Berbeda kondisi dengan eforia kebebasan pers yang berimplikasi pada bermunculannya sejumlah media massa yang bak jamur di musim hujan, ada majalah yang harus berjuang keras bertahan agar tetap hidup. Itulah nasib sedih majalah berbahasa daerah. Contoh nyatanya, majalah berbahasa Jawa.
Tanpa sadar, saya menjadi salah satu jenis manusia langka di Indonesia. Kisahnya diawali dengan kenyataan, di republik di antaranya suku Jawa pemakai bahasa Jawa, saat ini hanya ada empat majalah mingguan berbahasa Jawa yang masih bertahan hidup.
Lebih tua dari RI
Majalah-majalah itu adalah Panjebar (baca panyebar) Semangat (PS) dan Jaya Baya (JB) yang terbit di Surabaya serta Djaka Lodang (DL) dan Mekar Sari (MS) dari Yogyakarta. Semuanya menggunakan bahasa Jawa baku ngoko (tingkat biasa) seperti bahasa Jawa tulis ragam resmi yang dipakai di Yogyakarta dan Surakarta (Jawa Tengah). Memang, tahun 1990 pernah terbit tabloid bahasa Jawa bernama Jawa Anyar (anyar = baru) dengan gaya dan isi pop untuk menarik kalangan anak muda, namun tak berumur panjang.
Uniknya, majalah bahasa Jawa yang terbit di Surabaya lebih bisa hidup daripada yang di Yogyakarta. Padahal Surabaya bukan pusat kebudayaan Jawa, pun masyarakatnya sehari-hari kebanyakan menggunakan bahasa jawa dialek Suroboyo-an yang khas.
Usianya pun lebih tua. Panjebar Semangat diterbitkan pertama kali tahun 1933 oleh dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, yang namanya diabadikan untuk nama rumah sakit pemerintah terbesar di kawasan Indonesia bagian Timur yaitu RSUD dr. Soetomo Surabaya. Jadi Panjebar Semangat lebih tua daripada Republik Indonesia. Pada 1 Desember 2000 Jaya Baya memasuki usia 55 tahun. Mekar Sari berusia 43 tahun dan Djaka Lodang 30 tahun.
Jika ditotal pelanggan keempat majalah berbahasa Jawa itu cuma sekitar 40.000. Padahal harga ecerannya hanya sekitar Rp 2.500,- per eksemplar. Tidak mengherankan, majalah bahasa Jawa menjadi bacaan langka yang sulit diperoleh di kios-kios buku yang umumnya menyediakan berbagai jenis majalah, tabloid, dan surat kabar.
Nah, di dalam kelangkaan itulah saya berkecimpung sebagai salah seorang redaktur Majalah Jaya Baya. Berapa jumlah redaktur atau wartawan langka, seperti saya, ini di Indonesia? Tak lebih dari 40 orang. Tentu jangan dibandingkan dengan ribuan wartawan yang bekerja pada media cetak dan elektronik lainnya. Ke-40 wartawan itu tersebar pada Majalah Jaya Baya 7 orang, Panjebar Semangat 9, Mekar Sari 12 (termasuk tiga reporter dan dua fotografer), dan Djaka Lodang enam orang. Kalau pun ada puluhan penulis dan koresponden yang jumlahnya hingga puluhan, maka statusnya cuma penyumbang.
Ada wayang dan primbon
Namun, bagaimana pun majalah ini memiliki keistimewaan. Di antaranya, wilayah peredarannya cukup luas, seluas wilayah keberadaan suku Jawa yang tak melulu di Jawa, tapi sampai di Papua bahkan luar negeri. Jaya Baya dan Panjebar Semangat misalnya, mempunyai pelanggan setia di luar negeri. Termasuk di antaranya pengamat sastra Jawa, George Quinn dari Australia, beberapa orang di Malaysia, Cina, Belanda, dan Suriname.
Sebagai majalah umum, isi majalah berbahasa Jawa tidak cuma tentang beraneka ragam kebudayaan Jawa. Isinya tidak kalah dengan majalah umum berbahasa Indonesia. Ada rubrik Tajuk Rencana atau editorial dengan nama yang bermacam-macam, yakni "Ature Redaksi" (Jaya Baya) atau ungkapan redaksi, "Srumuwus" (Djaka Lodang) maksudnya bersuara lantang, "Gagasan" (Mekar Sari) dan "Pangudarasa" (Panjebar Semangat) berarti ungkapan isi hati. Sebagaimana tajuk rencana pada umumnya, rubrik ini berisi komentar dan sikap majalah yang bersangkutan terhadap isu aktual di dalam negeri. Rubrik khas antara lain cerita rakyat, cerkak (crita cekak, cerita pendek), cerbung (crita sambung, cerita bersambung, novel), primbon, ramalan nasib, cerita wayang, dan cerita misteri.
Peristiwa aktual luar negeri juga menjadi sorotan dan disajikan melalui rubrik "Wawasan Manca Negara" (Jaya Baya) dan "Wawasan Jaban Rangkah" (Djaka Lodang). Sebagai pengasuh rubrik tersebut di Majalah Jaya Baya, saya mengambil bahan tulisan dari media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri, termasuk CNN, CNBS, Time, dan Asiaweek.
Menyelenggarakan liputan sendiri di luar negeri jelas tidak mungkin karena keterbatasan dana, kecuali ada yang mengundang, seperti yang saya alami tahun 1997. Waktu itu saya diundang oleh sebuah organisasi swasta berkeliling Malaysia (barat dan Timur) selama sebulan. Lumayan untuk selingan tulisan hasil liputan sendiri.
Terhambat istilah
Bahasa Jawa mengenal delapan tingkat, mulai dari tingkat sejajar (ngoko), halus (krama dan krama inggil), dan sangat halus termasuk basa kedhaton (bahasa keraton). Dalam bahasa Jawa ragam resmi yang ditulis dengan huruf latin, huruf "a" dibaca "o" seperti "pokok", sedangkan huruf "o" dibaca "o" seperti pada kata "toko". Yang dipakai dalam majalah bahasa Jawa saat ini adalah bahasa ngoko yang lebih komunikatif dan demokratis daripada bahasa krama.
Sebagaimana dialami kebanyakan wartawan atau reporter bahasa Jawa lainnya - lebih-lebih yang berusia di bawah 40 tahun- , saya yang semula koresponden harian nasional berbahasa Indonesia sering kesulitan saat menerjemahkan sejumlah kata bahasa Indonesia dan asing ke dalam bahasa Jawa. Kendalanya, belum ada terjemahannya dalam bahasa Jawa. Dalam bausastra (kamus) Indonesia - Jawa pun tidak atau belum tercantum.
Memang terkadang ditemukan padanannya dalam bahasa Jawa namun sudah lama tidak terdengar dalam pergaulan sehari-hari. Jika dipaksakan, tulisan saya menjadi kurang komunikatif dan kurang dipahami oleh pembaca. Atau minimal kaku, padahal saya dituntut agar mau dan mampu membuat tulisan berbahasa Jawa dari sisi kemampuan berbahasa Jawa rata-rata pembaca majalah langka ini. Selain itu, kalimat yang tersaji harus benar-benar kalimat bahasa Jawa, bukan kalimat berbahasa Jawa bernuansa Indonesia.
Kata-kata yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Jawa misalnya sandera, bajak laut, ragu-ragu, pengaruh, konflik, tersangka, terdakwa, terhukum, terpidana, krisis dan provokator. Kata "perkosa" menurut kamus menjadi rudapeksa (baca: rudopekso) dalam bahasa Jawa, "perdamaian" arti resminya berarti bedhamen. Kata rudapeksa dan bedhamen bukan kata sehari-hari dalam masyarakat Jawa sekarang.
Untuk mengatasi kendala itu, jika memang tidak ada lagi padanan yang pas dalam bahasa Jawa, satu-satunya cara adalah mengadopsi kata-kata itu ke dalam bahasa Jawa. Sebagaimana sering terjadi dalam bahasa Indonesia terhadap bahasa asing dan bahasa daerah (termasuk Jawa).
Di masa depan kendala yang dihadapi majalah bahasa Jawa akan semakin berat. Petutur bahasa Jawa memang tidak akan punah selama masih ada masyarakat atau komunitas Jawa, namun kemampuan membaca karya tulis berbahasa Jawa, lebih-lebih yang memakai huruf Jawa, akan semakin langka. Komunitas orang Jawa yang menguasai bahasa Jawa tulis akan menurun drastis sebab bahasa Jawa cuma pelajaran muatan lokal yang diajarkan hanya sampai kelas 3 SLTP. Ini karena bahasa Jawa bukan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, bahasa Jawa tidak menentukan kenaikan kelas dan kelulusan siswa.
Penguasaan bahasa Jawa yang dhakik-dhakik (tingkat tinggi) termasuk kesusastraan Jawa yang kompleks, di kalangan suku Jawa di masa depan juga akan makin merosot. Apalagi mahasiswa jurusan bahasa Jawa di IKIP, kini menjadi universitas, juga semakin sedikit. Keluarga muda Jawa (di Jateng dan Jatim sekalipun) makin banyak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi antaranggota keluarga.
Apakah majalah bahasa Jawa dan wartawannya (juga pembacanya) akan semakin langka, bahkan hilang ditelan zaman? Mungkin saja jika tidak ada lagi yang membela, nguri-uri, memetri (memelihara dan mengembangkan) dan melestarikannya serta tidak ada lagi yang mampu membacanya. Kelak untuk belajar sastra Jawa mungkin orang Indonesia harus pergi ke Australia atau Negeri Belanda. Majalah Jawa (termasuk wartawannya) bukan hanya bagai ayam kurus, tetapi ayam mati di lumbung padi. (W. Tjiptowardono)
Dikopas saking Majalah Intisari Februari 2001
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment