Judul Buku: Trem: Antologi Crita Cekak
Pengarang: Suparto Brata
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, November 2000
Tebal: 316 + viii halaman
Terhitung sejak tahun 1970-an, penerbitan buku sastra Jawa modern terbilang langka. Buku-buku yang diterbitkan rata-rata tipis, dengan format seadanya, ditulis dengan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya. Pada umumnya kualitas dan nilainya –suka atau tidak suka—cenderung sebagai bacaan hiburan.
Terbitnya Trem: Antologi Crita Cekak karya Suparto Brata, berisi 20 cerita pendek berbahasa Jawa yang ditulis selama kurun waktu 1960-1993, di awal milenium ke-3 terasa mengejutkan lantaran sama sekali berbeda dengan ciri umum buku-buku sastra Jawa modern yang pernah terbit.
Buku ini tampil gemuk dengan cover dan format menarik. Sejumlah crita cekak ditulis dengan teknik menawan, menggotong moralitas dan kemanusiaan. Secara umum, crita cekak yang terangkum dalam buku ini menghadirkan tema-tema suram tentang hidup dan kehidupan wong cilik pada masa penjajahan Jepang dan pascakemerdekaan. Namun, karena ditulis dengan gaya penuturan lincah, pengaluran yang jernih, nuansa menghibur tetap terasa.
Dialek Surabaya
Aspek lain yang menonjol adalah keberanian pengarang menggunakan bahasa Jawa dialek Surabaya. Cukup banyak crita cekak dalam buku ini memanfaatkan dialek Surabaya, terutama melalui dialog yang mengalir dari mulut tokoh-tokohnya untuk menghidupkan suasana terkait latar tempat dan latar sosial budaya di mana cerita-cerita itu berlangsung.
Pada cerita Ambyuke Nyonya Besar, misalnya, tokoh seorang pelacur dengan enteng menyapa seorang lelaki setengah tua yang menginjak lokalisasi untuk mencari anaknya, dengan ungkapan vulgar, “Mampir, Pakdhe! Pakdhe Prawiro Nganjuk, mangga mampira –cuk, eh, ngunjuk!” (hal. 283). Atau dalam cerita Nglari Natagawa yang menampilkan setting sejarah pada masa Pendudukan Jepang. Tokoh “aku” bertanya pada laki-laki tua apakah melihat orang Jepang lewat. Ternyata laki-laki tua itu orang gila. Hal ini baru disadari tokoh “aku” ketika jawaban laki-laki itu berupa parikan yang tidak jelas maknanya, “Sontoloyo, jagade mlayu ngiduuul, dicegat setan gundhul, jagade mlayu ngetaaan, dicegat setan robaaann….” (hal. 22).
Namun ada tiga crita cekak yang secara utuh menampilkan dialek Surabaya, baik dalam narasi maupun dialog, yaitu Trem (hal. 1-12), Diamput, Sepatuku Ilang Ndhuk Mejid (hal. 220-226), dan Oh, Jumirah (hal. 239-251).
Trem mengisahkan seorang pemuda yang bersimpati pada seorang gadis saat naik kereta api, tetapi tidak berani menegur. Ibu si pemuda, tergerak untuk melihat gadis yang sudah membangkitkan asmara anaknya, bahkan akhirnya mengantarkannya untuk meminang gadis itu. Ternyata si gadis itu pun sudah lama tertarik kepadanya. Lucu, renyah, unik, dan indah.
Cerita-cerita lain yang menarik, lantaran menyentuh nilai kemanusiaan, misalnya, Slendhang Bang-bangan (hal. 41-49), Seksi Saka Menara (hal. 202-219), Perkutut (hal. 252-264), dan Bulik Rum (hal. 227-238).
Bobot dan nilai yang ditawarkan cerita-cerita tersebut dapat dikatakan sejajar dengan cerpen-cerpen O’Henry. Di pihak lain, crita cekak berjudul Kabar saka Sanatorium (hal.75-90), dan Padhang Mbulan ing Wijilarum (hal.62-74) memperlihatkan nuansa melodramis. Kedua cerita itu mengingatkan kumpulan crita cekak St. Iesmaniasita Kidung Wengi ing Gunung Gamping (Balai Pustaka, 1958) yang begitu monumental. Sedangkan Kerisku Kasangsaranmu (hal. 285-314) memperlihatkan aspek biografi pengarang cukup dominan. Dibandingkan dengan buku-buku sastra Jawa yang pernah terbit, intelektualitas Suparto Brata dalam buku ini sangat menonjol. Sementara itu, terhadap tindak penyelewengan yang dilakukan para pejabat, Suparto Brata mengkritiknya dengan lantang. Tak pelak lagi, buku ini memberikan sumbangan berarti bagi sejarah sastra Jawa modern.
Hadiah Rancage
Lahir pada 16 Oktober 1932, Suparto Brata dikenal sebagai pengarang dwibahasa, Jawa dan Indonesia. Debutnya sebagai pengarang dimulai tahun 1952, berupa cerita pendek, novel, dan artikel sastra dimuat di berbagai media cetak lokal maupun nasional. Berbagai prestasi yang mengukuhkan jatidirinya sebaga pengarang tak terhitung lagi. Puncak prestasi disandangnya tahun lalu (2000) ketika Yayasan Rancage pimpinan Ajip Rosidi memberikan hadiah Rancage karena dedikasinya terhadap pembinaan dan pengembangan sastra Jawa.
Dalam bidang novel, sejumlah karyanya telah terbit sebagai buku beberapa tahun yang lalu, di antaranya Pethite Nyai Blorong, Sanja Sangu Trebela, Astirin Mbalela, dan lain-lain. Dengan buku Trem: Antologi Crita Cekak yang sangat cemerlang ini, Suparto Brata sebagai pengarang berpeluang sangat besar untuk mendapatkan kembali hadiah Rancage pada tahun ini. (Sugeng Wiyadi, Pengajar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya)
Ketoke tau dimuat Jawa Pos iki
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment