Sunday, March 2, 2008

DALANG DASA

Oleh: B. Soetrisno

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1930, diceritakan oleh dalang wayang golek bernama Ki Partojoeda, satu-satunya cucu Ki Dalang Dasa yang masih hidup. Demikianlah kisah selengkapnya.



Di desa Alasmalang, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Banyumas, ada seorang dalang wayang golek yang sangat terkenal. Ki Dalang terkenal bukan karena ketampanannya atau karena usianya masih muda, tetapi lantaran dalam menggerakkan wayang sangat mengesankan penonton. Terlebih lagi pada saat nyandra dan sulukan, suaranya sangat bagus. Ketika mengaksentuasikan tokoh perempuan, suaranya sangat lembut, persis suara perempuan. Seolah-olah bukan sang Dalang yang berbicara, melainkan boneka wayanglah yang bertutur kata. Ketika melukiskan tokoh perempuan sedang bersedih, para penonton sampai-sampai ikut menangis.

Pada saat bulan-bulan baik, yakni ketika banyak orang punya hajat, Ki Dalang pasti mendapat banyak tanggapan. Pada waktu itu hampir setiap orang punya hajat mengawinkan atau mengkhitankan anak, pada umumnya menanggap wayang. Ketika itu ongkos pertunjukan wayang sudah terhitung tinggi, yakni 5 gulden. Akan tetapi toh tetap banyak orang yang menanggap wayang golek. Hampir setiap hari Ki Dalang Dasa mendalang. Pada bulan Syawal, Apit, dan Besar, hampir tidak ada hari lowong, sekalipun cuma satu atau dua hari. Namun demikian Ki Dalang tampak sehat, sama sekali tidak pernah sakit.

[]

Sore itu Ki Dalang Dasa sedang duduk santai dengan isterinya di serambi rumah. Mereka membicarakan rencana mendalang pada hari yang akan datang. Tiba-tiba terdengar suara orang bertamu.

’’Permisi?’’

’’Mari, ada yang bisa saya bantu?’’ Ki Dalang menyambut sang tamu.
’’Apa betul ini rumah Ki Dalang Dasa?’’ sang tamu bertanya.

’’Betul, saya sendiri. Mari, Pak, silakan masuk,’’ kata Ki Dalang Dasa mempersilakan duduk tamunya. Selanjutnya Ki Dalang bertanya, “Maaf, Pak, kalau saya boleh tahu, Bapak siapa? Dan ada keperluan apa datang ke gubuk kami?”

’’Kenalkan, saya biasa dipanggil Ki Karyabangsa, asli dari dusun Rawapiji,’’ jawab Sang Tamu. Diulurkannya tangannya dengan hangat.

’’Rawapiji? Saya kok baru sekali ini mendengar nama dusun Rawapiji,’’ Ki Dalang setengah keheranan.

’’Dusun Rawapiji itu terletak di sebelah barat Bukateja, sebelah selatan Kejumbren,’’ Karyabangsa menjelaskan.

’’O, iya. Sekarang saya paham,’’ Ki dasa manggut-manggut.

’’Begini, Ki Dalang,’’ Karyabangsa melanjutkan ucapannya. ’’Terus terang saja, kedatangan saya ke sini dengan dua tujuan. Pertama, saya ingin bersilaturahmi, sekaligus menyambung tali persaudaraan. Kedua, karena saya ingin memenuhi permintaan anak. Perlu diketahui, anak perempuan saya sudah saatnya kawin. Sayangnya dia suka ngambeg. Dia bilang bahwa dia tidak akan kawin jika tidak ditanggapkan wayang golek. Sebagai orang tua, tentu saja saya kelabakan. Untuk itu, jika dalam bulan Besar ini Ki Dasa ada waktu longgar, saya mohon Ki Dasa tidak berkeberatan mendalang di rumah saya.’’

’’Maaf, Ki Karya, saya tidak bisa memberi jawaban langsung. Sebaiknya saya lihat dulu apakah saya masih punya hari-hari kosong dalam bulan ini.’’

Ki Dasa masuk ke ruang dalam untuk melihat kalendernya. Saat Ki Dalang berada di ruang dalam, dia sempat berpikir bahwa di daerahnya tidak ada dusun Rawapiji. Setahu Ki Dalang, Rawapiji merupakan areal persawahan yang sangat luas. Akan tetapi pikiran itu segera lenyap dari otaknya, sebab Ki Dalang lebih tergiur pada uang tanggapan.

Ketika kembali ke ruang tamu Ki Dalang Dasa berucap, “Pak Karya, kebetulan pada bulan Besar ini saya masih punya jadwal kosong selama empat malam.”

’’Hari apa saja, Ki Dalang?’’

’’Senin-Pon, Kemis-Legi, Selasa-Pahing, dan Kamis-Wage.’’

’’O, kalau begitu saya minta hari Kamis-Wage malam Jumat-Kliwon. Adapun ongkos tanggapan saya bayar saat ini juga.’’

’’Maaf, Ki Karya, saya tidak akan menerima upah sebelum saya menyelesaikan pekerjaan saya. Hal ini untuk mengantisipasi seandainya saya berhalangan.’’

’’Ah, sudahlah. Saya percaya pada Ki Dalang. Mudah-mudahan tidak ada halangan apa-apa. Tetapi kalau Ki Dalang tidak bersedia saya bayar penuh, ini saya kasih panjar dua gulden. Kekurangannya akan saya lunasi setelah Ki Dasa selesai mendalang.’’

’’Baik, terima kasih. Uang panjar saya terima sebagai pengikat. Dan insya Allah akan saya kerjakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya.’’

[]

Pada hari yang telah ditentukan, para niyaga berkumpul di rumah Ki Dasa, siap berangkat ke tempat pertunjukan. Tetapi sampai pukul 17.00 gamelan untuk mengiringi pementasan belum diambil oleh si penanggap. Padahal biasanya jika pertunjukan wayang dimulai sore hari, gamelan sudah diambil pada waktu pagi. Biasanya diangkut dengan gerobak sapi. Jalur yang dilewati harus melingkar lewat Purbalingga, sebab sungai Pekacangan belum ada jembatannya. Gerobak penuh muatan tak bisa lewat. Hanya rombongan dalang yang berjalan kaki yang bisa menyeberang sungai.

’’Lantas pukul berapa sampai di Rawapiji?’’ begitu keluh Ki Dalang dan para penabuh gamelan.

Belum usai mereka memperbincangkan soal pengangkutan gamelan, tiba-tiba datanglah tiga orang yang mengaku sebagai utusan Ki Karyabangsa untuk mengangkut gamelan dan wayang. Ki Dasa dan para niyaga semakin heran, bagaimana cara tiga orang itu mengangkut perangkat wayang, sebab perangkat wayang jumlahnya sangat banyak. Dan cukup berat, sementara jarak antara Alasmalang-Rawapiji terhitung jauh.

’’Maaf, saudara, bagaimana cara mengangkut perangkat wayang? Saya kira perangkat wayang tidak akan bisa diusung hanya oleh tiga orang!’’

’’Ki Dalang ini bagamana sih? Masa tidak percaya dengan kekuatan kami bertiga,’’ jawab salah seorang utusan Ki Karyabangsa sedikit sombong. ’’Sekalipun harus kembali dua kali, kami sanggup, satu orang membawa kotak, dua yang lainnya membawa gamelan. Pasti beres!’’
Orang-orang Ki Dalang semakin bingung dan tidak paham dengan cara berpikir utusan Ki Karyabangsa. Namun semua itu hanya dipendam di dalam hati. Sama sekali tidak ada yang mengajukan protes. Mereka terseret oleh jalan pikiran masing-masing.

Karena waktu sudah menjelang senja, rombongan Ki Dalang pun berangkat melewati jalan tembus, menyeberang kali Pekacangan. Kebetulan saat itu musim kemarau, sungai tidak banjir.

Sesampai di tempat tujuan, Ki Dasa beserta rombongan sangat kaget. Ternyata gamelan sudah berada di tempat itu, bahkan sudah tertata rapi seperti biasanya. Siap ditabuh. Batang pisang, kelir, dan boneka wayang sudah dijajar sehingga mereka tidak perlu repot-repot menata lagi. Tampak juga pedagang makanan menggelar dagangannya, para tamu pun telah duduk di tempat yang disediakan.

Ki Dalang beserta rombongan segera naik ke atas panggung. Namun sebelum pertunjukan dimulai terdengar suara Ki Karyabangsa agak keras, “Ki Dalang, sebaiknya terburu-buru mendalang! Mari, silakan duduk di pendapa untuk menikmati hidangan. Nanti setelah makan barulah pertunjukan dimulai.”

Ki Dalang beserta rombongan menuruti kata tuan rumah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Ki Karyabangsa adalah orang terkaya di desa itu. Bangunan pendapa dihiasi dengan hiasan warna-warni, umbul-umbul, pilar dan dinding kayu dicat dengan warna hijau lumut. Sedangkan atap rumah berupa seng.

Pada saat rombongan Ki Dalang sedang menikmati hidangan, Ki Karyabangsa berpesan, ’’Ki Dalang, saya mohon pertunjukan wayang golek malam ini dimulai sesudah salat isya, dan diakhiri sebelum salat subuh. Sebab, tempat ini sangat dekat dengan masjid. Dengan begitu pertunjukan wayang tidak mengganggu orang-orang yang melaksanakan salat. Di samping itu, jika pertunjukan diakhiri sampai melewati batas subuh, ongkos pertunjukan tidak akan saya bayarkan. Namun uang panjar tidak akan saya minta kembali. Tetapi, jika pertunjukan berakhir sebelum salat subuh, setiap orang akan saya beri bonus satu keping uang emas.’’

Semua anggota rombongan tercengang mendengar kata-kata Ki Karyabangsa. Namun, mereka menanggapi serentak, “Baik, Ki. Sedapat mungin pesan Ki Karya akan kami penuhi, dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.”

Pertunjukan pun dimulai. Diawali dengan mengetuk kotak, penonton diam memperhatikan. Tak ada suara sama sekali. Para pedagang pun meninggalkan dagangan mereka, mengelilingi panggung pertunjukan. Mereka duduk teratur.

Ki Karyabangsa adalah orang terkaya di desa itu. Halaman rumahnya sangat luas. Ada rumah berbentuk pendapa joglo dengan bermacam-macam hiasan. Ki Karyabangsa sangat dihormati masyarakat sekitarnya. Hal itu tampak dengan banyaknya tamu yang menghadiri resepsi pernikahan putrinya itu. Hidangan pun mengalir seperti tak ada habisnya. Lebih-lebih untuk para niyaga, makan dan minuman disediakan yang paling enak.

Yang paling mengherankan rombongan Dalang, pada saat adegan Ratu Jin yang bernama Dual Payal dihadap para punggawanya, para penonton berteriak-teriak sehingga suasana menjadi sangat gaduh, “Gusti Raja! Gusti Rajaaa!”

Pada saat itulah rombongan Ki Dasa merasakan adanya keanehan yang baru sekali ini mereka alami. Ki Dalang Dasa pun sering menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan para niyaga, khawatir jika ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.

[]

Menjelang pagi, terdengar suara adan subuh. Tiba-tiba para penonton dan para tamu undangan yang duduk di pendapa berteriak-teriak serta berlarian tak karuan, seperti sebuah kerumunan yang tiba-tiba menyadari adanya bahaya mengancam. Ada anak kecil menjerit histeris karena terinjak-injak. Ada pula yang menangis karena lepas dari gendongan ibunya. Suasana pagelaran benar-benar kacau.

Seorang niyaga secara spontan mengucapkan istighfar, Astaghfirrullah haladzim…. Tiba-tiba, pesta yang sedemikian meriah dan bahkan berubah menjadi keributan itu pun lenyap seketika. Yang tampak hanyalah hamparan sawah dengan tanaman padi. Boneka wayang menancap rapi di pematang sawah. Begitu pun kelir dan batang pisang. Ki Dalang beserta rombongan duduk di tengah sawah, beralaskan batang padi yang masih hijau. Mereka saling memandang dengan perasaan heran.

Fajar pun menyingsing.Para petani mulai berdatangan.

Dengan dibantu orang-orang yang sedang lewat, Ki Dalang mengangkut peralatan wayang, dipanggul dibawa pulang ke rumah yang jaraknya sekitar lima kilometer. Pakaian mereka belepotan lumpur. Para petani merasa heran, sekaligus kasihan, melihat peristiwa yang tidak masuk akal itu. Mereka lebih heran lagi sebab gamelan yang mereka angkut terasa ringan, nyaris tanpa beban sama sekali. Mereka berjalan sangat cepat, dan sampai di rumah dengan selamat.

Ketika mereka berganti pakaian, timbul keanehan lagi. Di saku baju Ki Dalang ditemukan uang lima gulden, sedangkan para niaga masing-masing menemukan uang satu gulden. Dengan bijak Ki Dasa berkata, ’’Saudara sekalian, uang yang kalian temukan sebaiknya kalian simpan. Jangan dibelanjakan. Jadikanlah sebagai kenang-kenangan.’’

Selepas kejadian itu Ki Dasa semakin laris sebagai dalang, sampai saatnya meninggal dunia profesinya sebagai dalang menurun kepada anaknya.

Judul asli: Ki Dalang Dasa

(Panjebar Semangat No. 16/ 15 April 2000)

0 comments: