R. Djoko Prakosa
Pengantar
Sastra Jawa, seperti sastra etnik lainnya dalam wacana komunikasi global dibenturkan pada satu pilihan harus tetap berkutat pada wacana local. Hal ini menjadikan posisi sastra Jawa semakin terpuruk sibuk dengan urusan permasalahan culture local dan terkikis habis atau bahkan segera terlibas habis oleh kapiltalisme. Dalam konteks pengungkapan maupun resepsi sastra Jawa menjadi bentuk estetika yang merefleksikan dinamika culture masyarakat Jawa. Sebagai bagian dari tuturan ideologis sastra Jawa bagi masyarakat pendukungnya diharapkan berkembang atau setidak-tidaknya dapat dipertahankan sebagai penuturan cultural yang bertautan dengan nilai adi luhung. Keyakinan atas nilai-nilai budaya dalam sastra Jawa menjadikan sastra Jawa terbelengu eksotisme bahkan sampai pula pada hal yang lebih tajam yaitu rasisme
Eksotisme dalam sastra Jawa melahirkan pandangan konservatif, sastra Jawa harus dilestarikan karena mengandung nilai luhur terungkap lewat slogan klise kasusastran Jawi punika mujudaken kagunan adi luhung. Pandangan ini pada akhirnya menjadi tuntutan konservatif pada hampir setiap temuwicara, diskusi, seminar bahkan pada tingkatan wacana yang lebih berdampak politis yaitu konggres. Konggres bahasa jawa sebagai induk dari sastra Jawa memberikan sedikit peluang bagi sastrajawa untuk menjadi subyek kajian. Sejauh ini dalam pandangan beberapa kalangan penutur sastra Jawa dengan seluruh kandungan nilainya harus dilestarikan, sementara konteks realistis sastra jawa dihadapkan pada masalah diskontinyuitas dalam berbagai hal, antara lain regenarasi, intergritas, dan pergeseran nilai dan fungsi. Sejauh ini belum ditemukan titik masalah yang significan guna dirumuskan solusi terhadap masalah yang dihadapi.
Sastra Jawa:
Pemilahan Model dan bentuk Ungkapan
Secara umum model dan bentuk penuturan sastra jawa dapat dipilah menjadi tiga yaitu: (1) penuturan bentuk tutur Lisan, (2) penuturan bentuk Tulis, (3) penuturan bentuk pertunjukan. Pemilahan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kehidupan sastra jawa telah demikian rumit dan rungsit dibentuk oleh serat-serat budaya Jawa dari berbagai unsur media. Secara kontekstual sastra Jawa dibangun oleh interalasi berbagai media seni, sehingga alih dan lintas media dalam budaya sastra Jawa tumbuh subur. Hal ini dapat diamati dalam berbagai bentuk dan model penuturan sastra jawa dalam kehidupan masyarakat jawa terkait dengan berbagai konteks kagunan (fungsi).
tutur lisan, dalam tradisi masyarakat jawa tutur lisan merupakan tradisi yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, dalam slogan lama ujare mbok bakul sinambi wara menjadi semacam mitos bagi bekembangnya informasi lisan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menjadikan setiap informasi menjadi berkembang menjadi banyak versi, tradisi ini berkembang dalam berbagai konteks, baik dalam konteks kesenian maupun non kesenian. Berbagai bentyuk informasi lisan yang berkembang dalam tuturan budaya jawa berkembang melahirkan berbagai bentuk tradisi tutur.
Tradisi tutur Seni, dalam konteks ini tradisi lisan berkembangan menjadi karya seni yang lahir dalam kelompok-kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang beragam. Masyarakat mengakrabi berbagai penuturan karya sastra baik yang berakar pada tuturan masyarakat yang berkembang secara kolektif maupun gaya pribadi yang dibangun lewat penuturan cultur lokal yang adati. Dalam pemilahan ini dapat dirinci menjadi beberapa bentuk antara lain bentuk puisi (syair) mencakup Tembang, Macapat, Kidungan, Ura-ura. Bentuk atau model puisi merupakan bentuk sastra yang berakar pada tuturan yang mencakupi aspek estetik, etik, simbolik, dan filosofis. Bentuk penuturan ini sangat lekat dengan pola bakuan yang sering kali diasumsikan sebagai pakem—harus dipatuhi sebagai aturan-aturan, memitoskan bentuk—seringkali ditafsirbekukan.
Model lain dapat disebutkan sebagai bentuk prosa mencakup dongeng, babad, dan Crita sejarah, diturturkan lewat penuturan lesan yang dikemas lewat berbagai karya seni pertunjukkan antara lain, Pertunjukan kentrung, Pertunjukan wayang kulit, Kethoprak, Wayang orang, Ludruk, maupun beberapa bentuk sindhenan, kidungan yang dikemas dengan musik karawitan langgam, campur sari dan lain-lain. Bentuk dan, model ini berkembang bersamaan dengan merebaknya kemasan seni pertunjukan. Sastra berkembang dalam bentuk gubahan syair, parikan, kidungan, sindhenan, dialog (antawacana) maupun narasi tutur. Bentuk dan model ini menuntun sastra jawa pada struktur profan.
Sisi lain perkembangan sastra jawa dalam wacana tulis semakin kaya dengan bentuk dimulai dari bentuk tembang ke arah bentuk gancaran, dari geguritan sampai pada cerkak dan novel. Perkembangan ini secara mendasar dituntun oleh kebutuhan estetik masyarakatnya baik dari sisi ekspresi ataupun resepsinya, sejauh ini ekspresi dan resepsi sastra jawa berkembang dalam komunitas-komunitas (sanggar, paguyuban, atau kelompok akademisi sebagai media pembelajar dan kajian). Apresiasi terhadap karya sastra jawa “baru” berkembang dikalangan penulisnya atau pada lingkup yang dikenalinya sebagai wilayah komunikasi dan pergaulan para penulis, media cetak, dan penikmat.
Pewilayahan tersebut menuntun kehidupan sastra jawa klasik maupun modern berkutat pada wilayah kultur sosial yang terbatas pada lingkup area tertentu, seringkali menjadikan pertumbuhannya menjadi parsial, tidak merata, tidak terukur. Pertumbuhan sastra jawa seringkali tenggelam dalam eksostisme dan romantisme yang terpecah belah oleh kesemrawutan sistem sosial budaya masyarakatnya.
Sastra Jawa:
Sebuah Realitas
Dalam penuturan masyarakat Jawa pada umumnya sastra Jawa dikenali dalam berbagai tingkat kepentingan, dikenali dalam berbagai tingkat persepsi dan resepsi masyarakat, dikenali dalam berbagai lingkup sub etnik Jawa. Dengan demikian sastra Jawa sendiri memiliki nilai dan fungsi yang beragam, secara umum sastra jawa memiliki dua fungsi pokok yaitu (1) fungsi kultural, (2) fungsi psikologis
Fungsi cultural berakar pada realitas budaya masyarakat. Sastra menjadi bagian penting sebagai refleksi proses terbangunnya nilia-nilai kebudayaan yang dihayati oleh masyarakat. Melingkupi wacana character building, local genious dan kemudian secara politis dikaitkan dengan nation building, pada akhirnya wacana ini menuntun sastra jawa menjadi bagian dari strategi membangun identitas kultural. Dengan demikian sangat wajar dalam konteks yang sangat filosofis, sastra jawa klasik dikaitkan pada wilayah nilai adi luhung, kepribadian luhur. Sastra jawa klasik dengan jargon filosofisnya menawarkan kearifan lokal yang diharapkan mampu menuntun tumbuhnya keselarasan hidup.
Sastra jawa klasik pada era sekarang ini dituntut untuk membuktikan dirinya memiliki sustainbility dalam menguatkan nilai dan fungsinya dalam kehidupan masyarakatnya. Sementara pada “sangat”/deting waktu yang sama sistem sosial masyarakat telah bergeser pada tatanan nilai yang berbeda, wacana ini menjadikan fenomena sastra Jawa Klasik dalam situasi kehilangan sense of place. Sehingga sangat wajar apabila sastra jawa dalam konteks tertentu menjadi seakan akan tercerabut dari realitas lingkungan masyarakatnya (disclocated).
Sementara sastra Jawa modern atau “yang dipersepsikan modern” mulai pelan-pelan membangun tubuh “estetika” nya melalui tata nilai baru berakar dari sistem nilai baru, ideologi baru. Dalam konteks yang lebih apresiatif sastra Jawa modern mulai mengkritisi intergritas dirinya dalam wacana perubahan sosial dan tatanan nilia ideologisnya. Secara kontekstual ungkapan lebih merefleksikan perubahan sosial budaya masyarakat, impersonal. Keterpecahbelahan sosial budaya diungkapkan dalam gaya romantisme.
Dari sisi psikologis sastra jawa klasik maupun modern berorentasi pada wacana katarsis dari berbagai frustasi sosial, romanstime pedesaan, bahkan sampai pada titik penikmatan pengendapan rasa yang tercermin lewat berbagai istilah antara lain slimuran, lelangen, laras, menep. Hal tersebut berakar pada persepsi dan resepsi masyarakat bahwa sastra merupakan bagian dari lelangen dan piwulang kalbu, ini menjadi etos dan mitos bagai penulis, media, cetak, dan masyarakat.
Sastra jawa klasik lebih mengungkapkan pengendapan ke dalam batin pengarang atau penikmatnya, sehingga membuka kedalaman dunia perenungan yang ning dan neng dalam mewacanakan estetika lirisnya . Ini yang seringkali dilawankan dengan resepsi dan persepsi bahwa sastra jawa yang baru adalah sastra yang cethek ing panemu kurang momot rasa bahkan dalam kunalitas dan intensitas tertentu dikatagorikan kasar.
Tawaran:
Reposisi Atau Revitalisasi
Realitas yang berlangsung dalam kehidupan sastra jawa adalah dunia paradoksal. Satu sisi secara kultural dihadapkan pada tantangan komunikasi global yang menuntut penguatan identitas lokal, sisi lain dihadapkan pada tantangan pasar. Hal ini terkait dengan tuntutan Globalisasi sebagai sosok yang ber‘wajah ganda’ yang saling bertentangan satu sama lainnya hadir secara bersamaan. Dalam globalisasi terdapat dua kekuatan yang mempunyai kepentingan yang berbeda yaitu kekuatan ekonomi-politik (pasar bebas yang kapitalistik) yang menciptakan integrasi, homogenisasi, standarisasi dan internasionalisasi.
Dunia global yang tanpa batas kekuatan sosio-kultural wacana posmodernisme, yang memperkuat desentralisasi, keberagaman, pluralitas, lokalitas, etnisitas, dan sektarianisme, sehingga kecenderungan unity of opposite- kecenderungan heterogenesiasi dalam homogenisasi semakin kuat
Proses tarik-menarik atau tegangan (tension) kekuatan politik identitas dan pasar bebas yang kapilastik mendorong sastra jawa terseret arus kekuatan homogenisasi ekonomi kapitalistik, atau kekuatan heterogenisasi sosio-kulutural posmodernisme. Sastra jawa dituntut cerdas membangun reposisi kulturalnya dengan menempati posisi strategis di dalam konstelasi pergaulan global, tuntutan strategis membangun Politics of position semakin kuat. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra jawa yang dimitoskan sebagai nilai yang tidak berubah, orisinil, abadi, langgeng, dan a-historis harus menemukan posisi dan makna yang baru.
Dalam membangun Politics of position dalam globalisasi sastra jawa haris menentukan pilihan strategis 1) sastra berkembang sebagai bagian budaya ekonomi kapitalistik yang harus laik jual, 2) sastra sebagai budaya tanding (counter culture) yang dibangun melalui penguatan lokal dan tradisi, 3) sastra jawa bedrkembang dengan proses pertukaran budaya, dengan nilai-nilai hakiki tradisi yang dimilikinya, atau 4) sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia global sehingga mempertahankan otentitas dan orisinalitas yang diyakininya.
Tetapi sastra jawa secara realitas tak akan mampu menolak perubahan sehingga harus tetap lumaku nut jaman kelakone atau anut lukinaning alam, sehingga setidak-tidaknya harus ada inovasi yang terus menerus relevan dengan perkembangan sistem sosial dengan perkembangan teknologinya. Konservatif atau inovatif tetap menjadi dua pilihan yang harus dipilih untuk tetap hidup dalam ruang dan waktu..........(Klampis menjelang petang 23 Juli 2006)[]
dari buku "Sastrawan Jawa SUka Bermimpi"
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment