Tuesday, March 4, 2008

Bukannya Dibayar, justru Membayar!


Jika Pengarang Sastra Jawa Terbitkan Buku


Perbukuan dalam sastra Jawa modern pernah berjaya pada tahun 70-an. Ketika itu buku novel saku karya Any Asmara dan pengarang seangkatannya tumbuh bak jamur di musim hujan. Sayang, kini ketika perbukuan dalam sastra Indonesia mengalami kebangkitan kembali, sastra Jawa masih adem-adem saja.



Dalam sidang Pengadilan Sastra Jawa yang digelar di ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur, 30 Agustus 2002 antara lain terungkap bahwa buku-buku karya sastra Jawa modern –bahkan buku-buku yang kemudian mendapatkan hadiah Rancage— diterbitkan secara asal-asalan. Cerpenis M. Shoim Anwar yang dalam sidang itu bertindak sebagai pembela memang mengatakan bahwa bentuk fisik sebuah buku tidak ada kaitannya dengan isinya, bobot sastrawinya. Tetapi kenyataan ini mestilah mendapatkan perhatian.

Novel Pupus kang Pepes karya Suharmono Kasiyun, umpamanya, diterbitkan dalam jumlah yang cukup kecil, kurang dari 1.000 eksemplar. Lemnya pun kualitas rendah, sehingga sampul dan lembaran-lembaran dalamnya gampang sekali tercerai-berai. Terlepas dari pernyataan Shoim, mestinya penerbit tidak meremehkan tampilan buku yang akan diterbitkannya. Bukankah ini adalah era ketika orang sangat peduli terhadap kemasan? Lihatlah minuman kaleng, makanan ringan untuk anak-anak, bahkan berbagai produk pabrikan tampil dengan kemasan yang harganya lebih tinggi daripada isinya?

Justru Membayar

Pada era reformasi yang diawali krisis ekonomi yang kemudian berkembang jadi krisis multidimensi, hingga saat ini, ada satu hal yang cukup menghibur, yakni bangkitnya era perbukuan di Indonesia. Mula-mula buku-buku politik, kemudian juga buku-buku umum, termasuk di dalamnya buku-buku sastra. Ada buku sastra asing yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan banyak juga buku-buku karya sastra Indonesia diterbitkan. Jumlah penerbit pun berkembang pesat, bagaikan pertumbuhan jamur di musim hujan. Sayangnya, penerbitan buku karya sastra Jawa masih juga seret. Sastra daerah yang boleh dikatakan memasuki era baru dalam hal penerbitan buku-bukunya adalah sastra Sunda, mungkin karena ada nama Ajip Rosjidi yang ketua Yayasan Kebudayaan Rancage dan sekaligus pemilik penerbit Pustaka Jaya itu. Hadiah Rancage juga disebut-sebut telah merangsang tradisi penerbitan buku dalam sastra Bali, tetapi tidak demikian halnya dalam sastra Jawa.

Sekali lagi, penerbitan buku karya sastra Jawa modern masih juga seret. Yang tampaknya cukup menggembirakan adalah penerbitan karya-karya sastra Jawa lama, serat-serat, lengkap dengan terjemahan ataupun ulasannya dalam bahasa Indonesia, seperti: serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, serat Kalatidha yang terkenal dengan ungkapan “zaman edan”-nya Ronggowarsito, dan serat Sastra Gending karya Dr. Damardjati Supadjar. Yang juga marak adalah penerbitan (kembali) buku-buku tentang budaya Jawa karya para “orientalis” semacam Santri, Priyayi, Abangan karya Clifford Geertz, Mistisisme Jawa dan Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa karya Neils Mulder.

Ketika banyak orang Jawa rindu akan kejawaan mereka, tampaknya yang mereka tengok pertama kali adalah karya-karya lama dan ulasan atau analisis mengenai kebudayaan Jawa itu sendiri. Mereka belum tergerak untuk melirik karya-karya sastra Jawa modern. Itulah tampaknya, yang membuat penerbitan buku-buku karya sastra Jawa modern masih saja seret, bahkan di era kebangkitan penerbitan buku seperti sekarang ini. Sudah jadi rahasia umum bahwa pengarang sastra Jawa modern yang ingin menerbitkan karya-karyanya mesti keluar dana sendiri, dan bukannya malah dapat honor atau royalti seperti kreator lain yang karyanya diterbitkan jadi buku. Daniel Tito adalah salah satu contoh pengarang sastra Jawa modern yang telah memberanikan diri menerbitkan novelnya yang berjudul Lintang Panjer Rina dengan biaya sendiri. Sekali lagi, ketika kreator lain mendapat bayaran dari karyanya yang diterbitkan menjadi buku, sastrawan Jawa malah harus membayar agar karya-karyanya dapat diterbitkan.

Kelemahan Editor

Tak lama lagi, kabarnya para pengarang sastra Jawa di Bojonegoro dan sekitarnya –yang tergabung dalam komunitas Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB)—akan menerbitkan antologi crita cekak (cerpen). Sebelumnya, para penggurit (penyair Jawa) yang tergabung dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya juga menerbitkan antologi geguritan Kabar saka Bendulmrisi (2001), dan baru-baru ini para pengarang sastra Jawa dari Sanggar Triwida menerbitkan kumpulan crita cekak Sumunar (2002).

Setidaknya, dari dua buku: Kabar saka Bendulmrisi dan Sumunar itu beberapa hal pantas dicatat, yakni berkaitan dengan penyuntingan maupun hal-hal teknis lain. Berkaitan dengan penyuntingan, misalnya, dapat segera kita rasakan bahwa guritan maupun crita cekak, itu asal comot dan dikumpulkan begitu saja. Penyunting tampaknya tak mau bersusah-payah, misalnya mengumpulkan karya-karya berdasarkan tema tertentu, dan pada akhirnya juga tidak dapat memberikan pertanggungjawaban yang baik. Yang dilakukan teman-teman sanggar Triwida untuk menerbitkan Sumunar kurang lebih juga demikian. Dikirimkanlah undangan kepada semua anggota sanggar Triwida untuk mengirimkan sebuah naskah crita cekak (yang menurut penulisnya sendiri dianggap paling baik, sudah pernah dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa, tetapi belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku atau belum masuk antologi lain).

Kelemahan editor itu lalu disempurnakan oleh kekurangan-kekurangan lain, seperti rancangan sampul yang terkesan asal-asalan, tidak diusahakannya ISBN, dan dilupakannya kaidah-kaidah artistik –termasuk pemilihan model/jenis/ukuran huruf, dan lain-lain.

Pemasaran

Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam rantai persoalan perbukuan, termasuk perbukuan dalam sastra Jawa adalah pemasaran. Namanya juga sastra daerah, tentu segmen pembacanya jauh lebih sempit dibandingkan dengan sastra Indonesia. Dan itulah antara lain yang membuat penerbit ogah-ogahan menerbitkan buku karya sastra daerah, termasuk karya sastra Jawa modern. Teorinya, karena toko buku memperoleh keuntungan berbanding lurus dengan jumlah buku yang berhasil dijual, maka semangat menjual buku karya sastra daerah juga lemah. Seperti dikemukakan Ajip Rosjidi, toko-toko buku terkenal terasa seperti ogah-ogahan menerbitkan buku-buku karya sastra daerah karena kontinuitas penerbitannya tidak terjaga. Jika kontuniatasnya terjaga, seperti sudah dicoba oleh Pustaka Jaya, toko buku ternyata bahkan akan memberinya tempat khusus.

Selain melalui toko buku, para pengarang/penmyair sastra juga telah mengikuti tren pemasaran langsung (dari tangan ke tangan), termasuk memanfaatkan komunitas, sanggar-sanggar, ataupun menggelarnya di acara-acara seminar, sarasehan, dan semacamnya yang temanya tak jauh-jauh dari sastra, seni, dan budaya Jawa.

Akankah dunia perbukuan dalam sastra Jawa modern akan mengalami kejayaan seperti tahun-tahun 70-an ketika menjamur novel saku? Semoga saja. []

Nate kapacak ing Kompas [Jatim]

0 comments: