Jum'at, 28/12/2007
Sardono W Kusumo, penari sekaligus juga penata tari, adalah sosok budayawan yang karya-karyanya diakui dunia, sekaligus juga jawaban dari pertanyaan dan pencarian budaya Indonesia.
Dia adalah pujangga yang mampu menghidupkan tata nilai masa lalu dalam seni tradisi, ke dunia modern masa kini. Dia memendekkan ruang, sekaligus waktu. Barangkali ini sedikit berlebihan. Barangkali juga, ini belum menggambarkan secara keseluruhan.
Dikotomi tradisi-modern
Ki Hajar Dewantara pernah merumuskan orientasi kebudayaan Indonesia sebagai ”puncak-puncak kesenian daerah”. Angin segar bagi seni tradisi dan menempatkan seni tradisi sebagai titik perkembangan. Namun, realitas empiris membuktikan bahwa ”puncakpuncak” tapi tak menemukan gemanya dalam keindonesiaan.
Karya-karya suatu wilayah budaya yang dianggap sakti, sakral, adiluhung, tak dipahami di wilayah budaya yang lain. Karya itu menjadi antik, cantik sekaligus bisu. Sutan Takdir Alisjahbana berada pada seberang yang lain. Orientasi budaya lebih kepada budaya ”Barat”, karena hanya dengan demikian kita mampu sejajar, mampu bersaing dengan budaya dunia, tidak tenggelam dalam memuja masa lalu.
Kenyataan membuktikan bahwa pendekatan ini membuat sebagian para seniman merasa asing dengan karya-karya mereka. Puncaknya ketika para pelukis menyuarakan bahwa dalam dunia seni lukis tak ada ”seni lukis Indonesia”. Yang ada adalah ”tukang gambar” atau pembuat foto kopi seni lukis Eropa.
Dikotomi tradisi–modern ini terus berlangsung dalam ketegangan. Antara pelestarian dan perkembangan, antara kostum lama dan kostum baru, yang menjurus ke arah krisis dengan mempertanyakan: apa dan bagaimana kepribadian Indonesia. Pertanyaan yang dijawab dengan tergagap-gagap dalam keseharian dengan bagaimana menata rambut, seberapa panjang rok di atas lutut dan seberapa ketat celana panjang yang diizinkan, sampai dengan pemberangusan jenis musik tertentu.
Adalah Sardono W Kusumo, ketika itu dalam usia 23 tahun, melahirkan garapan tari Samgita Pancasona, pada 1968. Ketika dipentaskan di kota kelahirannya, Solo, dia bahkan mendapat lemparan telur busuk, karena dianggap merusak seni tari. Dipentaskan di Jakarta, mendapat sambutan hangat sebagai pembaru.
Dikotomi masih berlangsung dan panas, tetapi kali ini membuka cakrawala pemikiran kreatif, di mana terjadi dialog,di mana kubu-kubu yang berseberangan tetap berpentas dengan karya-karya yang diyakini. Hal yang sama terulang ketika garapan Cak Tarian Rina, kali ini dengan latar belakang Bali.
Sardono memilih para petani yang tak tersentuh gemerlap pariwisata Bali,memasukkan penari anakanak— anak-anak di desa yang ikut menari (sebenarnya menggerakkan tubuh sebagai inti dasar tarian) tak bercelana, mengembalikan suara ”cak-cak-cak” dalam hentakan purba,mengembalikan lampu-lampu ”piramida” menjadi obor yang memberi efek dramatis yang tak ditemukan di tempat pertunjukan di hotel.
Kembali terjadi pro-kontra, sampai kemudian garapan ini menaklukkan pentas di Eropa, seperti yang dilakukan dengan garapan sebelumnya. Masyarakat Bali mulai terbuka, menerima pembaruan pendekatan, dan garapan berikutnya Dongeng dari Dirah, yang melegenda itu diakui sebagai penampilan wajah budaya Bali. Dengan dinamika yang sama, dalam bentuk yang berbeda, Sardono memasuki wilayah-wilayah budaya daerah di Papua, Kalimantan dengan suku Dayak, Nias,Badui,yang diangkat ke dunia pentas, atau juga memperkaya rohani budaya.
Dengan kreativitas yang sama, dia menggarap tema-tema ekologi, kebakaran hutan, bahaya plastik, jauh sebelum masalah lingkungan mendapat perhatian. Atau memadukan keduanya dalam Hutan Plastik, Hutan Merintih. Lagi-lagi, jauh sebelum masalah pembakaran hutan dan atau pembalakan liar menohok perhatian kita.
Belum lama ini Sardono kembali mengungkap dan mengucap mengenai budaya urban—budaya yang lahir dari masyarakat daerah yang hidup di kota-kota besar, yang mempunyai tata nilai dan tata krama yang berbeda dengan yang diyakini di tempat asal, dan belum menjadi warga kota besar sepenuhnya.Barang kali,lima atau 10 tahun lagi kita baru terkagetkaget dengan jenis budaya ini.
Dinamika manusia-budaya
Keberhasilan Sardono, selain dan melalui karya-karyanya menurut saya terutama karena perannya yang diterima di kalangan tradisi dan juga kalangan modernis.Wilayah kreativitasnya berakar pada seni tradisi,wawasannya lebih luas dari batasan geografis wilayah budaya itu, atau bahkan batasan geografis negara.
Bahwa tarian dari sendratari Ramayana yang idiom-idiomnya lokal Jawa, atau tarian Cak yang idiomidiomnya lokal Bali, menemukan bentuk komunikasi yang fasih ketika dipentaskan di negara-negara Eropa, Amerika,Meksiko, Iran yang belum pernah bersinggungan.Atau yang sekarang diributkan dunia, bahwa kebakaran hutan di suatu daerah, juga memperparah kehidupan di daerah lain.
Ketika tari bukan sekadar teknis bagaimana menggerakkan dan mempelajari melainkan sebuah gerak, ketika tembang bukan sekadar teknis bagaimana membuat cengkok dan lekukan nada melainkan sebuah suara, ketika warna-warni bukan sekadar merahhitam- putih melainkan sebuah cahaya, ketika itulah dia menemukan sisi kemanusiaannya.
Yang juga dimiliki manusia di manapun, apa pun latar belakang budaya yang membentuknya. Sardono menggunakan pendekatan manusia sebagai titik pusat pencariannya, dan budaya sebagai bentuk perwujudannya. Sardono mendekati dengan kekuatan roh, dan mewujudkan dengan dan melalui raga.
Proses kreatif ini pastilah berakar dari masa kecilnya sebagai pesilat, juga penari tarian jenis bambangan, tari halus, sebelum mengalami perubahan dramatis karena harus menari sebagai Hanoman, kera sakti yang tariannya tak mempunyai pakem. Juga pada masa adrenalin kreatifnya sangat produktif, komunitas dekatnya juga begitu hebat. Nama-nama Sentot, Maruti, Sal Murgianto, atau Gendon Humardani, untuk menyebut nama dalam disiplin yang sama, atau nama lain dalam disiplin budaya berbeda mempunyai interaksi yang dinamis.
Juga peran Amna Sardono, istrinya, yang sejak awal menjadi manajer—waktu itu juga belum musim ada manajer, lahir batin. Keberhasilan semua ini bisa ditandai dengan tanda-tanda resmi, seperti Prince Claus Awards dari pemerintah Belanda, Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Indonesia, dan Distinguished Artist Award dari International Society for the Performing Arts Foundation, ISPA.
Yang terakhir ini, kehormatan terbesar seniman Asia yang pertama diakui dunia, disejajarkan dengan penerima besar lain seperti Martha Graham, di mana Sardono pernah ”berguru”, Mikhail Barysnikov serta Sir Yehudi Menuin. Tanda-tanda yang tak resmi, yang terasakan juga lebih besar pengaruhnya. Kebekuan dialog antara tradisi-modern, menemukan bentuknya yang cair.
Komunitas- komunitas di wilayah budaya yang tak tersapa,menemukan geliat dan harga dirinya. Batas atau sekat penilaian lokal, nasional, internasional menemukan pemahaman baru. Kesemuanya ini membuat budaya berproses terus, tidak berhenti sebagai mumi, betapa pun tinggi pencapaian yang pernah diraih.
Sesungguhnya, inilah proses berkebudayaan, dan Sardono ada di situ, sebagai pujangga, sebagai empu.Sardono, kini 62 tahun,rambut masih sampai pundak, perut masih rata, tawa dan humornya masih prima, kini guru besar—padahal kuliahnya di jurusan ekonomi di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia tidak selesai, juga bintang film dan sutradara, (juga melukis, dan lukisannya cukup banyak), juga penulis, masih ada. Masih berkarya. Untuk dirinya. Untuk komunitas yang digeluti secara ragawi. Komunitas yang hanya dari disiplin tari, atau dari budaya Indonesia, karena kepujanggaan melampaui batas-batas itu semua. (*)
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
dikopas dari Koran Sindo Online
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment