Oleh Sucipto Hadi Purnomo
TAK mudah menepis anggapan Kongres Sastra Jawa (KSJ) merupakan tandingan Kongres Bahasa Jawa (KBJ). KSJ II yang akan dihelat di Semarang 30 Juni - 2 Juli 2006 telanjur dikesankan secara oposisional dengan KBJ IV yang akan digelar 5 - 10 Juli 2006.
Benarkah lewat acara tersebut genderang perlawanan telah ditabuh? Tepatkah menempatkan kedua perhelatan kebudayaan itu sebagai dua hal yang berhadap-hadapan secara diametral? Tulisan ini berusaha memahami kedua kongres itu, baik dalam perspektif historisnya beserta dinamika yang melingkupi maupun dalam kacamata sosiologis.
Penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa I, lima belas tahun yang silam di Semarang tak lepas dari situasi yang dirasa makin tidak kondusif bagi kehidupan bahasa Jawa. Berbagai ratap pilu selalu mewarnai forum bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Ratapan itu berkisar pada makin teralienasinya bahasa Jawa dari kehidupan nyata masyarakat pendukung budaya Jawa, terutama yang tinggal di tiga provinsi: Jateng, Jatim, dan Yogyakarta. Generasi muda Jawa pun dianggap makin tidak akrab dengan bahasa daerahnya, sehingga ancaman akan kematian bahasa Jawa kian membayang.
Kemauan Besar
Kemauan besar para pemangku wewenang, terutama di kalangan birokrasi untuk menghidup-hidupi bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Nusantara itulah yang mendorong kelahiran KBJ. Kongres ini diyakini sebagai forum yang memiliki wibawa untuk mengurai segala persoalan tersebut sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Tak tanggung-tanggung, tiga pemerintah provinsi memberikan dukungan nyata. Bahkan Presiden (kala itu) Soeharto yang membuka dan memberikan kata sambutan pada KBJ I Tahun 1991.
Wajar saja jika harapan besar ditumpukan kepadanya. Namun dalam perjalanannya hingga menjelang penyelenggaraan yang keempat ini, KBJ terbukti tak mampu secara optimal, jika tak boleh disebut gagal, mengartikulasikan persoalan aktual, penting, dan mendesak berkaitan dengan kehidupan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Kongres sekadar sebagai ajang untuk menumpuk makalah yang pada umumnya sekadar memenuhi akuntabilitas akademik sehingga gagah pada tingkat wacana namun miskin implementasi.
Karena itu berbagai ungkapan sinis pun bermunculan. Ketika ditanyakan apa yang dihasilkan oleh Kongres Bahasa Jawa yang sudah berlangsung tiga kali itu? Jawabannya kongres tidak menghasilkan apa-apa. Kongres Bahasa Jawa I hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa II. Kongres Bahasa Jawa II hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa III. Demikian pula Kongres Bahasa Jawa III, hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa IV.
Pernyataan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena itu juga tidak sepenuhnya keliru. Tidak sepenuhnya benar karena sesungguhnya ada sekian banyak rekomendasi yang ditelurkan dari kegiatan tersebut. Butir-butir rekomendasi tersebut tentu saja berkisar pada upaya-upaya nyata untuk mempertahankan bahasa Jawa termasuk dengan pembentukan Dewan Bahasa Jawa.
Untuk melaksanakan rumusan tersebut direkomendasikanlah pembentukan Badan Pekerja Kongres. Namun sejauh yang saya ketahui, tak pernah ada badan tersebut terutama di tengah-tengah persiapan penyelenggaraan KBJ IV ini. Yang ada hanyalah sebuah tim, semacam prapanitia yang kemudian menjadi panitia yang mempersiapkan penyelenggaraan kongress. Mengherankan pula Dewan Bahasa Jawa di provinsi ini justru secara institusional bisa dikatakan tidak ikut cawe-cawe (sengaja tidak dilibatkan?) dalam KBJ.
Jika yang diposisikan sebagai pelaksana dan pengawal putusan kongres saja tidak pernah terbentuk masihkah pantas diharapkan putusan tersebut terwujud secara nyata?
Menyadari akan segala kelemahan tersebut, penyelenggara KBJ IV berusaha mengubah orientasi. Kongres diarahkan tidak hanya berkutat pada tataran ontologi dan epistemogi tetapi lebih dititikberatkan pada tataran aksiologi.
Kekecewaan Sastrawan
Lantas mengapa diselenggarakan pula Kongres Sastra Jawa? Kemunculan KSJ tak bisa dimungkiri berawal dari kekecewaan sejumlah sastrawan Jawa terhadap penyelenggaraan KBJ II Tahun 1996 di Malang dan KBJ III 2001 di Yogyakarta. Mereka yang selama ini jelas-jelas dengan penuh dedikasi menghidup-hidupi bahasa dan sastra Jawa boleh dibilang tak tersapa. Bersamaan dengan itu perbincangan terhadap sastra Jawa (terutama yang modern) di KBJ berkesan sambil lalu.
Lebih dari itu KSJ digagas sebagai sebentuk formula kritik konstruktif dan mekanisme kontrol atas penyelenggaraan KBJ. Karena itu semangat yang diusung adalah kemandirian dan gagasan-gagasan progresif yang dibalut dalam kesahajaan.
Masih mengesan di benak saya bagaimana KSJ I Tahun 2001 digelar di Solo. Bukan di hotel berbintang melainkan di Taman Budaya Surakarta. Di sanalah mereka berkongres dan menginap. Selama tiga hari para peserta dijamu dengan makanan kelas nasi bungkus warung hik dan minuman teh hangat dalam gelas.
Tak ada honorarium untuk semua pembicara semacam Arswendo Atmowiloto dan WS Rendra yang konon sudah menyatakan sanggup berbicara lagi pada KSJ II. Malahan beberapa dari pembicara menyumbangkan uangnya. Karena itu oleh panitia kontribusi peserta yang hanya Rp 20.000 pun dikembalikan lagi kepada para peserta pada akhir acara. Sebuah penyelenggaraan yang jauh dari kesan memproyekkan.
Penyelenggaraan semacam itu tentu saja mampu menerbitkan empati. Namun karena semangat dan dedikasi saja tidak cukup untuk mengaktualisasikan rumusan yang dihasilkan perlu dibangun kemitraan dengan berbagai pihak. Lebih dari sepuluh sanggar/paguyuban pengarang/dewan kesenian yang tersebar di tiga provinsi sebagai penyelenggara kongres tersebut juga tidak cukup memadai untuk mewujudkannya. Karena itu para penggagas merumuskan tema "Membangun Kemitraan untuk Sastra Jawa" untuk KSJ II.
Berbeda dari KSJ I pada KSJ II semangat perlawanan terhadap KBJ sesungguhnya mulai disisihkan. Meski demikian kemandirian dan pikiran yang lebih progresif demi menampakkan sastra dan bahasa Jawa yang lebih segar lebih mengemuka. Maklumlah kongres ini dimotori oleh para pengarang, penulis, dan akademisi muda dengan dukungan sastrawan sepuh.
Karena itu sungguh sangat tidak relevan jika kemudian ada pihak yang mencoba merayu agar tidak usah digunakan kata "kongres" dengan kompensasi sekian puluh juta rupiah bagi penyelenggara KSJ karena khawatir ia menjadi tandingan. Bukankah Ketua Panitia KSJ II Sendang Mulyana juga telah menegaskan sungguh tidak pada tempatnya jika KSJ yang hanya bermodalkan semangat itu ditempatkan sebagai tandingan kongres lain yang dibiayai lima miliar rupiah lebih.
Maka dari itu sesungguhnya yang lebih baik dilakukan adalah dibangun hubungan yang lebih konstruktif dan saling menghormati. Malahan kalau perlu bersinergi. Persis dengan pernyataan Ketua Panitia Pengarah KBJ IV Drs H Sutadi, ''sampun wancinipun para panggilut basa lan sastra Jawi sami saiyeg saeka kapti".
Akhirnya apa pun yang akan tergelar semua pantas bersenang hati bahwa hasrat untuk menghidup-hidupi bahasa dan sastra daerah kian hari tampak meningkat. Apalagi untuk Jawa Tengah boleh dibilang tahun ini merupakan musim kongres. Sebab 4 April 2006 mendatang juga akan digelar Kongres Bahasa Tegal di Kota Tegal. (14)
--Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes
dikopipaste dari: Suara Merdeka, WACANA, Senin, 27 Maret 2006
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment