KONGRES Sastra Jawa II berlangsung di Semarang, Juli 2006. Kongres Sastra Jawa II ini merupakan kesinambungan Kongres Sastra Jawa I tahun 2001 yang lalu dan digelar di Taman Budaya Surakarta.
Seperti diketahui, Kongres Sastra Jawa I yang lalu merupakan refleksi kekecewaan para sastrawan Jawa terhadap eksistensi dan penyelenggaraan kongres-kongres Bahasa Jawa yang telah lewat. Mereka umumnya kecewa, prihatin, tidak puas, bahkan ada yang stres. Sebagian karena tidak diundang. Atau, tidak bisa berperan serta karena alasan ekonomis: biaya pendaftaran yang terlampau tinggi hingga tidak terjangkau oleh kocek mereka. Maklumlah, para sastrawan Jawa kita umumnya bukanlah golongan konglomerat, melainkan kaum kolong... melarat! Mereka berasumsi, kongres-kongres Bahasa Jawa tersebut kurang memperhatikan aspirasi para sastrawan Jawa dan perkembangan maupun kemajuan sastra Jawa. Jadi, boleh dikatakan, kongres Sastra Jawa I merupakan tandingan kongres-kongres Bahasa Jawa yang telah ada.
Apakah Kongres Sastra Jawa II kali ini merupakan tandingan kongres-kongres Bahasa Jawa yang telah ada? Kalaupun memang merupakan tandingan, biarkan sajalah. Ini akan ikut meramaikan perjuangan di kancah sastra Jawa. Karena sebagai kongres, tentu tidak sembarang hal dibahas dan dikupas. Agak berbeda dengan sarasehan, kongres merupakan wadah agung, yakni tempat bertemunya segenap organisasi, dalam hal ini organisasi sastra Jawa.
Penulis hampir dapat memastikan, Kongres Sastra Jawa II nanti akan dihadiri oleh aneka ragam sanggar sastra Jawa yang tersebar terutama di Jawa, seperti: Sanggar Kanthil Semarang, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta, Sanggar Diha Jakarta, Sanggar Sastra Nur Praba, dan Bengkel Sastra Sasanamulya Solo, Grup Diskusi Sastra Blora, Sanggar Parikuning Banyuwangi, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, Sanggar Bening Penulis Muda Semarang, Sanggar Sastra Twidiwa Tulungagung, Parsudi Sastra Jawi Bojonegoro, Sanggar Sastra Rara Jonggrang, dan Gambir Anom Yogyakarta, Sanggar Kalimasada Kutoarjo-Purworejo, Sanggar Sastra Penulis Muda Kudus, Kelompok Pengarang Sastra Jawa Gunung Muria Kudus/Jepara, Sanggar Sastra Tabloid Tegal dan sebagainya.
Para sastrawan Jawa yang sudah banyak malang melintang berkiprah di jagad sastra Jawa tentu juga akan hadir merestuinya. Tidak ketinggalan para redaktur penerbitan media Jawa seperti Pustaka Candra, Pagagan, Djaka Lodang, Mekar Sari, Penjebar Semangat, Jaya Baya, Damar Jati, dan sebagainya, tentu juga akan diundang dan hadir. Ditambah lagi dengan masyarakat peminat seni sastra dan budaya Jawa se-Nusantara, atau bahkan mungkin para pengamat sastra Jawa dari negara lain (Suriname, Belanda, Australia, Amerika Serikat dan sebagainya) lengkaplah sudah perhelatan sastra Jawa nanti.
Panitia Kongres yang sudah dibentuk, tentu sudah mempersiapkan segalanya. Penulis hanya dapat berharap, moga-moga mereka tidak hanya terdiri atas para birokrat, yang kinerjanya terlalu birokratis, hanya mengutamakan kepentingan golongannya sendiri, dan tidak jarang mencari kesempatan dalam kesempitan, alias mendulang di air keruh. Melainkan, mereka adalah para sastrawan Jawa itu sendiri, yang dapat merasakan getar-getir perjuangan menegakkan martabat-nurani wong Jawa, dapat merasakan kebutuhan dasar para sastrawan Jawa, serta dapat menghayati jatuh bangunnya sastra Jawa. Boleh saja para birokrat dan akademikus diikutsertakan, tetapi yang benar-benar mengerti denyut nadi perkembangan budaya Jawa.
Menarik sekali imbauan Keliek SW yang dimuat dalam majalah Damar Jati, No 13 (26/1/2006). Secara ringkas dia mengisyaratkan, bagaimana caranya agar kepribadian bangsa yang selama ini bagaikan dipendam utuh hidup-hidup dapat digali dan diangkat kembali. Bagaimanakah cara agar anak-anak sekolah, yang masih merasa punya darah Jawa tiada kehilangan ruh Jawanya? Yang jelas, mereka amat membutuhkan bacaan berbahasa Jawa.
Penulis oke-oke saja dengan imbauan dan gagasan Keliek SW tentang bagaimanakah cara agar hasil karya sastra Jawa dapat menjelma menjadi buku bacaan istimewa yang setiap hari senantiasa dicari, seperti ketika era roman picisan (panglipur wuyung) generasi Any Asmara. Ini memang merupakan langkah pertama dimulainya apresiasi sastra Jawa. Seperti pernah penulis kemukakan di Penjebar Semangat dan Djaka Lodang beberapa waktu lalu, apresiasi sastra Jawa akan berjalan dengan baik, apabila pada diri sang penghayat atau pembaca sudah ada kesadaran tentang manfaat bacaan karya sastra Jawa. Masalahnya adalah, siapakah yang berani membiayai penerbitan sastra Jawa seperti itu? Seperti disadari bersama, menerbitkan karya-karya sastra Jawa boleh dikatakan merupakan proyek terlalu idealistis, proyek untuk merugi. Contoh konkretnya, kasus di bawah ini. Belasan tahun silam, penerbit Cenderawasih Sukoharjo sangat gencar menerbitkan buku-buku berbau Sastra Jawa: lagu-lagu anak-anak (lagu-lagu dolanan), cerita wayang/pedalangan, langgam Jawa/keroncong, nasihat bagi pamedhar sabda (MC bahasa Jawa), cerita rakyat, gending-gending Jawa dan sebagainya. Pascareformasi penulis sempat menawarkan buku antologi geguritan agar diterbitkan, jawabannya singkat: semenjak krisis ekonomi 1997/1998, Cenderawasih ikut gulung tikar.
Barangkali ada baiknya jika makalah atau kertas kerja yang akan disampaikan dalam Kongres Sastra Jawa II nanti diseleksi terlebih dulu secara lebih ketat. Kalau perlu dilombakan. Sebuah gagasan yang aneh. Makalah kongres kok dilombakan. Tapi, kalau ingin objektif memang harus begitu. Hal ini akan memompa semangat para sastrawan Jawa untuk lebih mengekspresikan dirinya. Dengan demikian Panitia Pelaksana Kongres juga akan terhindar dari sikap-sikap subjektivitas: terlalu mudah menyerahkan penggarapan makalah bagi saudara, sahabat karib atau tetangga dekat, yang notabene tidak punya sangkut paut dengan wacana sastra Jawa yang sedang diacu. Demikian pula diharapkan agar dalam sesi diskusi nantinya nampak benar-benar hidup, karena ada dinamika.
Suatu hal lagi yang rasanya amat perlu diperbincangkan dalam Kongres Sastra Jawa II nanti adalah kemungkinan diterbitkannya majalah sastra Jawa. Selama ini kehidupan sastra Jawa memang amat kering dan merana: hanya menempel pada eksistensi penerbitan majalah berbahasa Jawa yang dapat dihitung dengan jari. Memang beberapa waktu lalu muncul di ibukota sebuah majalah baru berbahasa Jawa, Damar Jati, yang amat gencar mempromosikan lewat televisi nasional. Tetapi, itu belum menjawab tantangan tentang tandusnya kehidupan sastra Jawa. Sastra Jawa akan hidup subur-gembur kembali, apabila para sumitra Jawa sepakat untuk menerbitkan sebuah majalah sastra Jawa. Mengapa majalah sastra Jawa?
Karena dengan terbitnya majalah sastra Jawa, kreativitas para sastrawan Jawa lebih terbina dan berkembang. Entah diakui atau tidak, ladang garapan sastra Jawa lebih luas dan bervariasi di majalah sastra Jawa. Dengan hadirnya majalah sastra Jawa, para penggurit (penyair) lebih leluasa mengembangkan ekspresi/pengucapan diri, para cerkakis/cerpenis lebih mampu menukikkan sajian cerkak/cerpennya, para cerbungis, bisa lebih banyak memuatkan cerbungnya, para penulis cerita rakyat lebih bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi karya dan seterusnya. Pendek kata, majalah bahasa lebih terbatas, sedangkan majalah sastra Jawa lebih leluasa. Sastra Jawa sendiri harus mau aktif-kreatif, termasuk aktif berlangganan majalah. Mengapa kita begitu pelit berlangganan majalah tiap minggu/ bulannya, sedangkan untuk beli rokok sebungkus-dua bungkus tiap harinya begitu royal? q – o
*) Sunaryo, Anggota Komite Seni Sastra
Dewan Kesenian Cilacap.
www.kr.co.id
Sunday, 14 May 2006, Rubrikasi - Budaya
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment