Riwayat
Ketika Konggres Basa Jawa (KBJ) kali pertama digelar di Semarang (1991) entah sudah dijadwalkan oleh panitia ataukah lebih merupakan spontanitas, terjadilah acara pertemuan pengarang sastra Jawa peserta KBJ I itu, pada suatu malam seusai ”sidang resmi”. Walau sama-sama berlokasi di Hotel Patra Jasa, Semarang, pertemuan sastrawan Jawa itu tidak bertempat di ruang kongres, melainkan di sekeliling kolam renang hotel berbintang lima tersebut.
Sambil minum kopi, teh, dan menikmati aneka macam jajanan, para pengarang/penulis Jawa itu bergantian memegang mikrofon, berdialog, membahas berbagai persoalan sastra atau dunia penulisan Jawa. Saking geyeng-nya pembicaraan di malam yang indah itu, lalu ada yang menilai bahwa pembicaraan yang terjadi di dalam suasana kangen-kangenan itu justru lebih esensial dan bernas daripada sesi persidangan resminya. Kesemarakan pertemuan antara para sastrawan Jawa itu makin sempurna ketika pada kesempatan berikutnya di Taman Budaya Raden Saleh digelar acara Parade Baca Guritan. Saya lupa namanya, ada peserta KBJ dari negara lain ikut terlibat membacakan sebuah puisi asing yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Peristiwa seperti itu tidak terulang di KBJ II (Hotel Purnama, Batu, 1996). Tetapi, beberapa tokoh mengadakan pertemuan spontan di sebuah kamar yang ditempati tiga orang: D Zawawi Imron, Tamsir AS (Ketua Yayasan/Sanggar Triwida), saya. Berjubel di ruangan itu: D Zawawi Imron, Tamsir AS, JS Sarmo (Suriname), Esmiet, Hasan Senthot (saat itu masih reporter SCTV), Keliek Eswe, Bambang Sadono (saat itu Pimred Suara Merdeka), Poer Adhie Prawoto, dan Roeswardiyatmo dan entah siapa lagi terlewat dari ingatan saya. Itu bukan forum resmi, karenanya juga tanpa daftar hadir dan notulensi pembicaraan.
Walaupun tidak termasuk agenda resmi KBJ II, banyak hal esensial mencuat di dalam pembicaraan tersebut. Misalnya, Bambang Sadono mengemukakan gagasanuntuk membuka lembar basa Jawa ing Suara Merdeka, yang ternyata segera ditindaklanjuti dan bahkan bisa kita saksikan hingga sekarang. Esmiet berkali-kali mengemukakan perasaan kecewanya karena melihat banyak pengarang/penulis Jawa tidak datang di dalam acara yang sangat bergengsi itu. Dengan gayanya yang meledak-ledak, Esmiet menuding peserta dari unsur dinas (instansi pemerintah), terlalu banyak. ’’Sampai tukang kebun pun dihadirkan sebagai peserta kongres,’’ demikian gaya Esmiet meledek.
Selain soal peserta, makalah-makalah kongres yang dirasa kurang (walau ada) bisa memberi ruang untuk menelorkan kebijakan/strategi berkaitan dengan keadaan Sastra Jawa Modern juga jadi pembicaraan. Khusus mengenai hal ini, agaknya KBJ V sudah melakukan hal yang bagus dengan memasang tema: ”Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Pembentuk Watak dan Pekerti Bangsa” walau kenyataannya nanti juga mungkin terjadi hal mengejutkan, sebab niat baik itu tampaknya belum disambut dengan baik oleh para pemakalah, yang sebagian (terlalu) banyak justru masih memilih mengupas (ulang?) ”Sastra Jawa Klasik” dengan mengambil naskah-naskah lama/kuna sebagai bahan kajian.
Dari tumpukan rasa kecewa itulah maka menjelang KBJ III (Ngayogyakarta, 2001), saya mengusulkan agar para pengarang, penggurit (penyair Jawa), serta para pihak yang menaruh perhatian besar terhadap Sastra Jawa Modern menggelar kongres sendiri, Konggres Sastra Jawa. Dengan demikian tidak pula harus menaruh rasa cemburu terhadap KBJ, sebab namanya pun adalah Kongres Bahasa Jawa, bukan Konggres Sastra Jawa. Bukankah tidak ada masalah, ketika ada Kongres Bahasa Indonesia, dan di tempat lain ada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI), ada pula Kongres Himpunan Sarjana kesusasteraan Indonesia (HISKI), bahkan juga Kongres Cerpen Indonesia? Sekali lagi, yang saya tawarkan ketika itu adalah Konggres Sastra Jawa, bukan ”Kongres Bahasa Jawa Tandhingan” seperti yang ditawarkan Ketua Sanggar sastra (Jawa) Triwida, Sunarko Budiman, melalui tulisannya yang ketika itu dimuat majalah Panjebar Semangat.
Tetapi, yang kemudian terujud ternyata adalah KSJ, yang hingga kini sudah digelar untuk yang ketiga kalinya itu. Pertama di Taman Budaya Surakarta (sekarang: Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, 2001), kedua di Sanggar Paramesthi, Kompleks Kampus Unnes (Sekaran, Semarang, 2006), dan yang ketiga di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. [bersambung]
0 comments:
Post a Comment