Monday, March 3, 2008

Ajip Rosidi bukan "Manusia Haram"

KEGIGIHAN Ajip Rosidi menumbuhkembangkan budaya Sunda, termasuk bahasa dan sastra Sunda di dalamnya, tidak perlu diragukan lagi. Perannya tidak hanya di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga di tingkat internasional.


Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A., mengatakan hal itu dalam sambutannya pada acara "70 Tahun Ajip Rosidi", Kamis (31/1) di Graha Sanusi Hardjadinata, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung.

Atas jasa-jasanya itu, Ganjar Kurnia, atas nama Unpad Bandung, dalam kesempatan itu menyerahkan Anugerah Gumawat Padjadjaran kepada Ajip Rosidi. Selain itu, Ajip menerima uang kadeudeuh Rp 25 juta dari Bank Jabar, yang diserahkan Dirut Bank Jabar, Agus Ruswendi.
Dalam acara yang dimeriahkan pembacaan puisi oleh penyair Rendra, Taufiq Ismail, Godi Suwarna, dan Ganjar Kurnia, Yayasan Rancage yang dikelola penyair Ajip Rosidi memperoleh sumbangan dana Rp 100 juta dari Agum Gumelar yang hadir dalam acara tersebut.

Para peserta juga dibuat ger-geran saat membahas buku biografi Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan, yang menampilkan pembicara Rosihan Anwar dan Setia Permana, dengan moderator Ahmad Syubhanuddin Alwy.

Menurut Rosihan Anwar, sosok Ajip Rosidi menarik untuk diapresiasi karena apa yang dilakukannya selama ini, Ajip tidak semata-mata bergerak dalam bidang sastra, tetapi juga dalam bidang intelektual, yang jejak pikirannya bisa dibaca dalam sejumlah buku yang ditulisnya.

Setia Permana menilai keberadaan Ajip Rosidi di tatar Sunda termasuk "manusia wajib" yang banyak memberikan manfaat bagi lingkungan hidupnya, dalam hal ini lingkungan budaya, bahasa, dan sastra Sunda.

Dalam pandangan Setia Permana, Ajip bukan termasuk "manusia haram" yakni manusia tidak berguna, manusia parasit, koruptor, atau mereka yang tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Acara yang berlangsung selama lima jam itu, dihadiri sejumlah tokoh Jawa Barat dan tokoh-tokoh lainnya, baik di tingkat lokal maupun nasional seperti Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Saini K.M., Uu Rukmana, Sam Bimbo, Slamet Rahardjo Djarot, Direktur Utama Pikiran Rakyat H. Syafik Umar, Komisaris Pikiran Rakyat H. Soeharmono Tjitrosoewarno, sastrawan Aam Amilia, dan praktisi hukum Dindin S. Maolani.

Hebat sejak muda

Aktor film Slamet Rahardjo Djarot mengatakan, kebesaran Ajip dalam dunia sastra Indonesia maupun Sunda tidak diragukan lagi. Kebesaran itu diperlihatkan Ajip ketika ia mampu mengolah sedemikian rupa nilai-nilai lokal di tengah-tengah keterpesonaan para sastrawan lainnya terhadap nilai-nilai yang datangnya dari Barat.

"Selain itu, Ajip adalah orang yang berhasil menghidupkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) hingga mencapai puncak keemasannya," ujar Slamet Rahardjo Djarot.

Penyair Rendra menilai konsistensi Ajip terhadap budaya lokal dan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam perkembangan dan pertumbuhan seni di Indonesia, tidak hanya tercermin pada karya-karya yang ditulisnya, tetapi pada tindakan nyata yang dilakukan Ajip baik semasa masih di DKJ maupun setelah tinggal di Jepang lewat pemberian Hadiah Sastra Rancage.

Godi raih "Rancage"

Dalam acara "70 Tahun Ajip Rosidi" diumumkan pula pemberian Hadiah Sastra Rancage yang ke-20. Untuk penulisan sastra Sunda, penghargaan diberikan kepada penyair Godi Suwarna untuk ketiga kalinya lewat novel Sandekala (Kelir, 2007). Sebelumnya, Godi menerima hadiah yang sama untuk kumpulan puisi Blues Kere Lauk (1993) dan Serat Sarwasatwa (1996) untuk kumpulan cerita pendek. Sedangkan untuk bidang jasa, dalam pengembangan bahasa dan sastra Sunda, diterima oleh R. Dadi Danusubrata, Pimpinan Teater Sunda Kiwari.

Untuk sastra Jawa, penghargaan diterima oleh Bledeg Segara Kidul, kumpulan puisi karya Turiyo Ragilputra, serta bidang pengembangan bahasa dan sastra Jawa diterima oleh Sriyono. Untuk sastra Bali, penghargaan diterima oleh I Nyoman Manda lewat roman Depang Tiang Bujang Kayang-kayang. Sedangkan untuk bidang jasa dalam mengembangkan bahasa sastra Bali diterima oleh I Made Saatjana.

Untuk pertama kalinya, penghargaan yang sama diberikan kepada sastrawan Lampung yang menulis karya sastra dalam bahasa daerah Lampung, Udo Z. Karzi untuk kumpulan puisi Mak Dawah Mak Dibingi. Mereka masing-masing mendapat piagam dan uang senilai Rp 5 juta, yang akan diberikan dalam sebuah acara khusus.

Yayasan Rancage juga memberikan Hadiah Sastra Samsudi untuk penulis cerita anak-anak terbaik dalam bahasa Sunda. Hadiah berupa piagam dan uang Rp 2,5 juta tersebut, diterima oleh Ai Koraliati untuk cerita anak-anak Catetan Poean Rere.

Dalam pidato, Ajip Rosidi mengatakan, saat ini kebudayaan Sunda dalam keadaan kritis. Perhatian pemerintah terhadapnya hanya sebatas wacana, demikian juga perhatian para elite politik dan warga Jawa Barat pada umumnya. (Soni Farid Maulana/"PR")***


Dikopipaste dari Pikiran Rakyat Online

0 comments: