Thursday, February 28, 2008

KBJ IV, KSJ II dan Gempa Sastra Jawa

MENJERNIHKAN TULISAN SARWORO SUPRAPTO:

oleh Suwardi Endraswara


TULISAN mas Sarworo Suprapto (KR, 2 Juli 2006) seperti garam dibakar, kemritik. Cukup pedas dan menyala sebagai pembakar jenggot. Sayangnya, masih ada yang perlu penjernihan. Yang kurang tepat, menurut hemat saya ada beberapa hal. Pertama, pelaksanaan KBJ IV (bukan 5-10 Juli), berdasarkan surat dari Sekda Jateng, nomor 434/03450, 13 Juni 2006 yang merujuk surat Gubernur Jateng ke Presiden - diundur menjadi tanggal 10-14 September 2006. Kedua, dana Rp 7 miliar untuk KBJ kiranya juga kurang tepat, sebab ada sumber yang menyatakan sebagian dana untuk gempa di DIY dan Jateng. Ketiga, tentang KBJ sebagai pentas makalah dan reuni, bisa ya dan tidak. Maksudnya, konon ada ratusan makalah yang akan berlaga. Namun, dengan pengunduran waktu, ketua pengarah (setelah menuai kritik dari prodi-prodi Jawa) telah berdialog dengan saya dan teman-teman sastrawan muda, agar ada restrukturisasi KBJ IV.


Atas dasar itu, anggap saja gagasan mas Sarworo itu sebagai ”plintheng” dan sekaligus rem tromol KBJ. Jika tak ada yang mengkritisi, bisa jadi KBJ memang sekadar ”ritual”. Hal senada, juga bermunculan ketika Prof Dr Marsono (UGM), saya, Keliek Eswe (sastrawan), Hendro Basuki (Suara Merdeka) diminta membahas akuntabilitas KBJ IV di gedung pers Semarang 9 Juni 2006 lalu. Inti kritik teman-teman yang telah disodorkan ke Gubernur Jateng, sempat mengundang tanya DPRD. Maka secara spontan Ketua Pengarah, Drs H Sutadi dan Dr Sudi Yatmono langsung datang ke kantor saya (UNY) secara informal, meminta masukan lebih jauh. Saya, Afendy Widayat, dan Arif Mulyana yang intens berdiskusi kecil telah memberi masukan KBJ IV, agar selamat dan sejahtera. Sekali lagi, semua itu jika tim pengarah mau mendengar usul kawula alit. Jika tidak, mangga saja kalau KBJ IV akan berjalan dalam suasana ”panas”. Terserah, jika arena elite KBJ hanya akan dijadikan ”pasar burung”. Keterlaluan!

Sebagai Proyek

Yang saya heran, setiap ada KBJ pasti riuh. Apalagi, bila KBJ IV ini tak diundur (pasca gempa), ketua pengarah panen SMS dan email: ”Jika KBJ IV tak peduli gempa, dan diundur, akan kejugrugan gunung.” Meski hal ini sekadar kelakar, ketua pengarah KBJ dan beberapa fungsionaris sempat heboh. Akhirnya, panitia bersikap arif, mengundur waktu pelaksanaan. Anehnya, KSJ II yang membayang-bayangi KBJ IV juga diundur tanggal 3 - 5 September 2006, gimana? Sungguh akan ramai, sebab KBJ IV dan KSJ II berada di kota yang sama. Sementara teman-teman KBJ ada yang terlibat KSJ. Berarti kredibilitas, tanggung jawab, dan moralitas dipertaruhkan.

Dari sini pro-kontra tak terhindarkan. Tegasnya, ketika KSJ mulai merapatkan barisan, saya sempat ditelepon panitia KBJ agar mengubah nama KSJ menjadi ”KSJ menyongsong KBJ” atau bernama ”Temu Sastrawan Pra-KBJ IV”, lalu ada suntikan dana yang lumayan besar (Rp 25 juta). Namun, teman-teman KSJ tetap berpegang teguh (menolak) ajakan itu biarpun baru mengantongi dana minim (Rp 7 juta). Saat itu DPRD Jateng juga sempat geram, karena telah ada KBJ mengapa ada bayangan KSJ. Apakah KSJ bukanlah - maaf sebagai sesuker KBJ?

Teman-teman sastrawan memang ingin berbekal niat ber-KSJ II. Di KSJ akan menggunakan semangat partiklir. Ingin memberikan sebuah momentum (baca: pelajaran), bahwa kongres tak harus identik dengan ”proyek”. Jika ”proyek”, bikin master plan saja habis berjuta-juta. Rapat panitia pengarah saja bisa menyedot jutaan dana. Penentuan tema dan pemakalah saja, bisa dari hotel ke hotel, bertele-tele, sekadar cari nggon teles. Bahkan beberapa teman sering menyatakan dengan nada sinis, katanya di jagad ”proyek” KBJ banyak yang kekeceh. Celaka kan, jika hal ini betul? Lantaran, mereka yang ”bermain” dengan bahasa dan sastra Jawa hanya ketika KBJ saja. Pasca KBJ, lantaran tugas pokoknya tak mengurus bahasa dan sastra Jawa, pura-pura lupa. Jika ditanya ihwal implementasi KBJ sering berbelit-belit dan amat birokratis. Benar-benar sontoloyo!

Ada Masalah Krusial

Ketua KSJ, Sendang Mulyana pernah menyatakan bahwa yang akan meramaikan antara lain pembicara Arswendo Armowiloto, WS Rendra, Ajib Rosidi, Darmanto Jatman, Bambang Sadono, dan lain-lain. Mereka hadir tanpa harus berhonor melimpah. Peserta pun tak harus menginap di hotel mewah. Persidangan KSJ, katanya juga dikemas sederhana, tetapi lebih mengena. Di sini, bukan lagi semangat pertandingan makalah, melainkan bermusyawarah. Tema yang diusung adalah ”kemitraan dalam sastra Jawa”.

Lalu, mangga saja kalau KBJ tetap ingin bermewah-mewah. Tapi, jangan heran jika ledekan mas Sarworo bergaya Jakartaan ”kasihan deh lu!” (bahasa dan sastra Jawa) - akan terwujud. Apalagi bila KBJ sekadar ”reuni” dan pamer makalah (ilmiah) versi masing-masing, bahasa dan sastra Jawa akan mentah kembali. Saya memaklumi, ungkapan ini (harus) muncul. Karena, setiap ada hajat besar KBJ, mesthi ada dua posisi yaitu ”orang luar” dan ”orang dalam”. Ada orang yang diajak dan tidak. Ada yang basah dan ada yang kering. Yang jelas, bagi yang tergolong minir pasti komentar pesimistis. Bayangkan, beberapa minggu lalu Budi Palopo (Jawa Pos), juga gatal dengan KBJ sebagai ”proyek besar”. Lalu Budi menggunakan kata sinis, stop saja KBJ dan KSJ. Terserah, mau dibilang kasihan deh lu atau keterlaluan - mangga!

Agaknya mas Sarworo hanya ingin bilang, KBJ tak penting. Tak harus ada. Jika ini yang dirasakan, sebenarnya nanti dulu. Saya kurang sependapat. Sisi positif lain KBJ dan KSJ tetap ada. Hanya memang sering tak signifikan. Ketika dana yang dikuras miliaran, tapi hasilnya masih nuwun sewu ”mak plenthus”, seperti busa sabun, memang saya ikut menjerit. Saya harus menyatakan hal ini, meskipun seringkali ada (pepundhen) yang ”meneror”, saya kurang Jawa. Silakan!

Yang jelas, KBJ dan KSJ tetap perlu. Yang penting, kali ini ada beberapa kemungkinan yang harus ditempuh jika KBJ hendak selamat dari ”gempa bahasa dan sastra Jawa”. Jika persyaratan yang dituntut para cendekia tak dipenuhi, tak perlu heran jika KBJ hanya menghasil KBJ berikutnya. Hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Sebab, konon mas Trias Yusuf P sudah mencium, dana KBJ untuk seminar ke Suriname. Belum lagi yang penggunaan dananya sekadar SPJ. Maka, akuntabililitas publik ke dapur KBJ penting dilakukan.

KBJ biarlah jalan terus. Toh, memang banyak masalah di tubuh bahasa dan sastra Jawa. Ada problem krusial dan besar yang melilit bahasa dan sastra Jawa. Banyak ”gempa bahasa dan sastra Jawa”. Bukankah getah dari KBJ III ini, Jateng dan DIY telah mengambil kebijakan SLTA harus mengajarkan bahasa Jawa, tapi pengajarnya yang memiliki ”SIM” Jawa amat minim. Apakah hal ini bukan sebuah bukti (implementasi) KBJ yang lalu? Lalu, persoalan renik seperti persiapan guru, metode inovatif, pra-kualifikasi guru, bahan ajar yang tepat kan perlu dikongreskan lewat forum KBJ ini. Apalagi KBJ IV ini, jelas mengusung topik besar ihwal ”pengajaran bahasa dan sastra”. Topik besar ini, jika digarap dengan seksama kiranya KBJ tak akan lagi dianggap sebagai omong kosong. Manakala SLTA benar-benar telah mengajarkan bahasa dan sastra Jawa, menjadi penentu kelulusan, tiap tahun Depdiknas membuka formasi guru - jelas sebuah prestasi luar biasa.

Lebih penting lagi, di KBJ IV nanti kemungkinan juga akan dibahas ”penanggung jawab” aplikasi hasil rumusan. Apabila Gubernur dan Bupati/Walikota yang diusulkan sebagai penanggung jawab implementasi keputusan KBJ IV, kiranya bahasa dan sastra Jawa akan memetik zaman emas lagi. Apalagi, kalau di KBJ nanti juga disepakati bahwa tiap sekolah SD-SLTA dan PT (yang membuka jurusan Jawa) wajib berlangganan majalah Jawa, koran Jawa, jelas menjadi penentu keberhasilan bahasa dan sastra Jawa. Jadi, ”gempa bahasa dan sastra Jawa” akan turun drastis ”skala reter-nya”. Tak lagi cemberut dan cemooh, melainkan senyum bahasa dan sastra Jawa.

Terkait dengan berbagai hal itu, saya memang bersikeras dan mengusulkan kepada panitia inti KBJ segera rapat menyeluruh. Paling tidak dengan rapat ulang, akan segera dilakukan ”peta ulang” KBJ, yang semula sekadar seperti seminar, diformat benar-benar kongres. Bahkan, ide saya di KBJ IV ini harus ada re-evaluasi KBJ III. Keputusan KBJ lalu, seperti penerbitan karya sastra, buku bahasa Jawa, majalah Jawa, telah terwujud atau belum, perlu dikalkulasi. Jadi, karya nyata di KBJ IV tetap perlu. Apa salahnya jika sebagian dana diberikan kepada sanggar sastra, prodi Jawa, balai bahasa, guru bahasa Jawa, agar menerbitkan buku-buku sesuai bidangnya. Misalkan saja, telah saya usulkan sebuah buku ”Salah Kaprah; Kontroversi Benar Salah Bahasa Jawa”, sebagai karya besar KBJ IV.

Jika mungkin lagi, mengapa tidak diadakan lomba-lomba bahasa dan sastra Jawa yang spektakuler? Misalkan saja, lomba pranatacara, lomba penyiar televisi bahasa Jawa, lomba menulis resensi buku-buku Jawa, dan sebagainya. Para pemenang lomba dapat diundang ke KBJ sebagai kehormatan. Boleh juga panitia memberikan hadiah bahasa dan Sastra Jawa yang bagus. Seperti halnya guru berbahasa Jawa berprestasi, wartawan berprestasi, dan seterusnya. Lebih unggul lagi, jika di KBJ nanti juga ada ”launching” penerbit buku Jawa serta menerbitkan buku seputar esai KBJ ke KBJ yang telah dimuat di media massa. Dengan kata lain, aspek (1) keterbukaan, (2) profesionalisme, dan (3) kontinuitas di KBJ perlu ditingkatklan. Mari, ditunggu saja! q – c

*) Suwardi Endraswara,
Pengajar Sastra Jawa di FBS UNY.

Dikopas saka: www.kr.co.id
Sunday, 09 July 2006, Rubrikasi - Budaya

0 comments: