Friday, March 2, 2012

Konggres Sastra Jawa: Mengelola Energi Amarah dan Kekecewaan [2]

Dukungan dan Penolakan

Daniel Tito, Ketua Panitia KSJ I

KSJ I diikuti, seingat saya hanya delapan puluh sekian orang, digelar di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, 7 – 9 Juli 2001. Itu hanya berjarak 2 pekan sebelum KBJ III di Yogyakarta, 15-21 Juli 2001. Dan pemberitaan pun ramai, menyebut-nyebut KSJ sebagai menandingi KBJ. Padahal, jika dilihat postur masing-masing, jumlah peserta, jumlah pembicara, lebih-lebih jumlah biaya, serta kegagahannya, jelas jauh dari pantas untuk dipakai istilah ”tandingan.”


Media, pemberitaan, juga sering menyebut istilah ”kecewa” dalam pengertian: kekecewaanlah, kekecewaan terhadap KBJ, dalam soal rekruitmen peserta yang kurang mengakomodasi sastrawan Jawa Modern, ruang sidang yang dipenuhi kajian terhadap naskah-naskah lama/klasik dan terlebih-lebih didominasi kajian linguistik seperti di ruang-ruang kuliah, serta tindak lanjutnya yang terasa sangat sepi, yang mendorong digelarnya KSJ.

KSJ I pun kemudian mendapatkan dukungan dari banyak pihak, para tokoh, baik dari dalam maupun dari luar Sastra Jawa Modern. Setelah para penggagas mematangkan rencana di rumah Roeswardiyatmo di kawasan Tirtonadi, Solo, panitia pun dibentuk, dan Arswendo Atmowiloto pun dihubungi untuk mendapatkan dukungan bukan hanya semangat, melainkan juga dana. Lalu diputuskan pula untuk menghubungi Murtidjono, Ketua TBS ketika itu, dan ternyata sambutannya juga sangat bagus. KSJ diberi fasilitas tempat, untuk menggelar acara sekaligus menginap para peserta selama 2 hari itu secara gratis! Saya selalu kecut ketika iseng berandai-andai: ”Seandainya Ketua TBS waktu itu bukan Pak Moertidjono!”

Arswendo pun menyambut baik. Ia memberikan dana untuk penyelenggaraan konggres, menjadi narasumber tanpa honor, dan malahan masih menawari untuk membiayai barang 3 – 4 edisi penerbitan majalah (cetak) Sastra Jawa. Sempat diitung-itung, akan habis dana sekitar Rp 40 juta waktu itu. Nama majalahnya pun sudah diangan-angankan, kalau tak salah ingat; Sekarjawi –kini dipakai untuk menamai rubrik berbahasa Jawa di Majalah Genta yang diterbitkan oleh Daniel Tito (Ketua Panitia KSJ I).

WS Rendra pun, yang kebetulan waktu itu memboyong ”Bengkel Teater-nya ke Solo, sempat memberikan sesorah-nya, lagi=lagi, tanpa imbalan. Juga hadir dan memberikan dukungan moral untuk KSJ I adalah N Sakdani Darmo Pamoedjo tokoh pers yang pernah menerbitkan Darma Nyata, Pana Kawan, dan Jawa Anyar. Ada pula Suparto Brata, JFX Hoeri, dan lain-lain. Pendek kata, para pengarang Sastra Jawa Modern lintas generasi hadir di sini. Menjelang KSJ I digelar, stempel dan berkas AD/ART OPSJ (Organisasi Pengarang Sastra Jawa) diserahkan oleh Suparto Brata kepada Keliek Eswe (Sugeng Wiyadi). Entah mengapa saya lupa kisahnya, tetapi niat dan realisasi menghidupkan kembali organisasi (OPSJ) yang puluhan tahun mati suri itu baru terujud pada saat digelar KSJ II (Semarang, September 2006). Dan karena biaya cetak yang melambung seiring harga kertas dan beberapa faktor lain, tantangan dari Arswendo untuk menerbitkan majalah sastra Jawa, semacam Horison-nya Sastra Indonesia itu, pun urung.

Dengan gagalnya memulai penerbitan majalah sastra itu, KSJ I memang boleh dibilang masih sepi tindak-lanjut. Tetapi jika ditilik dari berlipatgandanya modal soaial, terkonsolidasinya para pengarang Sastra Jawa yang sudah puluhan tahun tidak memiliki forum pertemuan yang bergengsi seperti yang pernah dibangun Gendon Humardani melalui PKJT (Pusat Kebudayaan Jawa Tengah), dan reaksi Panaitia KBJ III yang secara mendadak mengakomodasi/mengundang sejumlah pengarang yang semula tidak masuk daftar undangan, sesungguhnya KSJ sudah boleh dinilai sukses. Persoalannya kemudian, adalah bagaimana mengelola modal sosial itu secara bersama-sama.

Dalam perjalanannya, ternyata beberapa nama tokoh muda (Sunarko Budiman, Sumono Sandy Asmoro, Widodo Basuki), menarik dukungannya terhadap KSJ. Hal itu dapat diketahui dari tulisan-tulisan mereka di media cetak, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa, bahwa KSJ tak ubahnya dengan KBJ, yang tidak berdampak apa-apa terhadap pertumbuhan dan perkembangan Sastra Jawa Modern. Belakangan, penilaian senada juga datang dari seorang tokoh besar dalam Sastra Jawa Modern, Djayus Pete, yang menulis di dinding Grup Wong Jawa Njawani (Facebook) seperti berikut ini:

’’Lha nggih mangga dipunpirsani kemawon, asil positipipun kongres sastra kados pundi? Gek sampun lumampah kaping III. Menapa sastra Jawa lajeng saged mekar ngrembaka lan mutu penulisan sastra Jawa lajeng saget mindhak ngedab-edabi? Paling mboten, wekdal kongres, menapa wonten makalah ingkang isinipun saged nggelak peningkatan kreatifitas pengarang sastra Jawa kangge indhaking mutu sastra? mBoten namung wujud panggresah kemawon perkawis basa lan sastra ingkang ngenes gesangipun. Menawi namung kojah mrosoting basa Jawa kemawon, menika sampun klise, riyin mula sambate para pemakalah nggih ngoten niku. Kirang wonten materi makalah ingkang sigrak saged nggelak kreatifitas kepengarangan. Mila kula piyambak inggih wegah ndugeni kongres (maksudnya adalah KSJ III, Bon) ngoten niku menawi mboten saged ndamel indhake kawruh. Bares kemawon, kula menika tiyang cubluk, gek wonten ndhusun celak wana, kirang sekolah. Ingkang kula padosi nggih ilmu ingkang mupangati.’’ [October 31 at 10:28pm]. 



Djayus Pete

Terjemahan bebas saya untuk pernyataan Djayus Pete itu adalah seperti ini: ’’Mari kita lihat hasil positif kongres itu bagaimana? Padahal sudah berjalan ketiga kalinya. Apakah sastra Jawa lalu dapat berkembang dan kualitas sastra Jawa maju pesat mengagumkan? Setidaknya, saat kongres, apakah ada makalah yang isinya dapat melecut kreativitas pengarang sastra Jawa untuk peningkatan mutu sastra yang hidupnya memprihatinkan. Jika hanya omong soal kemerosotan sastra Jawa, itu sudah klise, sejak dulu keluhan para pemakalah ya seperti itu. Kurang ada materi makalah yang bersemangat dan merangsang kreativitas kepengarangan. Maka saya sendiri ya tak sudi mendatangi kongres seperti itu jika tidak dapat meningkatkan pengetahuan. Jujur saja, saya ini orang sedikit pengetahuan, kurang bersekolah. Yang saya cari ya ilmu yang bermanfaat.’’ [bersambung]

0 comments: