Pertengahan Desember 2013,
Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Kudus mewawancarai saya, Dhoni Zustiyantoro, terkait upaya pemertahanan bahasa Jawa di era modern. Di
sini, saya hadirkan hasil wawancara berupa catatan. Semoga bermanfaat.
---------------------------------------------------------------------------
Bapak
Dhoni Zustiyantoro, pegiat
budaya Jawa, penulis di rubrik
"Pamomong" berbahasa Jawa Suara Merdeka,
1)
Bagaimana
Anda menilai sejarah perkembangan bahasa Jawa hingga kini?
Bahasa Jawa sebenarnya sudah sangat berkembang. Salah
jika mengatakan bahasa ini kuno dan ketinggalan zaman. Bahasa Jawa sebagai
produk kultural budaya Jawa telah mampu berakulturasi dengan bahasa dan budaya
lain di luar Jawa.
Penduduk asli Jawa yang tak hanya tersebar di berbagai
pelosok negeri ini, tetapi juga di negara
lain, sebut saja Malaysia dan Suriname, punya andil dalam tumbuh-berkembangnya
bahasa Jawa. Daerah sebaran penutur yang sangat luas
ini menyebabkan konsekuensi dari munculnya berbagai dialek geografis. Sementara
itu, dilihat dari beranekanya lapisan masyarakat yang memakainya, sangat
menonjol pula adanya perbedaan pemakaian yang dipengaruhi oleh usia pemakai.
Perbedaan yang menonjol ini tampak jelas manakala mereka
menerapkan unggah-ungguh dalam
berbahasa Jawa. Salah satu bentuk unggah-ungguh
yang sangat penting adalah pemilihan ragam tingkat bahasa Jawa ngoko dan krama di dalam berkomunikasi
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kelas sosial, usia, jenis
kelamin, topik pembicaraan, dan lain sebagainya.
Hal yang kurang tepat jika kita punya persepsi bahwa
bahasa Jawa yang “standar” itu gaya Surakarta dan Yogyakarta. Karena bahasa
merupakan kesepakatan, ia dituturkan, dikelola, dan dikembangkan oleh
masyarakat pemakainya. Meski kemudian berakulturasi dengan banyak bahasa lain
yang dibawa oleh para pendatang. Kemudian kita tahu, ada bahasa Jawa
semarangan, pesisiran, banyumasan,
ngapak-tegalan, hingga jawa timuran. Semua punya pakemnya sendiri dan berkembang
mengikuti kebutuhan zaman.
2)
Seberapa
pentingkah pelestarian bahasa Jawa ke depan? Mengapa?
Bahasa Jawa mengandung tingkat tutur yang bila diterapkan
secara semestinya, akan secara otomatis mengajarkan ungguh-ungguh. Ilustrasinya seperti ini. Seorang anak yang
berbicara kepada orangtuanya tidak dibenarkan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko dan sudah semestinya menggunakan krama. Dan, mau tidak mau ketika sudah
berbahasa krama, solah bawa pun harus selaras. Posisi badan tidak dibenarkan lebih tinggi
dari yang diajak bicara. Ini adalah wujud betapa ketika bertutur, sikap tubuh
haruslah mengikuti dan selaras. Itu saya katakan “konsep awal” pengenalan unggah-ungguh, menyatu atau nyawiji antara tuturan dan tindakan. Lebih
jauh, dalam budaya Jawa, hal itu tiada lain untuk ngajeni liyan, menghargai sesama. Melalui tuturan dan tindakan yang
baik, sebagai individu, kita hendak “meninggikan derajat” orang yang kita ajak
bicara.
3)
Menurut
Anda, faktor apa yang menyebabkan bahasa Jawa semakin pudar? Siapa saja yang
berperan?
Yang sering disalahkan terkait dengan memudarnya bahasa
Jawa adalah anak-anak dan generasi muda. Mereka sering dianggap tidak bisa atau
tidak mau berbahasa Jawa. Memang, nyatanya dalam pergaulan dan kesehariannya,
terutama bagi yang tinggal di perkotaan, remaja lebih gemar berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan mengimbuhkan banyak istilah asing.
Akan tetapi, sudahkah para orangtua juga mengajarkan
dengan semestinya? Mereka acap menginginkan anaknya berbahasa Jawa dengan halus
dan sempurna, tapi tak lagi secara konsisten memberikan pembelajaran itu dalam
keluarga. Lagi-lagi alasan kesibukan dan banyaknya pekerjaan menjadi faktor
penghambat pendidikan Jawa dan moral ini absen dalam keluarga.
Kemudian, orangtua pasrah sepenuhnya dan memberikan
tanggungjawab ini kepada sekolah dan guru. Ini yang harus dibenahi. Berapa jam
pelajaran bahasa Jawa dalam waktu seminggu? Berapa jam siswa berada di sekolah?
Tentu tidak lebih lama dari saat mereka ada di rumah, bersama keluarga.
4)
Bagaimana
sebaiknya agar masyarakat tetap melestarikan bahasa
Jawa?
Bisa dimulai dari keluarga sebagai bagian terdekat dengan
seorang anak sebagai pewaris dan generasi penutur bahasa Jawa. Selain itu,
berusaha menempatkan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam komunikasi dan
interaksi seluruh anggota masyarakat. Bahasa Jawa juga harus didorong untuk
selalu digunakan sebagai bahasa pengantar informasi, komunikasi, dan edukasi di
masyarakat seperti dalam khotbah keagamaan di tempat peribadatan, rapat-rapat
RT/RW, kegiatan maupun ritual agama dan tradisi, dan dalam kegiatan organisasi
masyarakat.
5)
Bagaimana
peluang bahasa Jawa ke depan?
Setiap tahun di kampus Universitas Negeri Semarang, saya
punya teman-teman baru. Mereka adalah mahasiswa asing yang belajar seni dan
budaya Indonesia melalui sebuah program yang dijalankan pemerintah. Mereka juga
tertarik untuk belajar bahasa Jawa.
Melihat hal itu, betapa bahasa Jawa adalah aset kultural
yang tak ternilai. Bahasa Jawa telah melintas batas, tidak cuma dipakai, dan
pada bagian lain sering dikatakan diuri-uri,
oleh masyarakat lokalnya, tetapi dalam ranah yang lebih luas, bahasa Jawa
dipelajari, dan dicecap beragam kearifannya. Berdasar pengalaman saya bersama
beberapa kawan mementaskan kesenian di Prancis, tahun 2012, juga membuktikan,
apresiasi khalayak asing sungguh luar biasa terhadap aset kultural salah satu
budaya bangsa ini. Bahasa, termasuk seni dan budaya Jawa, sangat punya peluang
untuk mengglobal dan mendunia.
6)
Apa
saja yang menjadi tantangan kelestarian bahasa Jawa?
Ironi justru dicipta sendiri oleh para pemilik asli. Bahasa
Jawa harusnya menjadi identitas dan karakter yang dibanggakan, di mana pun dan
ke mana pun orang Jawa tinggal. Ketika dihadapkan pada realitas global, bahasa
Jawa justru harus hadir untuk mengukuhkan lokalitasnya. Hal ini terkait dengan nilai
dan kearifan yang mungkin mampu menjadi oase di tengah hiruk-pikuk modernitas.
Masalahnya, tak semua orang Jawa punya semangat dan kesadaran ini. Dan, harus
diakui, globalisasi menggiring kita pada pemikiran serba cepat, praktis, instan.
Kita selalu mengklaim tak punya waktu untuk belajar bahasa Jawa yang dianggap
sulit karena mengandung tingkat tutur. Namun tak ada yang tak mungkin. Bila
segenap pihak bersatu untuk mewujudkan pola-pola pelestarian yang jelas,
terarah, dan tertarget, bukan tidak mungkin bahasa Jawa kian mendapat tempat. Menggandeng
pendidik, pemerhati, budayawan, hingga media, adalah bagian dari upaya itu.
7)
Apa
saja dampak negatif dari kian lunturnya budaya tutur bahasa Jawa?
Saya tidak perlu mendikte dan menjelaskan tentang hal
itu, tapi coba kita lihat realitas yang ada dewasa ini. Lewat media kita tahu,
di Jakarta banyak siswa usia sekolah yang beramai-ramai membajak bus, tawuran,
dan melakukan tindakan kriminal lain. Di daerah lain, bocah seusia SD bertindak
asusila dengan menyetubuhi anak TK setelah menonton video porno. Bahkan, tidak
sedikit pula yang bahkan melakukan tindakan itu kemudian merekamnya. Realitas
tersebut adalah bukti bahwa makin lunturnya moral di kalangan remaja sebagai
generasi penerus bangsa, yang tentu dibarengi dengan menurunnya banyak hal yang
terkait dengan pendidikan moral itu sendiri. Saya rasa semua ini saling
berkaitan, tentang hadirnya sikap dan perilaku berbudaya, yang bisa dimulai
dari cara bertutur. Tentu kita tidak berharap ironi ini makin mengakar dan
menjangkiti generasi muda. Caranya? Tiada lain dengan menanamkan kearifan sejak
dini. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu bagi penduduk asli Jawa Tengah, DIY, dan
Jawa Timur, bisa menjadi sarana jitu.
8)
Bagaimana
menurut Anda, peran pendidikan formal terhadap pelestarian bahasa Jawa?
Pendidikan formal, dalam hal ini sekolah, punya andil
besar pada apa yang disebut sebagai pelestarian bahasa Jawa. Dalam upaya ini,
kualitas guru tentu saja menjadi hal yang teramat penting. Menggunakan media
yang menarik dan pembelajaran yang tidak membosankan bagi siswa, menjadi kunci diminatinya
pelajaran bahasa Jawa. Hal ini sebagai upaya supaya pelajaran itu tak jadi
momok di sekolah, membuat bahasa Jawa tak berjarak dengan siswa. Pemerintah dan
perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga pendidik harus berupaya untuk
melakukan peningkatan mutu pembelajaran dan melakukan kontrol kualitas para
guru.
9)
Apa
trik-trik khusus yang Anda lakukan guna melestarikan bahasa Jawa?
Sederhana saja, selalu menggunakan bahasa Jawa dalam
percakapan sehari-hari. Bahasa Jawa akan selalu ada jika selalu digunakan oleh
para penuturnya. Karena nyatanya sekarang banyak orang yang enggan berbahasa
Jawa, meski sama-sama tahu, yang diajak ngobrol
adalah orang yang sama-sama paham bahasa Jawa. Ini tidak salah, tapi dalam
upaya pemertahanan, langkah awal memang selalu menuturkannya. Kesadaran ideologis
untuk itu perlu senantiasa dibiakkan. Tak harus muluk-muluk pakai krama, tapi bisa diawali dengan ngoko. Yang penting keterbukaan dan
kemauan untuk belajar.
10)
Apa
harapan Anda mengenai perkembangan bahasa Jawa?
Bahasa Jawa harus nut
jaman kalakone, mengikuti perkembangan zaman. Bahasa Jawa harus mampu
menyatu dan membaur dalam pasrawungan
global. Dengan cara itulah, bahasa Jawa bakal mampu “diajak berpikir global”,
namun tetap membiakkan kearifan lokal.
11)
Adakah
pesan khusus untuk pemuda Jawa terdidik?
Bahasa Jawa adalah warisan tak ternilai. Sebagai generasi
muda, sudah menjadi kewajiban untuk selalu menjaga dan terus mengadakannya. Ini
adalah tanggung jawab moral. Para pujangga bilang, rum kuncaraning bangsa dumunung aneng luhuring budaya, kebesaran
sebuah bangsa terletak pada luhur budayanya. Kelak, semoga bahasa Jawa tidak menjadi
jejak sejarah, tapi selalu ada, untuk dituturkan, dan dibanggakan sebagai
produk sekaligus aset kultural.
0 comments:
Post a Comment