Sebuah gang sempit di daerah Ketelan, Kota Solo, Jawa Tengah, Tampak sepi. Di ujung gang yang merupakan gang buntu terdapat rumah lama dengan pintu terbuka. Tidak ada suara keluar dari rumah di Jalan Jageran I No 7 itu. Baru ketika pintu diketuk, ada suara orang yang mempersilakan masuk.
Meski dari luar terlihat sepi, ternyata di dalam rumah ada aktivitas. Lima orang di dalam rumah itu tengah mengerjakan alih aksara naskah-naskah kuno. Satu orang di depan komputer mengetik naskah yang dibacakan dan dilagukan oleh satu orang di sampingnya. Naskah yang dibaca berhuruf Jawa dan bertembang macapat. Sesuatu yang tidak mudah bagi orang Jawa sekalipun!
Kegiatan ini dinamakan alih aksara. Alih aksara ini bukan hanya persoalan mengalihkan begitu saja, tetapi juga harus sesuai dengan aturan-aturan dalam pelaguan naskah-naskah itu. Naskah yang dialihkan tersebut memiliki metrum macapat sehingga jumlah suku kata dan huruf vokal di bagian akhir harus sama sesuai dengan aturan.
Aturan-aturan yang ketat ini mengharuskan orang yang melakukan alih aksara naskah itu memiliki pengetahuan memadai dan memahami lagu-lagu yang digunakan dalam naskah itu, seperti Asmaradhana dan Kinanthi. Masing masing lagu memiliki aturan dalam jumlah baris, jumlah suku kata, dan bunyi vokal suku kata terakhir.
Alih aksara itu berawal dari John Peterson, warga negara Australia yang menekuni dan jatuh cinta berat pada kebudayaan Jawa. Ia yang memiliki koleksi sejumlah naskah mengirim kembali ke Jawa dengan harapan agar naskah itu bisa dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
John dan Supardjo, yang juga dosen Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), kemudian merintis berdirinya Yayasan Sastra yang beralamat di Jalan Jageran I No 7, Solo, itu. Alih aksara dilakukan terkait dengan upaya agar isi naskah kuno itu bisa dimengerti oleh mereka yang tidak paham aksara Jawa.
Di samping mengalihaksarakan sastra kuno itu, Yayasan Sastra juga menyelamatkan naskah-naskah kuno tersebut. Naskah-naskah kuno itu ada yang ditulis di dluwang (berbahan kulit kayu) hingga kertas modern yang diimpor dari Eropa.
Penulisannya ada yang masih menggunakan tinta dan ada pula yang berupa cetakan. Penggunaan tinta itu menginformasikan kepada kita cara pujangga keraton memperbanyak naskah. Pujangga biasanya menembang, kemudian untuk perbanyakan sejumlah orang menyalinnya. Dari cara inilah satu kitab bisa diperbanyak hingga 10 buah atau lebih. Sedangkan untuk cetakan sudah dilakukan dengan mesin yang diimpor dari Eropa sehingga jumlah terbitan bisa sangat banyak.
Naskah-naskah kuno itu umumnya karya pujangga-pujangga dari Pura Mangkunegara dan Kasunanan Surakarta. Supardjo menjelaskan, pasca-Majapahit hingga kemudian Keraton Mataram berada di Surakarta kegiatan kepujanggaan memang tidak banyak meninggalkan jejak. Ia juga mengatakan, masa-masa kering makin jelas ketika keraton berada di Kartasura. Meski demikian, ada kegiatan di luar keraton yang dilakukan oleh penduduk biasa.
Masa keemasan kepujanggaan mulai muncul ketika keraton Surakarta pindah ke Desa Sala yang sekarang menjadi pusat keraton. Mulai era Paku Buwana IV, kepujanggaan memasuki masa keemasan. Pada masa itu banyak karya sastra bermunculan, salah satunya yang terkenal dan mendunia adalah Serat Centhini.
Supardjo menambahkan, meski berpusat di keraton, kegiatan kesusastraan juga berlangsung di masyarakat awam. Keraton juga tidak sedikit menyerap pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Dalam beberapa kitab, karya dari masyarakat kebanyakan juga disisipkan dalam kesusastraan keraton.
Pujangga memang penulis resmi keraton. Namun, fungsinya tidak seperti sekretaris zaman sekarang. Pujangga juga mirip pandita dalam wayang, yang berusaha memberikan nasihat kepada raja. Pujangga juga yang menafsirkan fenomena-fenomena tertentu dan menginformasikannya kepada raja.
Penyelamatan naskah kuno oleh Yayasan Sastra dilakukan dengan penyelamatan fisik meski dengan cara sederhana, seperti pembersihan dan fumigasi serta perawatan beberapa bagian naskah yang rusak. Penyelamatan dilakukan oleh tenaga kerja sebanyak delapan orang.
Mereka yang mendalami berbagai naskah kuno pasti mengetahui naskah seperti itu tidak hanya mengungkap soal kesenian semata, tetapi juga pengetahuan lain yang dalam ilmu pengetahuan modern termasuk di dalamnya adalah arsitektur, kedokteran, biologi, filsafat, astronomi, dan lain-lain.
Dari naskah kuno ini, misalnya, seorang arsitek diharapkan bisa melihat atau menggali informasi arsitektur Jawa. Seorang dokter juga bisa menggali pengetahuan medis lokal. Seorang ahli pertanian bisa menggali budidaya berbagai tanaman dan juga pemanfaatannya.
Pengetahuan mengenai hal itu terdapat dalam berbagai kitab. Setidaknya seperti buku Bauwarna yang terbit tahun 1898 dengan jumlah halaman 1.930. Bauwarna ini mirip dengan ensiklopedia kebudayaan Jawa.
Sebenarnya, Yayasan Sastra berawal dari "iseng-iseng" yang melihat ada manfaat dari alih aksara bagi mereka yang hendak mendalami kebudayaan Jawa. Pada tahun 1996 kegiatan yayasan ini dimulai dengan pengiriman naskah koleksi John dan kemudian mulai dialihaksarakan. Saat ini setidaknya 200 hingga 300 manuskrip sudah dialihaksarakan dari sekitar 2.000 terbitan yang ada di yayasan itu.
Naskah ini merupakan bagian kecil dari naskah Jawa secara keseluruhan yang sejauh ini sudah diketahui berada baik di dalam negeri di Museum Radya Pustaka dan Reksa Pustaka hingga koleksi pribadi maupun naskah ang berada di luar negeri, seperti di Inggris dan Belanda.
Meski berada di berbagai tempat, keberadaan katalog tentang naskah-naskah Jawa telah membantu upaya pelacakan berbagai naskah yang ada. Soal naskah yang ada di luar negeri, Supardjo mengatakan, sebenarnya Pemerintah Belanda pernah mengungkapkan keinginannya menyerahkan naskah itu asal Indonesia mampu menjaganya sesuai dengan standar sehingga tidak rusak.
Di tengah keterbatasan dana akuisisi naskah, selain dari John, Yayasan Sastra juga mencari naskah lama di pasar loak, mendapat dari orang yang meminta bantuan agar diselamatkan dengan status peminjaman, dan ada pula yang menyerahkan naskah ke Yayasan Sastra.
Isi naskah kuno itu mulai dari agama, almanak, babad, bahasa, berita, budaya, gamelan, hukum, keris, primbon, pertanian, dan lain-lain. Untuk pertanian, misalnya, ada naskah tentang menanam kelapa yang berjudul Kawruh Nanem Kalapa Sarta Paidahipun karya Padmasusastra, tahun 1912. Ada juga tentang tata cara menanam padi berikut jenis-jenis padi yang ada.
Mereka yang telah bekerja keras itu tidak mengharapkan imbalan. Bahkan, mereka memberi layanan gratis melalui situs di internet ntuk pihak-pihak yang ingin memanfaatkan alih aksara tersebut.
Para pengelola Yayasan Sastra ini berharap wadah ini setidaknya menjadi lembaga informasi kebudayaan Jawa. Mereka ingin mengungkap hal-hal yang terkait dengan kebudayaan Jawa yang selama ini belum diketahui.
Mereka juga ingin mengenalkan kebudayaan Jawa secara menyeluruh bagi orang-orang yang ingin mendalami kebudayaan Jawa. Saatnya sastra Jawa memberi sumbangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.(ANDREAS MARYOTO/ ARITASIUS SUGIYA, Litbang Kompas)
Dikopipaste dari sini
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment