Oleh Hendro Basuki
ADA kesan kuat Kongres Bahasa Jawa (KBJ) I hanya melahirkan KBJ II, dan KBJ II hanya melahirkan KBJ III. Ini bukan sedang guyonan tetapi benar sekali itu yang terjadi. KBJ digelar salah satunya untuk mendorong dan mengembangkan bahasa Jawa. Jika yang diacu akan pengembangan maka harus ada target kuantitatif dan kualitatif.
Target kuantitatif itu harus mampu mengembangkan atau setidaknya mempertahankan jumlah pemakai bahasa Jawa (BJ). Apakah mereka yang tinggal di Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau yang jauh di luar kawasan itu. Kata mengembangkan harus dimaknai tumbuh menjadi lebih besar dan baik. Sedangkan arti target kualitas, KBJ harus mampu mengembangkan bahasa Jawa menjadi lebih baik, mudah dilisankan, mudah dituliskan, mudah diajarkan tetapi tidak terkurangi maknanya. Harusnya secara kuantitas bertambah jumlah pemakainya tetapi para pemakai itu semakin berkualitas dalam berbahasa Jawa.
Dari sisi ini apakah KBJ I sampai III sudah mampu menjawab persoalan ini. Bukankah faktanya jumlah pemakai semakin sedikit. Anak-anak semakin sulit untuk berbahasa Jawa, karena sejak lahirnya hingga matinya lebih mengenal dan mempraktikkan bahasa Indonesia. Mungkin secara guyonan orang Jawa mengatakan ini kerelaan orang Jawa demi Indonesia. Kerelaan yang bagaimana ? Kerelaan karena keputusasaan atau kerelaan yang ikhlas.
Kerelaan karena keputusasaan bisa saja terjadi karena bahasa Jawa terlalu lamban bahkan tidak bisa mengejar kemajuan teknologi. Bahasa produk elektronika seperti komputer, handphone, perintah-perintah di mesin cuci semuanya memakai bahasa Inggris, Spanyol atau sedikit ada bahasa Arab. Beberapa produk dalam negeri sudah menggunakan bahasa perintah bahasa Indonesia (BI). Tidak ada bahasa Jawa dengan hurufnya yang semakin jauh untuk diketahui anak-anak.
Kerelaan karena keikhlasan untuk menjadi "Indonesia" mungkin terjadi tanpa sengaja. Para orangtua muda yang tidak begitu paham bahasa Jawa, dan tentu lebih paham bahasa Indonesia mencari jalan mudah untuk menggunakan BI dalam bahasa sehari-hari. Anak-anak dengan mudah melafalkan papa, mama, tante dibandingkan menggunakan sapaan bapak, ibu, bu lik, pak lik yang terasa kuno. Atau memang sebaliknya disengaja secara politis dengan tujuan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan republik ini. Oleh proses yang sedemikian itulah akhirnya bahasa Jawa seperti yang kita praktikkan, lihat, rasakan sekarang ini.
Sebagai Momok
Di tengah keadaan BJ yang semakin "sekarat" oleh berbagai sebab, dan derasnya tren untuk hal-hal yang bersifat lokal, maka BJ dicoba digulawentah dengan berbagai cara agar mampu berkembang, atau setidaknya bertahan. Banyak cara yang ditempuh apakah masuk secara intensif pada kurikulum sekolah, praktik-praktik pengajaran atau piwulang luhur lewat kursus singkat, penerbitan majalah berkala, atau dan sebagainya. Nah meskipun telah masuk ke kurikulum sekolah toh BJ termasuk mata pelajaran momok yang tidak terlalu disukai siswa. Mungkin sama susahnya memahami huruf Jawa dan huruf Arab yang akhirnya nilai-nilai siswa juga tidak menunjukkan angka yang rata-rata tinggi. Mata pelajaran momok selain matematika juga bahasa Jawa. Sesuatu yang aneh untuk keadaan di Jawa yang semakin modern ini.
Bukan hanya anak sekolah yang menganggap BJ sebagai momok. Perhatikanlah para orang tua yang usianya sekitar 50 tahunan di awal pidato begitu santunnya menggunakan sapaan BJ tetapi kemudian dengan ringan akan mengatakan, "Selanjutnya saya akan berpidato dengan bahasa Indonesia saja..." Dan, hadirin pun tertawa dengan penuh pemakluman. Bukan keprihatinan!
Penerbitan majalah berkala BJ juga tidak menunjukkan perkembangan tiras yang berarti. Anak muda tidak tertarik untuk membaca termasuk orangtuanya. Hanya sebagian kecil saja yang mencoba untuk tetap menyayangi. Walaupun harus tetap dicari sebab kenapa keadaan bisnis majalah BJ itu mengendur.
Ketika kami menerbitkan Sang Pamomong kredonya adalah ke luar dari jebakan seperti itu. Semua isu kebudayaan Jawa kami kemas dengan pendekatan yang lebih modern, lebih kritis dengan bahasa yang provokatif. Kami tetap menyampaikan dalam BI tentang isu-isu kebudayaan Jawa. Dan respon pembaca sangat baik sehingga ketika terkurangi halamannya karena desakan krisis ekonomi 1997-1998 banyak pembaca bereaksi dan protes. Lalu episode berikutnya kita coba untuk menerbitkan pula Sang Pamomong dalam edisi bahasa Jawa. Reaksinya sangat baik sehingga penulis tetapnya Sdr Sucipto Hadi Purnomo menjadi "selibritis" baru dalam jagat sastra Jawa.
Hanya dalam kurun waktu yang pendek masyarakat bisa digiring untuk "mencintai" bahasa Jawa dengan strategi yang agak canggih dengan memasukkan ilmu pemasaran ke dalam pengemasannya. Kini pembaca Suara Merdeka bahwa menikmati sekali cerita-cerita berbahasa Jawa logat Pati, Banyumas, dan mungkin sebentar lagi logat Surakartan.
Pembaca cyber-nya Suara Merdeka yang berada di "dunia lain" seperti di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin bahkan Afrika merasa menjadi Jawa kembali setelah membaca Sang Pamomong seperti yang sering dituliskan lewat surat pembaca.
Sekadar Upacara
Tanpa bermaksud berbangga diri, atau sedang merasa top, saya mempunyai penilaian sendiri terhadap KBJ. Secara kebetulan dari awal dulu saya tidak tertarik untuk ikut KBJ selain merasa tidak terlalu butuh juga tidak terlalu percaya kongres bisa mengembangkan BJ. Dan, Sang Pamomong juga tidak lahir dari KBJ ke berapa pun. Sebuah KBJ mungkin diperlukan sebagai pijakan politis mengembangkannya. Tetapi ketika KBJ menjadi rutin secara serius saya mengatakan KBJ cenderung menjadi upacara yang harus rutin digelar dalam kemasan mentalitas proyek. Dan jika benar kata orang yang nggrundel bahwa beberapa KBJ dari aspek keuangan kurang bisa dipertanggungjawabkan maka itulah dampaknya.
Lalu di tengah kesibukan persiapan KBJ kita dengar akan digelar juga Kongres Sastra Jawa (KSJ). Hah, ''binatang'' apa lagi ini ? Meminjam istilah Mahbub Djunaidi (alm). Banyak orang merasa gerah. Yang kontra KBJ akan mengatakan, alah aeng-aeng wae... Sedangkan yang pro, wah KSJ itu strategis bung. Sampeyan rak durung ngerti agendanya. Jadi, jangan prasangka buruk to.
Lalu, saya merenung. Ternyata ada sesuatu yang kurang dari KBJ IV dengan mengutip apa yang disampaikan oleh Prof Suharti (UNY) yakni KBJ IV kurang dalam hal kebersamaan, keterbukaan, moralitas dan profesionalitas. Kurang kebersamaan karena UI dan UGM ternyata tidak terlibat. Kurang keterbukaan karena nama yang semula ada yakni Prof Marsono (UGM) dari namanya tercantum tiba-tiba menjadi tidak ada dan tidak ada pemberitahuan. Dengan mengacu pada kurang terbukanya itu maka sebagai orang Jawa terasa kurang juga moralitasnya. Dan menyangkut profesionalitas karena derajat kepakaran ketua dewan pengarah masih dipertanyakan dalam urusan bahasa Jawa.
Waktu Berbenah
Alhamdulillah KBJ diundur (mungkin) sampai September. Pada saat diskusi ''Menakar Akuntabilitas KBJ'' di Gedung Pers, saya dengan terbuka mengatakan masih ada waktu untuk berbenah. Saya bukanlah orang yang anti KBJ tetapi jika boleh urun rembug masih ada jalan untuk memperbaiki.
Pertama, Kongres Bahasa Jawa (KBJ) diubah saja menjadi Kongres Bahasa dan Sastra Jawa (KBSJ). Bagaimana dengan konsistensi pemakaian nama KBJ I, II dan III ? Situasi baru dan masalah yang berkembang membutuhkan solusi yang berbeda, ini kuncinya. Dengan demikian rekan-rekan yang merasa berada di ''jalur sastra''Jawa akan terakomodasi. Jika pengembangan kebudayaan Jawa memang diinginkan kenapa soal nama dan sikap mengakomodasi tidak diberi toleransi ? Orang Jawa itu ciri utamanya adalah lihai dalam berkompromi. Untuk soal yang seperti ini tidaklah terlalu sulit. Ning yen gelem...
Kedua, cobalah mengakomodasi lebih banyak pakar yang memang telah memiliki reputasi baik di bidang bahasa dan sastra Jawa. Dengan meniadakan orang-orang UGM sekelas Prof Dr Marsono SU, apa tidak takut menjadi jambu mete yang kepalanya ada di bawah. Dengan mengakomodasi para pakar pada tiap pengelola program studi saya yakin hasilnya akan lebih baik. Misalnya saja dengan menggunakan ukuran kebersamaan saja sudah terlihat lebih baik.
Ketiga, membenahi sistem informasi. Harus ada semacam jurnal informasi apa pun menyangkut KBJ IV. Setiap ada info bahkan untuk kasus kecil seperti sampainya naskah harus ada jawaban dari pihak panitia. Termasuk membenahi hubungan dengan para pengelola program studi (PPS).
Keempat, mengusahakan agar KBSJ (bukan KBJ) tidak mengulang apa yang biasa dilakukan selama ini. Artinya hanya menumpuk makalah seusai kongres. Mengundang 1.000 orang, tidur di hotel, selesai lalu pulang. Setelah itu tak ada lagi kabarnya. Besok ketemu lagi di kongres berikutnya dalam jam, dan gelombang yang sama... Jika proyek jembatan selesai dibangun dinikmati orang lewat dan bertahan puluhan tahun, apakah demikian juga dengan KBSJ. Apakah masyarakat akan menikmati hasil KBSJ ? Dengan kata lain apakah KBSJ akan memberikan sumbangan berarti bagi pengembangan bahasa dan sastra Jawa ke depan, atau hanya sekadar proyek yang bernilai Rp 6 miliar.
Jika hanya seperti sebelumnya mungkin perlu dipikirkan untuk secara dramatis tidak usah ada kongres lagi. Lebih baik Rp 6 miliar itu untuk membiayai berdirinya pusat studi pengembangan bahasa Jawa yang tugas utamanya untuk menerjemahkan karya-karya klasik di ranah kebudayaan Jawa. Misalnya meneruskan menerjemahkan Serat Centhini yang belum tuntas hingga kini. Dan sebagainya.
Orang Sunda jumlahnya pasti lebih sedikit dari orang Jawa. Tetapi Sunda mampu memberikan penghargaan dengan nilai dan bobot yang bergengsi lewat Rancage. Uniknya yang menerima penghargaan sastrawan-sastrawan Jawa juga. Duh Biyung ! Lalu, dari pada untuk kongres juga asyik lho dana itu dipakai untuk dana abadi pemberian bebungah atau pengaji-aji berupa ''Nobel Sastra Jawa''. Bebungah itu misalnya diberi brand yang bergengsi apakah Yasadipura Award, atau Bebungah Ronggowarsito, atau yang lain. Inilah saatnya.(14)
- Hendro Basuki, penikmat kebudayaan Jawa dan wartawan Suara Merdeka Semarang
Dikopas dari: Suara Merdeka, Rabu, 21 Juni 2006
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment