Sunday, March 2, 2008

In memoriam Prof Dr Suripan Sadi Hutomo

HB Jassin-nya Sastra Jawa itu pun Kini telah Tiada

Minggu siang, 5 Februari lalu, Suripan Sadi Hutomo nampak lelah. Padahal, hari itu adalah ulang tahunnya.Ultah ke-61. Tidak seperti biasanya, siang itu ‘DoktorKentrung’ ini mengundang pengarang-pengarang sastraberbahasa Jawa (sebagian sastrawan berbahasa Indonesia) berkumpul di rumahnya, Bendul Merisi Selatan Gg. Lebar 51B.



Acaranya, selain membaca puisi juga memperbincangkan sastra Jawa moderen. Apalagi, siang itu hampir mayoritas yang diundang adalah pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Melalui acara itu Suripan berpesan supaya pengarang sastra Jawa, terutama yang muda-muda, supaya lebih rajin menulis dan menerbitkan buku. “Terbitkanlah buku antologi, baik guritan maupun cerkak,” kata Suripan sambil duduk bersandar di kursi rotan.

Agaknya, itulah pertemuan terakhir Prof DR Suripan Sadi Hutomo dengan pengarang sastra Jawa. Sebab, setelah itu, Suripan kembali dengan kesibukannya, khususnya sebagai guru besar. Contohnya Selasa (20/2) lalu, mulai pukul 08.00 s.d 15.00 WIB, Suripan masih mengikuti rapat senat di Universitas Negeri Surabaya. an, Jumat (23/2) lalu, pukul 15.00 WIB, Suripan meninggal dunia di RS dr Ramelan Surabaya.

Pertemuan tersebut, sekali lagi, menunjukkan betapa dekatnya Suripan yang profesor doktor itu dengan pengarang-pengarang muda. Dalam banyak kesempatan, dia paling suka bila dikunjungi anak-anak muda. Diskusi apa pun dia tanggapi. Yang mengesankan, bila kebetulan bukunya diterbitkan, maka setiap ‘tamu istimewanya‘ itu masing-masing disangoni buku.

Pengarang Muda
Perhatian Suripan yang besar ini ditunjukkan ketika Suripan mengasuh rubrik Balada di edisi Minggu H.U.Bhirawa (terbitan Surabaya). Itu terjadi pada tahun 70-an. Banyak penyair Jawa Timur yang puisi-puisinya mendapat ulasan khusus di rubrik tersebut. Bahkan, pamor Zawawi Imron pun mengorbit sebagai penyair melali rubrik tersebut. Demikian juga dengan Emha Ainun Nadjib dan (alm) Linus Suryadi AG rajin mengirim puisi di Balada. Bukan sekali-dua saja Linus atau Emha harus begadang di rumah Suripan di BendulMerisi.

Penulis (Bonari Nabonenar) mempunyai pengalaman mengesankan. Ketika itu tahun 1990 penulis menghadiri Festival Penyair Jawa dan Seminar Nasional Puisi Jawa di Gedung O IKIP Negeri Surabaya. Begitu penulis datang, beberapa teman memberi tahu bahwa saya dicari Suripan.

Benar, ketika melihat penulis, Suripan melambaikan tangannya, memanggil penulis. ‘’Ke sini!’’ hanya ituyang diucapkannya. Setelah penulis dekat dengannya,Suripan segera mengambil sebuah Majalah Horison dan memberikannya kepada penulis. ‘’Ini, bawalah, ada cerpenmu di sini!’’

Memang, waktu itu cerpen penulis, judulnya Bonsai, dimuat di Horison. Begitulah seorang Suripan membanggakan mahasiswanya yang ‘’berhasil’’ menulis. Perhatian Suripan pada pengarang muda juga ditunjukkan lewat kepeloporannya membidani Bengkel Penulisan Kreatif di Sanggar Sastra Jawa Triwida, Tulungagung. Bengkel yang dibentuk awal 80-an itu Suripan langsung menjadi instruktur penulisan cerpen, puisi, esai dan novel.

Setali tiga uang, hal yang sama juga dilakukan Suripan di IKIP Negeri Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya). Kepada mahasiswanya Suripan selalu menekankan pentingnya menulis, menulis, dan menulislah!

Itulah ‘’ajarannya’’, betapa pun Suripan sadar bahwa tak ada ‘’sekolahan’’ yang bisa mengubah seseorang menjadi penulis atau pengarang. Suripan juga sadar bahwa penulis di Indonesia pada umumnya miskin. Tetapi menulis itu, katanya, pekerjaan mulia. Bahkan, katanya pula, seandainya sekarang masih ada sistem kasta, maka penulis akan tergolong ke dalam kasta brahmana, kasta paling tinggi derajatnya. Begitulah. Maka, IKIP Surabaya, ketika itu, mungkin tergolong paling banyak melahirkan penulis/pengarang dibandingkan dengan IKIP yang lain.

Mungkin juga, seandainya Suripan dibebaskan menciptakan mata kuliah sendiri, dia akan memilih mata kuliah mengarang.

Penyair Kampungan
Suripan Sadi Hutomo, selain dikenal sebagai akademisi dan dokumentator sastra Jawa (sehingga dijuluki H.B. Jassin-nya sastra Jawa) juga menulis karya kreatif. Sejauh sudah ratusan puisi yang ditulisnya, juga puluhan cerpen.

Sebagai penyair, Suripan mendapat banyak julukan. Penyair Zawawi Imron menjulukinya Penyair Beras Kencur, sedangkan DR Setya Yuwono Sudikan menganugerahi julukan Penyair Kampungan. Penyair kampungan? Lihat saja puisi-puisi Suripan. Rata-rata menghadirkan tema-tema sosial, sindiran yang tajam tapi lembut, dan metafor atau lambang yang akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kampung, seperti kenikir, kecipir, kolangkaling, curut, kremi, tikus, cwiwi, dll.

Simak saja cuplikan puisinya berjudul Curut (1975)berikut ini: Curut dan tikus, kremi dan cwiwi/ Sepiring nasi putih/ Kita telah menulis panjang sekali// atau puisinya Hartati (1975): ... Hartati nama kidungku/ Kidung daun kemangi bunga turi/ Hartati nama kidungku/ Kidung sayur lumbu ikan teri...

Selain menulis sastra berbahasa Indonesia, Suripan juga menulis dalam bahasa Jawa. Banyak yang heran, karena orang sekaliber Suripan masih sempat-sempatnya dan mau-maunya menulis dalam bahasa Jawa. Pertimbangan honor, jelas tak masuk akal. Pertimbangan publikasi yang luas, tentu juga tidak, mengingat pembaca media berbahasa Jawa jumlahnya sangat sedikit. Pertimbangan popularitas, malah makin tidak masuk akal.

Kecintaannya kepada sastra Jawa. Itulah! Maka pada pertemuan di rumahnya, 5 Februari lalu ia menegur Anggarpati, penyair wanita asal Tuban yang dilihatnya tidak lagi produktif menulis dengan bahasa Jawa. “Tapi saya masih menulis tentang sastra Jawa, Pak. Tetapi dengan bahasa Indonesia.” Apa komentar Suripan? “Asalmu kuwi saka Jawa!” (=Kamu itu berasal dari Jawa!)

Suripan Sadi Hutomo menulis dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Tulisannya berupa kritik, esei, sajak, cerita pendek, dan lain-lain, dimuat dalam berbagai majalah/surat kabar dalam dan luar negeri, seperti: Horison, Basis, Kompas, Sinar Harapan, Suara Karya, Dewan Sastra, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Indonesia Daily News, dan The Indonesia Times.

Bukunya yang telah terbit, antara lain:
Telaah Kesusasteraan Jawa Modern (1975)
Antologi Puisi 25 Penyair Surabaya (1975)
Surabaya dalam Puisi Indonesia (1976)
Guritan: Antologi Puisi Jawa Modern Tahun 1940-1980 (1985)
dan Hartati (kumpulan puisi, 1988).
Selamat jalan Doktor Kentrung!

(leres budi santoso)

pernah dimuat Jawa Pos

0 comments: