Wednesday, March 5, 2008

MENUJU SURABAYA PEDULI BUDAYA


Oleh: WIDODO BASUKI


semanggi Suroboyo
lontong balap Wonokromo
dijual serta didukung
masuk kampung, keluar kampung
mari bung coba beli
........



harganya murah sekali
sepincuk hanya setali
sungguh memuaskan hati,
sayur smanggi
kangkung turi...
bung beli...

Penggalan syair lagu di atas sangat identik dengan Surabaya. Sering kita dengar, kita nikmati iramanya, bahkan telah bertahun-tahun oleh masyarakat Surabaya. Tapi adakah yang tahu siapa penciptanya? Gegap gempita peradaban modern, sering melupakan akar, bahkan menggusuruh budaya setempat yang telah mewarnai kharakter Surabaya sejak lama.

Dari teks lagu "Semanggi Suroboyo" itu bisa kita rasakan sebagai sebuah penggambaran kota Surabaya yang kini semakin bernafsu menjadi megapolitan. Padahal, dulu Surabaya adalah wilayah agraris dengan dominasi rawa-rawa dan pesawahan yang ditumbuhi semanggi, tanaman kangkung, sementara di sisi pematang banyak ditemukan pohon turi. Dari tumbuhan inilah bahan pokok makanan rakyat khas Surabaya itu.

Sekarang suasana itu semakin hilang, rawa-rawa menjadi Real Estate dan royal-Royal Plaza. Pertumbuhan mal-mal bagai jamur tumbuh di musim penghujan, dan satu persatu budaya setempat semakin dilupakan. Lontong balap yang dulu bisa "di dukung masuk kampung keluar kampung", semakin lama akan hilang, karena kampong pun telah berubah menjadi pusat perbelanjaan. Tapi kenapa lagu khas itu terasa indah, walaupun wajah Surabaya telah berubah?

Musikus Musafir Isfanhari menuturkan bahwa masyarakat Surabaya hanya mengenal musikus dari era Gombloh sampai sekarang. Padahal, menurut pensiunan pegawai Taman Budaya Jawa Timur itu, di-era 50-an, Surabaya pernah punya "dirigen orkes pribumi" yang pertama bernama Juki, dengan lagu ciptaannya yang terkenal saat itu Tahu Sama Tahu (TST). Lagu itu merupakan penggambaran tentang tindak korupsi pejabat pada waktu itu.

Nasib lagu ciptaan para musisi sebelum era Gombloh, seperti "Semanggi Suroboyo" yang diciptakan S. Padimin atau "Lenggang Surabaya" ciptaan Ahmad, hanya diketahui segelintir orang, mungkin hanya dikalangan penggemar musik keroncong yang rata-rata sudah tua. Bahkan, lagu yang dicipta tahun 50-an ini kalah pamor dengan Tarian "Lenggang Surabaya" karya seniman tari Dimas Pramuka.

Tidak bisa dipungkiri bila pembangunan secara fisik kota Surabaya kini tampak semakin indah dengan balutan taman-taman kota dengan bunga aneka warna, serta trotoar dan lampu aneka warna. Pembangunan fisik akan pincang tanpa diimbangi pembangunan non fisik yang di antaranya berupa pembangunan nilai-nilai budaya.

Surabaya menjadi seperti sekarang tak seperti Romus dan Romulus yang membangun kota Roma dalam semalam. Banyak warna-warni budaya dalam rentang waktu yang panjang yang patut untuk diidentifikasi untuk merumuskan kembali menuju Surabaya ke depan yang lebih berbudaya. Budaya-budaya tradisional Surabaya yang hidup tempo dulu dan tersisih atas nama pembangunan bisa dilindungi dan diidentifikasi kembali.

Salah satu di antara yang sangat penting sebagai indikasi kebudayaan adalah bahasa. Bahasa merupakan "wadah" dari kebudayaan. Dalam hal bahasa, Surabaya tak begitu serius mengkaji, bahkan sampai sekarang tak punya kamus "Suroboyoan". Dibandingkan Kabupaten Banyuwangi yang letaknya di ujung timur Pulau Jawa, Surabaya terkesan kalay. Kabupaten Banyuwangi dengan para penggiat bahasa dan budaya lokalnya sudah punya "kamus bahasa Osing" walaupun penutur Osingnya kurang lebih hanya sekitar 500. ribu orang.

Bisa saja sebagian menyebut hadirnya TV lokal di Surabaya dengan menggunakan acara semacam "Pojok Kampung" JTV berdalih sebagai pelestarian budaya lokal. Tapi, bila dicermati, akan tampak lebih menonjol kepentingan ekonominya dibanding sebagai pelestari bahasa Suroboyoan. Rasanya, bahasa "Suroboyo" sebenarnya lebih terwakili oleh bahasa ludrukan RRI atau bahkan syair-syair parikan spontanitas Kyai Muntawi.

Sebagai kota yang sekaligus ibukota provinsi, Surabaya seharusnya menjadi barometer yang punya kepedulian lebih terhadap kebudayaan lokal. Surabaya harus punya "etalase" untuk melihat keanekaragaman budaya Jawa Timur secara keseluruhan. Bukan hanya berupa hasil karya seni saja, tetapi budaya secara keseluruhan, termasuk "local genius".

Di sisi lain saya berfikir bahwa Surabaya bisa melahirkan semacam penghargaan "Etnik Award", mengingat betapa banyaknya ragam budaya di Jawa Timur yang layak diapresiasi. Barangkali, hal itu bisa menggunakan gadung Museum Mpu Tantular lama di Jl Darmo yang secara fisik bangunannya, dengan bentuk patung di depannya yang sangat fenomenal, khas sebagai penggambaran semangat Surabaya.

Dari beberapa kali penyelenggaraan Festival Seni Surabaya, tak ada satu pun yang yang menggagas sebuah penelitian, riset, atau identifikasi budaya-budaya asli Surabaya yang masih patut dikembangkan. Sama seperti festival-festival lain yang, yang terekspos adalah kesan festival "tukang nanggap" dan terlihat mengedepankan "gebyar" ketimbang "substansi" pengembangan budaya. Coba saja di hitung, berapa kali seniman-seniman terkenal seperti dalang Ki Entus, Putu Wijaya, Slamet Gundono selalu di undang sebagai "gong festival" untuk menarik banyak penonton sekaligus dipakai sebagai "legitimasi" keberhasilan festival oleh panitia.

Orang-orang tua-tua dulu masih mendapati budaya asli Surabaya. Saat "Muludan", bocah-bocah bermain "petak umpet" di kampung-kampung dengan membawa lampu kecil yang terbuat dari tanah liat (gerabah), "Teng...tengan ciluk, he! Ambung sithik..he!" Atau permainan sejenis itu yang tak akan pernah didapati saat ini.

Dengan hadirnya bangunan-bangunan tinggi menjulang dan kepadatan penduduk kota, sekarang banyak kampung-kampung berubah menjadi lorong-lorong atau gang-gang sempit. Kampung Kaliasin, Blauran, Semut, Ketintang dan banyak lagi, yang dulu menyimpan kisah-kisah dan budaya-budaya khas Surabaya, akan menjadi tinggal kenangan.

Untuk membangkitkan kembali kesenian rakyat khas Surabaya, dan bisa menjadi contoh daerah-daerah lain di Jawa Timur dalam upaya melindungi dan membangkitkan kesenian dan "local genius" di daerahnya, rasanya perlu ada semacam Festival Seni "Grass Rood" di Balai Pemuda, sebagai sebuah apresiasi pada karya-karya seniman-seniman kecil, pelaku-pelaku tradisi setia di lorong-lorong Surabaya yang terpinggirkan, cokekan, dan lain-lain. Kesenian- kesenian semacam ini tidak terwadahi dalam festival yang ada selama ini. (wid_basuki@yahoo.co.id )

WIDODO BASUKI
Pemerhati Budaya, Penyair Sastra Jawa
Jawa Pos Rabu, 28 Nov 2007

1 comments:

Boleh tahu di mana bisa download MIDI Lenggang Surabaya?
Saya butuh untuk tugas seni musik sekolah.
Kalau tahu,tolong beritahu saya lewat multiply saya(redlovers.multiply.com).
Makasih. ^__^