Friday, February 29, 2008

Kontroversi Jagad Jawa Borobudur

Oleh: Pudjo Koeswhoro

KONTROVERSI Jagad Jawa masih terus berlanjut. Bahkan dibumbui dengan aksi demo segala. Jagad Jawa sendiri mengandung makna sebagai simbolisasi kesemestaan bhuwana, adanya kesatuan kehidupan makrokosmos yang amemangku jagad ing bhumi Jawa. Sesuatu pemahaman yang menggambarkan kebesaran alam raya dan secara spiritual memerlukan keseimbangan lingkungan ekologis dengan keseimbangan kehidupan sosial-budaya. Sehingga diharapankan dapat membawa kesejahteraan masyarakatnya.

Saat ini nama Jagad Jawa akan digunakan sebagai nama kawasan pasar seni yang bersebelahan dengan kompleks Candi Borobudur. Hal ini sangat rancu dengan penggunaan istilah Jagad Jawa yang akan digunakan untuk rancangan gedung pasar seni yang akan disepadankan dengan kebesaran nama Borobudur.

Berbagai pihak menilai penggunaan nama Jagad Jawa akan mengaburkan makna Borobudur, meski rencana pembangunan pasar seni tersebut guna mendukung wisata Borobudur.
Hal itu dianggap mengabaikan upaya badan-badan donor seperti Unesco, JICA, Dinas Museum dan Purbakala yang berupaya melakukan penyelamatan (konservasi) Borobudur.
Upaya penyelamatan dilakukan sebagai bagian pelestarian terhadap benda arkeologi Borobudur sekaligus langkah penghormatan pada karya unggulan dunia hasil seni-budaya leluhur. Maka situs-situs Borobudur selain pantas ditetapkan sebagai cagar budaya, telah lama membawa pengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.

Langkah-langkah pengembangan Borobudur melalui penataan kawasan termasuk pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa dilakukan sebagai upaya meningkatkan perekonomian masyarakat dan kepentingan Pemda Jawa Tengah. Maka dapat dipahami bila rencana ini dinilai memiliki nilai strategis dan ekonomi, sekaligus merupakan skenario pengembangan industri wisata yang tidak terlepas dari pertimbangan investasi dan bisnis.

Komitmen Penyelamatan

Komitmen negara-negara maju yang peduli terhadap warisan budaya merupakan langkah strategis yang sudah dirintis Unesco maupun Bank Dunia dalam upaya menjaga kualitas lingkungan bersejarah sebagai monumen skala dunia dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitarnya. Seperti diketahui Borobudur dan Prambanan sudah termasuk dalam daftar list World Heritage. Belajar dari negara-negara lain dalam penanganan kawasan wisata yang memiliki skala dunia, memerlukan langkah-langkah strategis.

Seperti yang dilakukan Bank Dunia dalam memberikan hibah dan bantuan teknis untuk penyelamatan obyek arkeologis kawasan bersejarah yang dikembangkan untuk wisata adalah lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat. Pelibatan komunitas sendiri diawali sejak gagasan muncul melalui proses penyerapan keinginan ideal masyarakat, baik dalam penyusunan program hingga diwujudkan melalui tindakan realistis.

Nampaknya rencana Pemda Jawa Tengah mewujudkan pembangunan PSJJ yang dipadukan dengan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) mengalami hambatan, karena terjadi penolakan dari masyarakat seni dan budayawan, pelaku wisata serta lembaga masyarakat sekitar Borobudur. Hal ini menunjukkan belum adanya keseimbangan pendekatan pemikiran dalam mewujudkan rencana tersebut.

Berdasar catatan, upaya penyelamatan dan pemugaran Borobudur sudah banyak dilakukan. Hal ini guna mendorong kegiatan wisata yang dapat menghidupkan daerah tujuan wisata Borobudur-Mendut-Pawon, Prambanan, Ratu Boko dan Solo. Namun acapkali dinilai yang memperoleh imbasnya dan lebih diuntungkan masyarakat Yogyakarta.

Perlu disimak pula sebetulnya wisata dunia seperti halnya Borobudur tidak lagi mengenal batas, sehingga perlu dihindari kesan tersebut. Perkembangan terakhir masyarakat sekitar Borobudur telah menunjukkan peningkatan perannya dalam berinteraksi dengan pelaku wisata internasional baik dalam penyediaan jasa layanan wisata, maupun akomodasi penginapan.

Hal ini merupakan bentuk kehidupan nyata masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi bagian dari wisata budaya sebagai wujud keterlibatan-partisipatif untuk ikut membangun pasar dunia wisata. Kehidupan semacam inilah sebetulnya yang diinginkan oleh para wisatawan dunia, bukan sesuatu yang diatur-atur, ditata, dipoles berupa keindahan artificial.

Hal ini dapat diyakini saat ini perkembangan dunia wisata ada kecenderungan akan melihat "jendela dunia lain" khususnya khasanah dunia timur. Yakni menyangkut kehidupan sosial, aktifitas pelaku seni-budaya, adat tradisi, ritual maupun keindahan alam secara natural.

Pendekatan Strategis

Pendekatan sosio-antropologis dalam pengembangan wisata budaya menjadi sesuatu pertimbangan penting. Pemahamannya dapat melalui tindakan penguatan budaya lokal. Hal ini akan lebih menarik ketimbang mewujudkan sebuah arena seni yang ditata steril, bahkan akan berkesan menjauhkan dari kehidupan realitas yang berkembang di masyarakat.
Maka langkah yang bijak dalam konteks penyatuan kawasan bersejarah dengan dunia wisata jangan terjadi upaya-upaya yang menjauhkan komunitas sekitar kawasan bersejarah dari obyek atau benda artefak dan situs yang memberi kesan disakralkan. Meski harus diakui berdasar UU No 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya ada keterbatasan gerak. Seperti yang tertuang pada Bab IV pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1-3 tentang tindakan terhadap perubahan fungsi situs yang dilestarikan dan jika terjadi perusakan yang diakibatkan kegiatan manusia dapat dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 28.

Dalam hal ini memerlukan penyadaran terhadap masyarakat sekitar terhadap pemahaman pelestarian kawasan bersejarah maupun benda arkeologis. Melalui langkah-langkah akomodatif untuk selalu diadakan sosialisasi kesadaran penyelamatan artefak dan lingkungannya terhadap pelaku dan masyarakat di daerah tujuan wisata khususnya di kawasan bersejarah. Seperti halnya masyarakat di sekitar Borobudur menjadi penting untuk dilibatkan dalam menjaga kelestarian, sekaligus upaya merawat dan meningkatkan penyelamatan lingkungan.

Pengembangan wisata Borobudur dapat dilakukan secara alamiah melalui proses penguatan budaya dan kehidupan lokal. Hal ini dapat diterjemahkan melalui keterlibatan komunitas setempat dan lingkungan masyarakat sekitar. Pembangunan daerah tujuan wisata merupakan pengembangan proses pembentukan lingkungan yang tidak terlepas dari kehidupan keseharian yang unik dan spesifik, termasuk upacara tradisi dan kegiatan ritual, kehidupan pengrajin kampung-kampung sekitarnya. Kegiatan penataan kawasan Borobudur baik melalui pemugaran maupun pengembangan daerah tujuan wisata memerlukan kehati-hatian dalam pendekatan pembangunan fisik. Sudah banyak pihak melakukan hal ini, baik bantuan teknis melalui JICA maupun badan dunia internasional. Termasuk pula upaya dan tindakan pengembangan TWCB melalui badan otorita kawasan Borobudur, sudah banyak melibatkan pelaku industri wisata baik dalam penyusunan program kunjungan maupun penyelenggaraan kegiatan festival.

Maka perlu diketahui jika pengembangan kawasan wisata budaya lebih mengutamakan kegiatan pembangunan fisik khususnya dalam wujud gedung bertingkat, memberi kesan tidak menghargai eksistensi komunitas, pelaku wisata dan masyarakat sekitar. Seakan hanya memberi kesan fasilitas tersebut diperuntukan bagi kenyamanan wisatawan semata. Wisatawan selalu dianggap sebagai tamu yang harus dihormati terus menerus. Di satu sisi penataan lingkungan kawasan wisata acapkali memberi kesan penilaian negatif adanya penggusuran, pemindahan kediaman tuan rumah.

Salah satu faktor keberhasilan pengembangan daerah tujuan wisata yang diharapkan tentu adanya keterlibatan langsung pelaku wisata dalam perencanaan dan kemudahan akses memperoleh modal usaha. Juga peningkatan kualitas produk dan peluang membuka jaringan komunikasi global. Suatu langkah yang diperlukan guna mendorong kesadaran adalah pembekalan pengetahuan kelestarian lingkungan obyek arkeologis.

Dalam hal penataan lingkungan kawasan Candi Borobudur perlu memperhatikan penetapan area cagar budaya yang didasarkan pada pembagian zona, khususnya pada area inti sebagai area sanctuary masuk kategori pelestarian memerlukan kehati-hatian. Berikutnya zona taman sebagai daerah penyangga hijau dengan kegiatan wisata terbatas, zona berikut lingkungan permukiman, dan zona yang memerlukan pengawasan terhadap tinggalan arkeologi untuk kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan eksplorasi.

Dengan demikian ketika akan dilakukan pengembangan area untuk PSJJ sudah semestinya memperhatikan penataaan zona inti. Tidak dibenarkan masuk ke dalam lingkungan yang sudah semestinya dicadangkan sebagai zona penyangga atau zona yang diduga masih dalam pengawasan tinggalan arkeologis. Apalagi jika nantinya bentuk arsitektural berupa bangunan bertingkat secara visual akan berpengaruh menghalangi arah pandang dan kesatuan estetika lingkungan. Bahkan diduga akan berpengaruh pada pembebanan struktur tanah lereng perbukitan. Panduan semacam ini sebetulnya sudah disusun dalam Rencana Tata Lingkungan dan Bangunan Kawasan Borobudur.

Kalau pun akan diwujudkan penambahan fasilitas kawasan wisata, secara spasial pengembangan diarahkan pada jalur koridor penghubung antara kawasan Borobudur, Mendut dan Candi Pawon. Jejalur ini diperuntukkan bagi pendukung kegiatan fasilitas pelayanan wisata sekaligus magnit dan pendorong tumbuh dan berkembangnya aktifitas malam hari. Pengembangan pada jejalur ini sebagai penyeimbang untuk menghindari penumpukan aktifitas yang sudah berkembang sebelumnya yang terkonsentrasi di TWCB, sekaligus sebagai pendorong kesatuan daerah wisata sekitarnya.

Pendekatan ekologis, tidak semata suatu tindakan penyelamatan kelestarian alam. Diperlukan pula melalui kesadaran untuk mensejahterakan kehidupan sosial-ekonomi termasuk penguatan nilai-nilai budaya lokal. Sehingga dapat disadari tindakan konservasi untuk penyelamatan peradaban budaya masa lampau yang diberdayakan bagi pengembangan wisata dapat mendorong penguatan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat sekitar untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Tentunya tidak terbatas bagi masyarakat Jawa atau masyarakat dunia, namun tetap menghargai kehadiran masyarakat setempat. Inilah yang lebih diutamakan.(33)

-Ir Pudjo Koeswhoro Juliarso MSA, anggota Dewan Riset Daerah Jateng dan Ketua Semarang Heritage Society


Dikopipaste dari Suara Merdeka Sabtu, 11 Januari 2003

0 comments: