dapat berupa sayembara penulisan buku pelajaran, buku penunjang dan buku karya sastra (novel, puisi, cerpen) dengan tim penilai independen. Karya-karya yang menang lalu direproduksi besar-besaran dan disebarluaskan ke sekolah. Kalau perlu, karya-karya pemenang itulah yang di-launching di kongres. Hal ini sekaligus merupakan bentuk kepedulian pada sastrawan Jawa sehingga, sebagaimana terjadi pada KBJ sebelumnya, tidak terjadi adanya ‘kongres tandingan’.
Selain itu, di sekolah atau di instansi juga belum tersedia buku-buku referensi, pedoman dan panduan sebagai penunjang kemampuan berbahasa Jawa. Akan sangat baik jika kewajiban berbahasa Jawa pada hari tertentu di sekolah dan instansi dibarengi dengan penyediaan buku-buku itu. Buku-buku itu pun kini sudah ada: Kamus Bahasa Jawa (2001), Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2001, 2006) dan Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (2001, 2006) susunan Balai Bahasa Jogja. Selain itu, untuk siswa juga sudah ada buku Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern (2001), Glosarium Sastra Jawa (2007) dan Ensiklopedi Sastra Jawa (2010).
Kalau buku-buku itu direproduksi massal dan disebarluaskan ke berbagai instansi dan sekolah, tentu harapan masyarakat akan terpenuhi. Hanya sayangnya, sampai kini, buku-buku itu belum tersebar karena tiadanya biaya penerbitan.
Sebagian memang sudah diterbitkan swasta, tapi realitas menunjukkan pasar buku bahasa Jawa tak menarik minat pembeli. Karena itu, perlu tindakan nyata dari Pemda karena menurut UU No 24/2009 pasal 42 memiliki kewajiban membina, mengembangkan dan melindungi bahasa dan sastra daerah (Jawa).
Untuk membangun daya pikat generasi muda, mestilah bahasa, sastra dan budaya Jawa perlu dikemas dengan sarana teknologi canggih. Agaknya kita perlu belajar dari munculnya Melayu Online. Kalau Melayu Online dapat dikembangkan dengan baik, agaknya Jawa Online juga dapat dibuat dengan baik, bahkan lebih baik. Sebab, Laman (web) Jawa Online itu tidak hanya dapat diisi bahasa, sastra dan budaya Jawa secara umum, tapi juga buku pelajaran untuk siswa di sekolah, pedoman nilai, tuntunan perilaku (unggah-ungguh) dan sejenisnya. Bukankah masalah laman bahasa Jawa ini sebenarnya telah menjadi salah satu keputusan dan rekomendasi KBJ IV?
Itulah, antara lain, beberapa hal yang patut menjadi perhatian para pemegang kendali dan penyelenggara KBJ V di Surabaya. Kalau kita berharap agar KBJ mendatang tidak hanya terkesan menjadi ‘upacara ritual rutin’, perlu dicari cara yang tepat sasaran dan perlu ditelorkan keputusan dan rekomendasi yang realistis dan mudah diterjemahkan/dilaksanakan. Hanya saja, semua itu memang perlu ada komitmen yang kuat. Dan komitmen itu perlu terancang dalam Rencana Strategis Pemda (Jatim, Jateng, DIY) yang didukung pula oleh wakil rakyat. Semua itu tak lain agar harapan besar terhadap KBJ V benar-benar jadi kenyataan. q – o
*) Drs Tirto Suwondo MHum, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta.
Kedaulatan Rakyat, 21/03/2010 05:37:06
nggalek.co
8 years ago
0 comments:
Post a Comment